Kaitan Politik. Politisi dan Berpolitik 

0
919

NTTsatu.com –  Tujuan politik adalah kerja wujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat dan kekuasaan adalah alat  untuk wujudkan tujuan politik. Jadi politik, politisi, kekuasaan intinya adalah kerja untuk rakyat dan kerja bantu rakyat.

Demikian Fransiskus Ansy Lema yang mengemukakan hak itu dengan sangat jelas. Kemudian dia bertanya, apakah hanya politisi yang bisa bantu rakyat, jawabnya tentu tidak!

“Tanpa menjadi pejabat publik (eksekutif maupun legislatif), siapa saja bisa bantu rakyat,” katanya.

Misalkan, seorang pengusaha punya uang 1 Milyar rupiah ingin memberikan uang kepada setiap keluarga 500 ribu rupiah. Dengan uang 1 Milyar, pengusaha bisa bantu 2000 KK

Yang dilakukan pengusaha adalah AKSI KARITATIF yang disebut BANTUAN SOSIAL Tapi, tindakan dermawan pengusaha tidak bisa dilakukan terus-menerus, apalagi dalam jumlah besar. Uang yang dikeluarkan dari kocek pribadi atau perusahaan ada batasnya

Itu mengapa, ada skema CORPORATE REAPONSIBILITY (CSR) oleh perusahaan untuk bantu rakyat. Beda dengan politisi yang menjadi pejabat

Politisi-pejabat kerja utamanya bantu rakyat, tapi bukan pakai uang pribadi karena uangnya terbatas. Politisi-pejabat harus bisa memanfaatkan kekuasaanya untuk bantu rakyat.

“Sebagai contoh yang saya lakukan dalam kapasitas sebagai anggota DPR RI, saat Rapat Kerja dengan Menteri Pertanian, saya berjuang meyakinkan Pemerintah dan DPR agar mengalokasikan anggaran bagi pengembangan pertanian lahan kering di NTT. Atau saat Rapat Kerja dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya meyakinkan pemerintah pusat agar Pemda dan rakyat Manggarai Barat bisa lebih banyak mendapatkan manfaat ekonomi dari keberadaan Taman Nasional Komodo,” katanya.

Kepentingan dan aspirasi rakyat seperti ini yang mesti diperjuangkan agar politik anggaran berpihak dan menjawab  kebutuhan rakyat. Yang dilakukan politisi-pejaba bukan bantuab sosial, tapi keadilan sosial.

Nilai uangnya pun jauh lebih besar, tergantung kebutuhan rakyat dan kemampuan keuangan negara. Sumber uangnya pun bukan berasal dari uang pribadi, tapi dari kas negara.

Tidak mungkin politisi-pejabat mampu bagi-bagi uang, bersedekah gunakan uang pribadinya setiap saat. Namun, membantu untuk tujuan kemanusiaan, tetap bisa dilakukan politisi-pejabat, tentu dengan skala dan cakupan terbatas

Contoh lain, Presiden Jokowi bangun tujuh bendungan di NTT senilai 5,9 Trilyun bukan pakai uang pribadinya, tapi pakai uang rakyat, uang rakyat.

Rakyat tidak bisa tiap saat minta uang atau sodorkan proposal bantuan dana pada anggota DPR. Jika per hari anggota DPR keluarkan 1 atau 2 Juta rupiah bantu orang per orang dengan aneka permohonan bantuan, maka pengeluaran sebulan mencapai 30 atau 60 Juta rupiah. Gaji anggota DPR pasti tidak cukup melakukan itu.

Jangan “paksa” anggota DPR atau pejabat eksekutif korupsi untuk kasih uang ke orang per orang. Maka, jangan berharap bantuan sosial  dari anggota DPR atau dari pejabat eksekutif, tapi berharap keadilan sosial dari mereka. Kerja anggota DPR adalah meyakinkan pemerintah agar anggaran dan pogram pembangunan dialokasikan kepada rakyat atau daerah yang membutuhkan.

Di sini, anggota DPR juga berperan sebagai PENGAWAS. Mereka mengawasi pelaksanaan keadilan sosial yang telah disepakati dalam diskursus bersama pemerintah.

“Fungsi ini kami jalankan ketika melaksanakan reses dan turun di dapil. Ketika dalam pelaksanaan di lapangan ada yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama, maka saya sebagai anggota dewan akan bersuara untuk mengawal praktik keadilan sosial tersebut benar-benar turun ke masyarakat,” tandasnya. (*/tim)

Komentar ANDA?