AGUPENA Flotim Dalam Gelombang Literasi Massal

0
575

Oleh: Key Tokan A. Asis

PADA perayaan Idul Fithri tiga tahun silam, saya berkesempatan merayakan lebaran di Witihama. Bupati Flotim, Anton Hadjon, hadir dalam acara halal bi halal di lapangan budaya Namatukan, jantung kampung besar yang tumbuh dalam perpaduan modernitas dan kearifan adat budaya.

Dalam hiruk-pikuk salaman dengan warga, salah seorang guru senior, Jamil Bahy, menghampiri saya sambil berbisik, “sebentar kami undang untuk diskusi dan berbagi pengalaman dengan anak-anak muda di rumah saya (Desa Weranggere)”.

Maka, diskusi itu kami helat saat serenade sole oha di Namatukan, sebagai bagian dari perayaan Idul Fithri bercorak budaya tengah berlangsung. Sebagai anak adat, semua peserta diskusi tergoda untuk segera mengakhirinya, agar bisa bergabung ke Namatukan, namun dalam kenyataan kami terhanyut jauh hingga ke larut malam.

Sebagai aktivis sejak mahasiswa hingga 25 tahun bekerja sebagai wartawan di beberapa media meanstream, diskusi bagi saya adalah cara sederhana untuk mencerdaskan-mencerahkan diri sambil berbagi ilmu dan pengalaman.

Itulah sebabnya, saya menyatakan kesanggupan untuk hadir selepas maghrib, dijemput Pak Jamil di kediaman, Simpang Tiga, Desa Oringbele. Ketika tiba di rumah sang guru, serombongan anak muda, rupanya telah menunggu.

Belakangan, saya kenali mereka sebagai orang-orang yang memiliki pemikiran progresif untuk perubahan melalui menulis. Ada Muhamad Saleh Husen, ada dinda Azam Putra Lewokeda, ada Asy’ari Hanafy, Amber Kabelen dan beberapa lagi.

Ya. Mereka telah memulai dari diri dan kelompok kecil. Kemudian menular ke organisasi tempat mereka berhimpun, Agupena (Asosiasi Guru Penulis Indonesia) Cabang Kabupaten Flotim.

Tak hanya saya. Kebetulan adik saya, Buyung Gorantokan seorang guru produktif menulis opini bertema pendidikan dan masalah sosial di berbagai media massa yang terbit dan siar di Kupang, ikut hadir memberikan testimoni.

Diskusi cerdas

Malam itu, kami berdiskusi. Saling berbagi. Teknik dasar menulis,mencari bahan, mendapatkan sumber relevan, membangun lead, hingga hal-hal teknis, seperti apakah harus memulai dengan judul atau membiarkan ide mengalir terlebih dahulu, judul belakangan.

Juga, soal bahasa Indonesia yang baik dan benar, menjaga logika antara induk dengan anak kalimat, antara kalimat pertama dengan kalimat berikutnya dalam satu alinea dan antara alinea satu dengan berikutnya, membangun sub-judul hingga ending.

Diskusi diperkaya dengan tradisi membangun metode induksi-deduksi, bahkan, sempat menyerempet ke fase tulisan investigatif. Demikian pula impact dari sebuah tulisan, efek psikologis, sosiologis dan finansial.

Malam itu, saya terkesan. Ada gairah. Mereka mengaku, mendapatkan teori dan praktek dalam waktu singkat. Saya sudah terbiasa dengan pujian, dan berasumsi, itu sekadar lontaran kata-kata sesaat belaka.

Beberapa hari kemudian, salah seorang dari mereka, Muhamad Saleh Husen, anak muda Lamahala yang produktif menulis karya sastra, mengirim tulisan sosok atau profil tentang saya. Ya, tentang jalan pikiran soal menulis pada diskusi malam itu. Setelah membaca, saya menyampaikan koreksi kecil, terutama pengayaan latar agar tulisan lebih berwarna. Asumsi saya pun gugur, karena tulisan itu. Mereka sejatinya, sudah bisa menulis.

Setelah perjumpaan itu, saya mencoba terus mengikuti geliat Agupena Flotim melalui media sosial (Mesdos) dan menyimpulkan, tak ada kabupaten di Tanah Air, yang memiliki kelompok guru yang kebetulan terdiri atas anak-anak muda, begitu peduli pada dunia menulis sebagai gerakan sosial.

Kalau kemudian, kini Agupena Flotim menjadi tuan rumah HUT Agupena nasional tahun 2018 pada penghujung November nanti, bagi saya ini bukan sebuah kebetulan. Kumpulan anak muda itu, telah membantu proses metamorfosa organisasi itu dari sebuah institusi yang biasa-biasa saja, menjadi wah dan luar biasa.

Mereka memang bukan jelmaan Paulo Freire yang mencetuskan teori pendidikan yang membebaskan kaum marginal di Brasil, bukan pula John Locke dari Inggris dengan pendekatan pendidikan empirisme, atau Al Ghazali dengan kimia kebahagiaan, John Dewey dengan mazhab pragmatisme, atau Ki Hajar Dewantara dengan tiga frasa, Ibnu Sina yang menulis 450 buku, Francis Bacon yang membangun kebenaran melalui metode induksi, John Fredric Herbart yang mementingkan akal, bukan perasaan dalam membangun pengetahuan, William Stern dengan teori konvergensi dan tentu masih banyak lagi.

