Misionaris yang Kesepian, Misionaris yang Bersukacita

0
1030

MENJADI Misionaris di manapun terutama di negara lain bukan tanpa beban dan derita. Kesepian, itulah derita terhebat yang dialami oleh seorang misionaris. Hidup sendiri jauh dari bising dan keramaian kota serta canda tawa insan manusia.

Minimal pengalaman yang saya alami sebagai seorang misionaris. Bangun pagi mempersiapkan diri untuk misa pagi. Setelah misa pagi, ke depan gereja menanti umat, namun karena kesibukan kerja mereka harus buru-buru pergi. Langsung masuk kamar. Ketika waktu sudah menunjukan pkl.18.00 malam, tak terdengar lagi suara insan manusia. Sepi. Rasa cape dan lelah telah mengantarkan mereka ke pembaringan.

Hidup dalam rutinitas yang semuanya adalah sendiri dan sepi memang kadang menjenuhkan. Namun tidak menjadi alasan untuk lari dari kesepian yang menerpa.

Saya pernah ditanya oleh umat; “padre, kok bisa ya kuat hidup sendiri dalam sepi”?. Saya menjawab; “saya dan kalian semua adalah pencipta kebahagiaan dari diri kita sendiri”. Sepi menjadi jalan untuk menciptakan kebahagiaan pribadi.

Ya, saya katakan bahwa jika saya memikirkan bahwa pengobat rasa sepi adalah yang berada dan berasal dari luar diri saya maka saya bisa saja ke pub, bar atau kemanapun aku suka. Tapi apa yang kudapat jika itu kulakukan? Kehancuran!, ujarku.

Sepi menjadi sukacita dan kebahagiaan ketika saya mengakrabi diri saya sendiri dalam doa, menulis ataupun menyanyi. Menikmati sepi dalam rasa syukur seperti yang setiap kali saya lakukan entah berdoa, live di fb, menulis dan menyanyi serta mengunjungi umat dan berdiskusi bersama mereka adalah kekuatan dan peneguhan bagi saya sebagai seorang misionaris.

Saya boleh besyukur bahwa dalam kesendirian dan kesepian itu saya masih bisa merasakan kehadiran Tuhan yang selalu menemaniku setiap saat. Saya selalu merasakan suara Tuhan yang selalu menyapa dan mengajaku untuk bercengkerama dalam doa melalui salah seorang umatku.

Setiap jam 17.45, ia selalu meng-sms saya; “padre, nanti jam 6.00 kita berdoa. Doakan saya agar diberi kesehatan dan kedamaian dalam keluargaku”. Ya, setiap hari baik dia maupun saya saling mengingatkan untuk berdoa dan saling mendoakan.

Bagi saya ini adalah sebuah pengalaman sederhana, namun meneguhkan dan menguatkan. Bahwa ia dan saya menjadi tanda kehadiran Allah yang menemaniku dalam setiap rasa sepi dan kesendirianku dalam doa-doa kami setiap jam 6.00 malam.

Kesepian dan kesendirian bisa menjadi pintu godaan untuk masuk ke dalam pencobaan ketika kita sendiri tidak mampu dan mau menjadi “pencipta” sukacita. Sebaliknya kesepian dan kesendirian menjadi jalan sukacita ketika kita sendiri mau kembali dan masuk dalam bagian terdalam dalam diri dan hidup kita yaitu hati kita meski hanya sepenggal doa dari hati yang bersyukur (bdk. Luk 5:1-11.

=====

Manila: Setiyembre-05-2019
Pater Tuan Kopong MSF

Komentar ANDA?