Mengintip Kehidupan Para Pemulung Kota Kupang

0
1515
Foto: Inilah lokasi para pemulung di wilayah RT 011/RW 03 kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang

HAMPIR  tidak terucap sepatah katapun ketika berada di lereng bukit persis di pertigaan rumah kediaman Viktor Lerik di wilayah RT 011/RW 03 kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Minggu, 03 Pebruari 2019 siang. Sebuah pemandangan yang sungguh memilukan. Hati sepetinya tidak percaya, apakah ada orang yang bisa menjalani kehidupan seperti ini di tempat yang amat sangat menyedihkan.

Sejumlah ibu dan beberapa anak usia sekolah juga masih dalam gendongan ibunya berkumpul di tempat itu. Tatapan mereka tajam memperhatikan setiap orang yang datang ke tempat itu, terutama sekelompok orang yang tergabung kelompk Meditasi Kristian Bunda Maria Fatima (MK BMF) Perumnas Kupang ketika bertandang ke lokasi itu.

Lokasi itu adalah lokasi tempat tinggal para pemulung yang dinamakan “AQU ADA”. Di tempat itu bermukimlah sebanyak 24 Kepala Keluarga dengan 105 jiwa dan 64 jiwa diantaranya adalah anak-anak mulai dari bayi hingga yang sedang mengikuti kuliah.

 

Foto: Elisabeth Manafe alias Omi, Ketua Kelompok pemulung, AQU ADA

Ibu Elsabeth Manafe, ketua kelompok pemulung “AQU ADA” menerima kedatangan MK BMF Perumnas dengan ramah didampingi beberapa orang tua lainnya serta anak-anak. Obrolan ringan mulai tumbuh disertai tawa yang pecah karena beberapa kisah lucu dan menarik untuk disimak dalam obrolan itu.

Kelompok Meditasi Kristiani Bunda Maria Fatima Perumnas Kota Kupang yang dipimpin ketuanya, Densiana Martha Mado bersama beberapa anggota lainnya seperti ibu Rosalin Lein dan Ibu Susan mengunjungi kaum pemulung dengan membawa bingkisan dalam nuansa berbagi kasih dengan para pemulung itu.

“Kita tidak membawa barang yang bernilai besar. Jadi janganlah menilai berapa harga bingkisan kasih yang kami bawa ini, tapi inilah ungkapan kasih yang bisa kami berikan untuk bapak, ibu dan anak-anak yang bermukim di lokasi ini,” kata ibu Densiana yang diakui juga oleh ibu Rosalin dan ibu Susan mewakil MK BMF Perumnas Kupang.

Usai memperkenalkan kelompok MK BMF Perumnas ini dan penyerahan bingkisan kasih, semua berbaur dan mulai melanjutkan obrolan ringan, lucu dan sangat berkesan.

Elisabeth Manafe yang seharian disapa Omi mulai berkisah tentang kehadiran kelompok pemulung yang dipimpinnya ini. Mereka mulai menghuni lokasi penghijauan di lahan milik Pemerintah Kota Kupang ini sejak tahun 2007 silam.

Foto: Suasana penuh keakraban antara MK BMF Perumnas dan kelompok pemulung, Minggu, 03 Pebruari 2019

“Sebelumnya kami berada di bawah sana, tetapi kami mulai pindah ke tempat ini. Semua kami hanya 6 Kepala Keluarga. Jumlahnya terus bertambah hingga saat ini mencapai 24 KK. Kami disini berasal dari Rote, Timor dan juga dari Alor dan kami sudah seperti saudara yang selalu saling tolong menolong satu sama lain,’ beber Omi yang sudah mempunyai lima anak ini.

Omi mengakui, pemerintah Kota Kupang melalui kelurahan Pasir Panjang sudah meminta mereka tinggalkan lokasi ini, namun semuanya sudah sepakat untuk tidak akan bergeser setapakpun dari lokasi yang sudah mereka akrabi sejak  selama 12 tahun ini.