Anak-anak muda ini, meskipun belum sampai pada level membangun sebuah paradigma teoritik baru pendidikan kekinian seturut jiwa zaman, tetapi mereka mempunyai akal, hasrat dan ikhtiar. Itu adalah modal berharga. Semua dibangun di atas jutaan butir-butir ide dan gagasan.

Menuju Gerakan Sosial

Tidak heran, gerakan menulis (dan tentu disertai membaca) yang tak henti digelorakan Agupena Flotim, berproses menjadi sebuah gerakan sosial yang mendorong para guru di kabupaten kepulauan itu untuk menulis sebagai jalan paling cerdas mengabadikan pemikiran.

Lihat saja, lomba menulis yang berhasil menghimpun banyak karya dari para guru dan pemerhati pendidikan. Sadar atau tidak, ini adalah satu instrument elementer dalam proses pencerdasan bangsa.

Apalagi, gerakan itu dibarengi literasi yang meluas hingga menjangkau kampung-kampung, di mana taman bacaan menjadi trend baru di tengah gempuran hoaks di dunia maya dan kemanjaan warga menyusul booming IT. Dunia dijangkau hanya dalam satu genggaman (gadget-HP).

Seperti kutipan terkenal dari maestro Pramudya Ananta Toer, “betapapun seseorang itu memiliki kepintaran, selama tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari peradaban”. Para guru di Lewotanah, terus belajar menulis.

Sebagai sumbang saran berbalut motivasi, saya pribadi mendorong para guru untuk teruslah menulis. Jangan takut berbuat salah. Bukankah, orang bisa mengenali sebuah kebenaran karena ia pernah berbuat salah.

Menulislah, seperti layaknya anda bercerita kepada para murid di ruang kelas. Biarkan ide dan gagasan mengalir. Biarlah kecerdasaan sebagai guru terus terasah. Tajam dan mumpuni untuk zaman kini.

Seperti renang. Betapapun seorang ahli berbicara di berbagai forum, seminar, sarasehan, lokakarya, diskusi publik tentang ilmu renang, dia tetap tidak akan bisa berenang, selama tidak menceburkan diri ke kolam renang.

Dengan kata lain, betapapun para guru hebat berbicara di depan kelas, mendidik anak-anak untuk cerdas bagi semua mata pelajaran. Selama anda tidak menyampaikan testimoni melalui tulisan, anda tidak akan pernah bisa menjadi guru sekaligus penulis, seperti dilakoni anggota Agupena.

Karena itu mulailah menulis. Berceriteralah, seperti anda sedang mengajar di depan kelas. Berasumsilah, bahwa khalayak pembaca adalah murid-murid anda. Sekali gagal, barang biasa. Dua kali gagal juga barang biasa. Ketiga kali, saya yakin anda bisa.

Bahkan, anda sendiri bingung dengan tulisan yang anda hasilkan hanya dalam semalam, karena ide-ide mulai mengalir, tak hanya bercokol di otak tetapi menjalar hingga lentiknya jemari tangan yang terus menari, mengolah kata dan kalimat.

Setelah itu, membaca ulang tulisan anda. Bila perlu berkali-kali. Lebih bagus jika menyodorkan kepada rekan terdekat untuk membaca. Dari sana, barangkali ada koreksi atas tanda baca, pilihan kata, konstruksi kalimat, sudut pandang atau angle hingga aktualitas tema. Sekali tulisan anda dimuat di media, akan menjadi pemantik untuk menghasilkan tulisan-tulisan berikutnya.

Khusus dalam perspektif Flotim, ada fatwa adat yang selalu didengungkan pada berbagai kesempatan, guna melukiskan keberanian tempo doeloe dan masa kini. “Deket nolho kenube noon gala, deket murine buku noon pena”.

Rangkaian kata dalam fatwa adat itu, tidak sekadar dimaknai sebagai pentingnya pendidikan, penguasaan ilmu pengetahuan untuk generasi baru yang kekinian. Tak sekadar, buku dan pena sebagai diksi komplementer dari kenube noo gala (parang dan tombak) yang menjadi simbol keberanian dan kepahlawanan moyang kita tempo doeloe.

Tetapi, terutama pesan filosofis dibaliknya. Pesan itu, untuk zaman baru yang identik dengan informasi dan teknologi (IT) yang berkembang pesat bagai kilatan cahaya, peradaban baru pun terpahat melalui tulisan. Supaya, ia menjadi pesan yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh waktu. Tulisan-tulisan itu, bisa “bercerita” untuk generasi setelah kita. Maka, teruslah bereksperimen untuk menulis dan menulis.

Apalagi, kita memiliki modal luar biasa. Tradisi bertutur. Koda kirin telah diwariskan para leluhur melalui pola komunikasi lisan yang terawat hingga kini. Pola bertutur ini, tinggal dialihkan ke dalam bahasa tulisan.

Kalaupun ada tantangan, terutama terletak pada kaidah tulisan yang merujuk kepada Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukankah orang Lamaholot pada umumnya, adalah satu dari sedikit sekali suku bangsa di Tanah Air, yang memiliki kebiasaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar?

Dengan modal ini, rasanya menulis bukanlah tantangan terbesar guru-guru di Flotim. Yang penting adalah ikhtiar kuat untuk memulai. Sebagai penutup, Agupena Flotim bisa membuka klinik kecil guna membimbing mereka yang kesulitan saat hendak menulis. Selamat berkarya.

***

*) Penulis adalah wartawan LKBN ANTARA (Kepala Biro) di Manokwari, Papua Barat

Komentar ANDA?