HUMANISME

0
1463
John SP Kilok: Mantan Kasubag Hukum KPU Sumba Barat Daya dan sedang Kuliah Pasca Sarjana di Undana Kupang

Sebuah Seruan Kemanusiaan atas Kekerasan Terhadap Ketua KPU Lembata

*) Oleh: John SP Kilok

 

INSIDEN pemukulan Ketua KPU Lembata, Petrus Payong Pati menimbulkan reaksi geram korps KPU. Sikap KPU Provinsi NTT jelas memberi protes dan mengutuk. Tentu tidak ada toleransi pada perilaku yang merobek citra kemanusiaan. Seorang Petrus Payong Pati melekat jabatan sebagai Ketua KPU Lembata. Perilaku kekerasan selain menyerang identitas individu juga identitas jabatan publik. Ini kekerasan di tengah publik. Kekerasan yang butuh pertanggungjawaban kepada publik.

Pelaku kekerasan terhadap Ketua KPU Lembata lebih menyatakan dirinya berada di luar konstruksi paham humanisme. Paham  mulia yang menegakan kesetaraan (equality) harkat dan derajat manusia. Prinsip humanisme jauh lebih utama dari pada prinsip standar moral, tata-aturan dan etika sosial. Dalam humanisme kita tidak menemukan sekat dan perbedaan.  Karena esensinya jelas, “humanisme” memandang manusia sebagai gambaran/rupa Allah (Imago Dei).

 

Kekerasan ; Paradoks Humanisme

 

Radix Violentiarum est cupiditas  (Akar dari kekerasan adalah nafsu). Nafsu adalah dasar dari emosi yang hidup dalam raga manusia. Nafsu selalu bersinggungan dengan pikiran dan fantasi. Nafsu mencerminkan kekuatan psikis. Nafsu yang jahat akan menyimpang dari kekuatan positif. Sifatnya merugikan diri sendiri dan orang lain.  Nafsu menekan (intimidasi), menguasai dan menyerang (agresivitas).

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. Kekerasan dapat juga diartikan sebagai tindakan yang sewenang-wenang dan menyalahgunakan kewenangan secara tidak absah.

Robert Merton dalam konsep Anomi semakin membenarkan Stuart dan Sundeen. Iya menyebut perilaku menyimpang terjadi akibat adanya berbagai ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi penyimpang.

Peristiwa penganiayaan Ketua KPU Lembata mejadi paradoks terhadap paham kemanusiaan. Perilaku menyimpang menghancurkan dimensi kemartabatan seseorang. Manusia tidak menjadi manusia untuk manusia yang lain. Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lainnya).

Poin paradoksal menjadi lebih dipahami sebagaimana Stuart dan Sundden menunjukkan motiv dari dari perilaku penganiyaan Ketua KPU disebabkan sesuatu hal. Ciri kekerasan ini semakin tegas ketika Robert Merton mengakuinya sebagai suatu guncangan yang timbul dari struktur sosial. Seperti diketahui, insiden itu terjadi pasca Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan putusan rehabilitasi atas  Ketua dan seluruh anggota KPU Lembata. Putusan ini menjadi hal tertentu yang menyebabkan rasa kesal dan amarah. Menjadi ‘bola liar’ yang menghantam stabilitas struktur (pihak pelaku sebagai pengadu) yang ikut berkepentingan memenangi putusan tersebut.

Tabiat irasionalitas pelaku menyandra hak kemanusiaan korban. Terhadap kesewenangan itu negara melalui simbol penegak hukum harus menindak tegas. Mewujudkan hukum sebagai cemeti yang akan menertibkan perilaku ‘bar-bar’ warganya. Kekerasan harus ditumpas sampai ke akarnya.

 

Publik ; Ruang Membina Humanisme

 

Kata publik diserap dari kata publicus (Latin) artinya umum. Publik juga berarti public (Inggris) yang berarti milik bangsa, negara atau komunitas dalam jumlah besar atau dipertahankan, atau digunakan oleh masyarakat/ komunitas secara keseluruhan. Publik menyatakan makna kolektivitas atau kebersamaan populus (rakyat) yang di dalamnya hidup nilai-nilai kebaikan umum (bonum publicum).