“Kami juga masyarakat Kota Kupang. Ini tanah pemerintah jadi kalau masih kosong seperti ini kami akan tetap tinggal disini. Kami mengikuti semua program pemerintah, terakhir ini kami semua tanam kelor dengan bibit dan pupuk dari Polteks Kupang jurusan Gizi. Mereka yang mengantar bibit kelor ini untuk kami tanam,” kisah Omi.

Mereka mengaku sangat betah di lokasi ini walaupn tempat tinggal mereka amat sangat sederhana. Pasalnya lokasi ini dekat dengan rumah sakit baik itu RSU Kota Kupang, RS Mamami dan Siloam. Juga anak-anak mereka dapat bersekolah di sekolah yang ada diseputaran tempat tinggal mereka.

Omi dan ibu-ibu lainnya juga mengakui, hasil kerja mereka setiap hari ini bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Ada sejumlah anak yang kini sedang mengikuti kuliah di beberapa perguruan tinggi di Kota Kupang.

Memang bukan hal mudah menggeluti dunia pemulung ini. Miris memang, karena hasil yang mereka peroleh dalam sebulan tidak lebih dari Rp 300.000 setiap KK. Namun mereka sungguh menikmati hasil dari profesi ini.

Botol dan gelas air mineral, barang rongsokan lainnya selalu mereka kumpulkan di seluruh penjuru kota Kupang ini. Harganya juga tidak seberapa, untuk bolot atau gelas bekas air kemasan diharga Rp 7.000/kg, sementara dos-dos bekas atau kardus Rp 750/kg dan kelompok barang besi dihargai Rp 3.000/kg.

“Memang dilihat dari harganya sungguh sangat kecil, tetapi kami tekuni profesi ini dengan penuh semangat dan kami selalu berkeyakinan Tuhan pasti akan menolong kami. Kami biar jadi pemulung dari pada minta-minta di orang. Kalau ada yang dating berikan bantuan, kami dengan tangan terbuka menerimanya,” kata Omi lagi.

Kondisi rumah tempat tinggal mereka memang sangat-sangat memprihatinkan. Dinding dan atap dari seng-seng bekas juga ada bebak dan semuanya berlantai tanah. Mereka hanya tidur di atas tripleks-triplek bekas juga kadus-kardus bekas tanpa alas kasur dan bantal yang baik.

Dari sekian gubuk sederhana itu hanya ada tiga gubuk yang memiliki penerangan listri sementara sisanya hanya menggunakan lampu pelita. Mereka mengakui belum sanggup untuk memasang meteran listrik.

Foto: Inilah wajah sejumlah anggota Kelompok pemulung AQU ADA yang dikunjungi, Munggu, 03 Pabruari 2019

Sementara air untuk kebutuhan harian yakni minum, mandi dan cuci,  mereka beli dalam urkuran jerigen. Selain itu mereka mendapatkan air dari kemurahan hati Viktor Lerik yang kediamannya tidak jauh dari lokasi mereka.

“Kami kalau tidak ada air, biasanya kami pergi ambil di rumah pak Viki (sapaan Viktor Lerik), kebetulan di rumah pak Viki itu ada sumur bor dan dia memperbolehkan kami untuk ambil kapan saja sesuai kebutuhan,” kisah Omi.

Ditanya sekali lagi, jika suatu saat pemerintah Kota Kupang memanfaatkan lokasi ini untuk membangun demi kebutuhan pemerintah, kum ibu yang hadir itu serentak menyatakan, mereka tidak akan keluar dan mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan mereka. Karena mereka juga adalah warga Kota Kupang yang patut dilindungi bukan diusir.

“Kami tidak akan keluar dari lokasi ini karena ini lokasi penghijauan dan kami tidak pernah merusak lahan apalagi pohon-pohon di sini, malahan kami terus menanam pohon dan merawatnya dengan baik. Kita omong dulu kalau mereka mau suruh kami keluar dari lokasi ini,” kata Omi selalu bersemangat dan terkesan sedang mengobakan semangat yang sama kepada anggotanya. (bonnepukan)

Komentar ANDA?