Menjelajahi Potensi Pariwisata di Sumba Bersama Viktor Laiskodat (2 dari dua tulisan)

0
908
Foto: Suasana penuh keakraban dengan duduk bersama di atas tikar dalam pertemuan Vagub NTT, Viktor Laiskodat bersama masyarakat Kampung Ubu Malesu, Selasa, 15 Mei 2018

*Menjelajahi Sejumlah Kampung Adat di Sumba Barat

 

SELASA, 15 Mei 2018 siang calon gubernur NTT, Viktor Laiskodat bersama rombongan berjibaku dengan alam Sumba Barat yang indah mempesona menembus sejumlah kampung adat dengan kondisi jalan yang masih sangat sulit.

Perjalanan menerobos padang savana menciptakan kesan dan kisah tersendiri. Kampung adat Ubu Malesu desa Welibo Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat menjadi tujuan pertama perkunjungan dalam safari politik calon Gubernur Viktor Laiskodat yang berpasangan dengan calon wakil gubernur Yosef Nae Soi (Victory-Joss)

Viktory-Joss memang ingin membangun pariwisata di NTT yang akan menunjang pembangunan di sektor lainnya. Keindahan alam, budaya dengan aneka atraksinya mesti ditata dengan baik untuk dijual sehingga memikat wisatawan untuk mendatangi daerah-daerah wisata yang ada di NTT. Mereka mengemasnya dalam program “Cincin Parwisata interkoneksi”  dimana semua obyek wisata di NTT harus bisa dijangkaui dengan mempersiapkan sarana dan prasarana transportasi yang baik, lancar dan aman.

Di kampung adat Ubu Malesu ini Viktor dan rombongan diterima masyarakat adat setempat dengan penuh keramahan. Ciuman hidung yang adalah budaya setempat menjadi sapaan awal ketika bertemu dengan mereka yang lugu, sopan dan sangat familiar.

Kampung yang berada di puncak bukti ini dihuni sebanyak  40 kk dengan kepala kampungnya Kedu Talo Nodu yang lebih populer disebut Rato.

Tidak seperti pertemuan-pertemuan lasimnya yang dilakukan di beberapa tempat dan daerah yang dikunjungi. Masyarakat Malesu membentang tikar aneka ukuran di tengah kamping itu dan semua yang datang kesempatan itu duduk bersama di atas tikar.

Masyarakat mulai berkeluh kesah soal kondisi kehidupan mereka selama ini. Masala air menjadi masalah utama mereka selama ini. Ada sebuah kali besar di kaki bukti kampung ini, namun karena letak kampung berada di atas bukit maka kesulitan itu  terus diraskan. Masalah berikutnya adalah listrik.

Di Kampung adat tertua di wilayah Lamboya ini terdapat sebuah jangkar besar berusia ratusan tahun tapi tidak diketahu kapalnya berlayar dari mana dan sekarang berada dimana. Jangkar yang mulai karat dimakan usia ini dibiarkan tergeletak begitu saja di tanah tanpa perawatan yang jelas sebagai sebuah aset wisata budaya yang menarik.

Menurut cerita yang dituturkan turun temurun bahwa kapal ini milik Noha Bara yang terdampar disini masyarakat disini tidak tahu kapan kapal itu terdampar disini dan keberadaan kapal itu. Bisa dikaitkan dengan kisah Alkitab Perjanjian Lama tentang Bahtera Nabi Nuh itu.

Keluhan demi keluhan warga yang ditemu di kampug-kampung adat itu semuanya sama. Seperti diungkapkan masyarakat desa Harona Kala dengan 48 KK, kampung adat kedua yang kami kunjungi. Mereka mengeluhkan masalah yang sama.

Foto: Sebuah jangkar berusia ratusan tahun yang berada di pinggir kampung Ubu Malesu. Tidak diketahui kapan ada kapal yang berlayar disitu dan dimana kapal itu berada. Hanya sebuah jangkar yang sudah mulai karatan dimakan usia

Bernabas B. Ledi mewakili warga Malisu juga masyarakat Hanora Kala menyatakan, mereka bangga karena hanya calon gubernur Viktor Laiskodat yang bisa megunjungi kampung adat ini.

“Kami bangga karena bapak Viktor Laiskodat bisa sampai disini. Kehadiran bapak ini memberikan kami kekuatan untuk memenangkan paket Victroy-Joss di kampung adat Malesu ini,” kata Bernabas.

Dia mengungkapkan, masalah besar yang mereka hadapi dari tahun ke tahun selama ini adalah air minum dan listrik. Air bersih menjadi masalah karena kampung adat ini berada  di ketinggian sementara sumber mata air berada jauh dibawah sana.

Di kampung adat Sodan desa Lamboya Deti yang harus didatangai dengan berjalan kaki hingga ke ketinggian bukit. Kampung ini menjadi pusat dimulainya Pasola Lamboya. Sebelum digelarnya Pasola Lamboya, upacara prapasola dilakukan dikampung adat ini kemudian di Malesu dan menuju ke pantai mengikuti ritual penangkapan nyale disusul atraksi pasola yang mendebarkan itu.

Rato Talo Goro Nudo yang merupakan kepala kampung itu menuturkan, tahun 2016 lalu kampung adat ini ludes terbakar dan tersisa beberapa rumah di pinggir kampung. Sebanyak 36 rumah adat termasuk 12 rumah adat induk terbakar dan belum dibangun kembali karena biaya pembangunan rumah adat itu sangat besar.

Viktor Laiskodat di hadapan masyarakat kampung adat yang dikunjungi sepanjang hari itu, mengungkapkan komitmennya bersama Yosef Nae Soi untuk membangun pariwisata di NTT, karena itu dia menyatakan tekadnya untuk harus membangun kampung-kampung adat itu.

“Tidak boleh ada rumah adat beratap seng. Kita harus upayakan untuk semua rumah adat itu kembaloi seperti kondisi nenek moyang dahulu yakni beratap ilalang,” katanya.

Masalah-masalah yang dikeluhan warga seperti air dan listri itu pasti akan dipenuhi ketika kekuasaan menjadi gubernur dan wakil gubernur NTT mereka dapatkan dari masyarakat NTT pada pemilihan gubernur tanggal 27 Juni mendatang.

“untuk urus air dan listri itu tidak susah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mempertahankan budaya yg mahal ini. Karena itu harus di tata dengan baik agar kampung ini menjadi terkenal sehingga mendatangkan uang bagi warga disini. Komitmen kami adalah membangun sektor pariwisata di NTT agar NTT semakin terkenal dan dengan sendirinya akan menggerakan potensi-potensi lainnya di daerah ini,” katanya. (bonne pukan – habis)

Komentar ANDA?