Hasta Harapan

0
683
Foto: Pater John Prior, SVD

Oleh: P. John Prior, SVD

 

HIDUP misioner salama setengah abad ini menyatakan kepada saya bahwa sebenarnya ada satu hal yang berwajah tiga: bersaudara dengan setiap orang tanpa kecuali (hidup wadat), berbela rasa dengan kaum yang dimiskinkan (hidup sahaja) dan membuka diri untuk mencari kehendak Allah dalam proses discernment (mematuhi suara Tuhan). Ketiga aspek kaul ini menyatu dalam satu gaya hidup missioner yang utuh. Syukurlah.

Pengalaman para imam praja agak berbeda. Mereka berjanji taat kepada Uskup mereka, dan juga mengikrarkan janji hidup wadat. Keduanya belum tentu dihubungkan dan lebih repot lagi tak ada janji hidup sahaja.

Empat puluh tahun yang lalu, ketika saya mulai tugas pastoral di Flores NTT, para imam praja hidup bersahaja. Mereka rajin melayani umat awam sederhana, siang dan malam. Kesaksian hidup mereka sungguh mengesankan.

Sekarang gaya hidup mewah bergandengan dengan pelanggaran hidup selibat, menjadi isu dan gosip di banyak tempat. Imam itu berlagak bagai pejabat dan tidak lagi berbaur dengan rekan-rekan umat di ladang Tuhan. Tampaknya, kalau satu kaul dilanggar, kaul lain melonggar. Gelagatnya, dosa para pejabat publik telah merasuk masuk ke dalam kalangan para klerus.

Benar juga, masih banyak imam hidup sederhana berkat kemampuannya melebur dengan umat awam yang sahaja. Gembala yang baik dibaui domba-domba hanya bau keringat dan bau juang, bukan bau harum mewangi.

Sayangnya standar hidup sebagian para klerus sudah jauh di atas standar hidup kebanyakan umat awam yang mereka layani. Tambahan lagi, umat awam paling kurang di kawasan NTT semakin diperas, selain iuran paroki, ada rupa-rupa kolekte dan ada stipendium sakramen yang melangit.

Celakanya, sakramen-sakramen yang dianugerahkan Tuhan dnegan cuma-cuma, kini diperjualbelikan. Sebelum anak boleh dibabtis, atau anak menerima komuni pertama, atau orang muda menikah, seksi Keuangan Paroki memperhitungkan macam-macam tunggakan yang harus dilunaskan belum diperhitungkan jenis-jenis dana lain, seperti dana pembangunan dan pesta-pesta tahbisan.

Karena Romo ditanggung oleh keluarganya selama di Seminari tinggi, jangan heran kalau dia mesti membalas jasa keluarganya dengan menyekolahkan adik-adiknya, tentu dengan uang umat setempat. Masuk akal kalau banyak Romo sudah terlibat dalam bisnis.

Pada tahun 2017 ini, kita diperingatkan bahwa skandal ‘jual beli rahmat’ memicu Reformasi Prostestan 500 tahun yang silam. Kalau imamat jadi bisnis, tidak mengherankan jika gosip timbol seputar pelanggarang-pelanggaran terhadap hidup selibat. Karena amat jelas, bahwa penyelewengan-penyelewengan seksual di kalangan kaum klerus erat berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan: kuasa sewenang-wenang berbarengan dengan gaya hidup empuk. Apa yang dapat malah mesti kita buat ?.

Pertama, Kita mesti ganti Gereja model monarkis di mana segala kuasa terletak di dalam tangan kaum tertahbis. Kita perlu beralih menjadi Gereja Sinodal Konsiliar di maan semua perangkat pastoral pada segala tingkatannya tidak lagi bersifat konsultatif melulu, tapi punya wewenang legislatif.

