Bapelitbangda Gelar Seminar menyoroti masalah Stunting, Folklore dan Minol.

0
671

NTTsatu.com – KUPANG –  Seminar yang digelar Badan  Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang digelar Selasa, 24 September 2019 menyoroti masalah Stunting, Folklore dan Minol.

“Hasil penelitian yang diseminarkan ini merupakan salah langkah Libang mendukung perkembangan pariwisata di NTT,” kata Kepala Bapelitbangda Provinsi NTT,  Lucky Frederich Koli di sela-sela acara seminar di Hotel Swis Belin Kristal.

Menurut dia, agar kekayaan budaya dan kekayaan budaya bisa dilestarikan,  tentunya harus ada promosi dengan berbagai dokumentasi yang ada.  Ini menjadi perhatian Litbangda dengan mencoba mengkaji beberapa budaya etnis di NTT.

“Nantinya hasil kajian ini akan diteruskan ke Dinas Pariwisata untuk diexplore. Kami juga berharap kerjasama semua pihak,  baik budayawan dan masyarakat luas. Kami berharap hasil kajian ini dapat bermanfataan bagi pembangunan daerah NTT,” katanya.

Kepala Bidang Penelitian Bappelitbangda NTT, Hendry Donald Izaac mengatakan ada tiga tema yang disoroti dalam seminar Kelitbangan ini yakni Stunting, Folklore dan Minol. “Tiga tema ini yang sedang digeluti Pemerintah Provinsi saat ini,” katanya.

Tema pertama Folklore, menurut dia, merupakan praktik budaya atau kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan dan tertulis. “Tema ini menjadi perhatian serius Gubernur NTT,” ujarnya.

Pemilihan tema folklore, lanjut dia, bertitik tolak dari kesadaran budaya yang dimiliki dan adanya ikhtiar Pemprov NTT untuk memertahankan praktik-praktik budaya kepada generasi penerus, sekaligus mem-packaging dalam wisata budaya yang edukatif.

“Identifikasi folklore yang terdiri dari empat etnis atau daerah, yakni TTS (atoni meto), Sumba Timur, Lamalera (Lamaholot) dan Ende,” katanya.

Tema selanjutnya yang disoroti adalah Stunting.  Kajian ini, kata dia, memoret tingkat pengetahuan, sikap dan praktek diantara rumah tangga sasaran program aksi konvergensi pemerintah provinsi NTT. “Potret angka stunting yang masih tinggi di NTT melatari pelaksanaan kajian ini,” katanya.

Dengan mengidentifikasi sebaran prevalensi stunting, ketersediaan program dan praktek manajemen layanan di kab/kota, maka kajian ini menjadi bagian dari analisis situasi dalam aksi konvergensi penanganan stuting di NTT yang menjelaskan segi-segi dan karakteristik rumah tangga (RT) dari anak balita stunting sesuai dengan variabel yang ditetapkan.

“Lokasi kajian ini melupiti tujuh daerah di NTT, yakni Sumba Barat, Sabu Raijua, TTS, Alor, Manggarai dan Manggarai Timur,” katanya.

Tema terakhir yang diseminarkan menyoal literasi budaya dan rantai nilai minuman beralkohol tradisional (Minol) di Kabupaten Sabu Raijua, Sikka, dan Ende.

Narasumber, Noverius Nggili menandaskan bahwa praktik minuman beralkohol (moke dan sophie) merupakan habitus budaya yang melekat dengan masyarakat di keempat daerah tersebut.

Praktik minuman beralkohol yang dilakukan selama ini selalu dalam konteks budaya. Ketika praktik ini bermetamorfosis dalam konteks sosial, minol ini kerapkali menghadirkan persoalan ikutan yang cenderung berubah dari kelengkapan aktivitas adat menjadi gaya hidup.

Dalam perkembangannya, minol menjadi sebuah komoditas ekonomi yang diperjualbelikan, dan kajian ini mengungkapkan bagaimana rantai nilai ekonomi transaksi minol di tengah masyarakat.

Hasilnya adalah secara ekonomi, profit yang diperoleh masy arakat (usaha minol) berkisar antara Rp 36 Juta/Bulan. Oleh karena itu, Frits mengungkapkan pengembangan minol ke depan memerlukan upaya revitalisasi dalam hal inovasi peralatan, proses sampai ke pemasaran, dan juga memerhatikan higenitas.

“Ini yang perlu diperhatikan kita semua, khususnya pemerintah dalam pengembangan minol menjadi komoditas ekonomi yang lebih value added,” tandasnya. (*/tim)

Komentar ANDA?