Immanuel Kant mengulas publik bukan lagi pejabat politis melainkan masyarakat Warga (Civil Society) yang kritis dan berorientasi pada kepentingan moral universal manusia. Pikiran Kant, publik sebagai suatu entitas individu-individu yang menerapkan prinsip etika dan kebaikan tanpa memandang budaya, ras, suku, seks dan agama.

Publik hidup dalam orientasi moral universal berarti menolak nihilisme moral. Meta-etika dari nihilisme moral melihat tujuan moral sesungguhnya tidak ada. Maka tindakan manusia dalam ruang publik (public sphere) atau tempat publik (public space) tidak bisa dinilai dengan kategori benar dan salah atau baik dan  jahat. Sebagai contoh, nihilism  moral tidak mengakui perilaku kekerasan (menganiaya, membunuh, mencuri, dsb) inheren dengan dengan ukuran baik atau jahat.

Bagaimana publik menjadi tempat membina humanisme ? Hemat saya, nilai penting humanisme tentang persamaan harkat, derajat dan martabat manusia merupakan satu meta-etika dari moral universal. Haruslah ini menjadi bagian dari orientasi publik. Bahwa Pribadi-Pribadi dalam kesatuan kelompok masyarakat perlu ditanamkan pikiran, rasa dan attitude yang peka terhadap dogma-dogma kemanusian. Pribadi yang hidup sebagai socius (manusia berkawan) mesti menjujung tinggi adagium “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dalam menjaga kesetaraan, kesamaan dan keseimbangan.

Pendapat saya, penganiayaan terhadap Ketua KPU Lembata tidak lain sebagai ancaman terhadap eksistensi nilai humanis. Jauh dari pesan moral universal. Dampak dari perilaku  tidak humanis oleh Stuart dan Sundeen merugikan pihak lain baik material maupun non material, dan mangakibatkan trauma kepada korban.

KPU Provinsi NTT dalam kapasitasnya membawahi KPU Kabupaten/kota se-NTT telah menyatakan sikap tegas, protes dan mengutuk tindak kekerasan yang menimpa Ketua KPU Lembata. KPU Provinsi NTT berada pada posisi yang jelas. Masyarakat di luar institusi KPU pun pasti searah. Sikap kita, menentang perilaku amoral dan anti humanisme. Karena kita paham tentang nilai. Kita meyakini bahwa orintasi akan moral kemanusiaan perlu ditegakan dalam ruang lingkup publik.

Dan untuk menginternalisasikan prinsip humanisme itu, pandangan filsafat psikologi humanistik (Hanurawan : 2006), bisa dipakai untuk mendasari pemikiran. Pertama, pandangan tentang hakekat manusia. Setiap manusia punya  kebaikan dalam dirinya. Kebaikan sebagai sumber perilaku. Kebaikan yang disadari akan mendorong sikap respek. Menimbulkan  tanggung jawab moral. Kebaikan kita adalah kebajikan bagi orang lain.

Kedua, Pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia. Kebebasan dan otonomi individu diakui dalm ruang-ruang publik. Akan tetapi kebebasan individu maknanya tidak absolut. Kebebasan dapat saja menyerobot kebebasan yang lain. Perlu adanya determinasi. Dan itu telah diatur dalam sistem norma. Dengan demikian kita membuktikan otonomi individu sebagai hal yang bebas dari intervensi. Kebebasan dan kemandirian ini menentukan berdirinya sebuah perilaku manusia.

Ketiga, Pandangan tentang diri (the self) dan konsep diri (self concept). Merupakan pusat kepribadian manusia. Dalam diri (the self) seseorang terdapat perasaan, sikap, kecerdasan, intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan karakteristik fisik. Sedangkan konsep diri (self concept) menurut Kendler dalam (Hanurawan, 2006) merupakan keseluruhan presepsi dan penilaian subyektif yang memiliki fungsi menentukan tingkah laku.

Membina humanisme berarti mengarahkan orientasi moral universal masyarakat/publik. Hidup semakin diarahkan kepada kualitas kebaikan. Kebaikan yang selamanya akan melawan kekerasan. Cuma kebaikan yang mampu meredam dengki dan amarah. Hingga tidak akan terulang kembali insiden semacam ini. Kita setara, karena kita manusia. Say not to violence !!!

 

*) Penulis: Mantan Kasubag Hukum KPU Sumba Barat Daya dan sedang Kuliah Pasca Sarjana di Undana Kupang

Komentar ANDA?