Kedua, Kita harus memisahkan kuasa legislatif, eksekutif, dan yudikatif sejak zaman feodal diletakkan ke dalam tangan sang uskup. Justru model aristokratis ini, yang ditiru oleh sebagian pastor paroki yang menjerat Gereja dalam skandal-skandal berkepanjangan karena tak ada transparansi atau kontrol.

Ketiga, Proses penyelidikan kasus moral atau kasus pidana di dalam kaum klerus harus terbuka. Semestinya kalau ada tuduhan yang beralasan, Uskup atau pastor bersangkutan langsung dinonaktifkan tentu dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tak bersalah. Lantas diadakan proses pemeriksaan dan pengadilan serba transparan, sama seperti negara. Kita harus bersikap dan bertindak adil terhadap Uskup atau pastor yang dituduh, juga adil terhadap umat yang dililiti gosip yang berleleran. Jika takhta suci mekasa seorang uskup ‘menarik diri’, hasil pemeriksaan serta pengadilan atasi diri uskup itu harus diumumkan secara resmi.

Keempat, Baru-baru ini Paus Fransiskus secara terbuka meminta para pastor, anggota tarekat-tarekat religius serta umat awam se Keuskupan Roma untuk merekomendasikan kandidat-kandidat untuk jabatan Vikarius Jenderal. Seorang uskup bertindak defacto sebagai Uskup Roma.

Kalau ini sudah terjadi di Roma, timbul pertanyaan, kapan Tahta Suci akan meluncurkan model serupa bagi seluruh Gereja seputar pengangkatan uskup melalui konsultasi terbuka dengan Dewan Imam, Dewan Pastoral Keuskupan, serta Dewan Pastoral Paroki?

Tentu ada bahaya bahwa konsultasi terbuka bisa dipolitisir. Tapi apakah lobi-lobi di balik layar memungkin saja berjalan selama ini, jauh lebih buruk lagi?

Dewan Sembilan Kardinal berkonsultasi dengan Sri Paus tiga bulan sekali pernah membahas kemungkinan prosedur pemilihan, pengangkatan dan pengunduran seorang uskup diatur melalui proses yang lebih terbuka. Kiranya rekomendasi-rekomendasi mereka segera dibahas secara luas supaya sebuah modus baru dapat diterapkan di seluruh Gereja. Insya Allah.

Kelima, Para Uskup dan pastor mesti ada masa jabatan katakanlah lima tahun yang boleh diperpanjang sekali saja, seperti pejabat-pejabat publik.

Keenam, Sebaiknya umur pensiuan seorang uskup diturnkan dari 75 menjadi 65 tahun. Dalam Gereja Anglikan, uskup-uskup pensiunan, kembali ke tugas semua, entah di bidang pastoral, entah sebagai dosen di universitas. Hal serupa sudah lama diperlakuakn di kalangan religius, salah satu konfrater dipilih sebagai rektor, provinsial, atau pemimpin umum, sesuai jabatannya, ia kembali menjadi anggota biasa.

Ketujuh, Roma mesti segera membuka peluang agar orang berkeluarga dapat ditahbiskan. Hidup wadat tanpa komunitas pendukung tidak manusiawi. Menerima hidup selibat hanya sebagai bagian dari paket dari imamat, jauh berbeda dari memilih hidup berkaul secara sadar dan sukarela.

Kedelapan, Sebaiknya semua sekolah menengah bagi calon imam ditutup. Boleh saja ada keuskupan yagn merasa perlu mempertahankan asrama bagi siswa-siswi yang sudah memikirkan kemungkinan menjadi imam, asal para siswa itu mengikuti pelajaran dalam sekolah yang ‘normal’.

Maksudnya supaya pada masa pubernya, para siswa bergauld engan teman-teman perempuan dan laki-laki. Dengan harapan pula, agar pengaru dari guru adalah perempuan, karena hidup selibat meunut pendewasaan psikoseksual. Efata Gereja bukalah dirimu.

  • Tulisan ini diambil dari Majalan Mingguan Hidup No 44 / 2017

Komentar ANDA?