Pemda Sumba Timur Abaikan Hak Masyarakat Adat dan Hak Ekologi

0
367
NTTsatu.com- WAINGAPU –  Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur dinilai telah mengabaikan hak masyarakat adat dan hak ekologi.

“Kami sudah merasakan dan melihat masyarakat adat mengalami ketidakadilan dan memgalami ketidakadilan ekologi. Mereka selain warga juga adalah jemaat. Dimana peran gereja sangat dibutuhkan untuk melindungi jemaat dan alam,” ungkap Sekretaris  Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba Timur, Pendeta Herlina.

Lebih lanjut Pendeta Herlina mengatakan PERUATI punya perhatian keberpihakan terhadap yang dimarginalkan dan mengalami ketidakadilan atas alasan apapun.

“Karena alasan itu kami melakukan advokasi agar mereka mendapatkan keadilan. Mendapatkan hak-haknya. Kami juga melihat semangat untuk memperoleh keadilan dari masyarakat adat sangat tinggi. Mereka sadar ada hah-haknya yang diabaikan pemangku kepentingan. Masyarakat adat saya lihat bukan hanya memperjuangkan hak hak nya saja tapi juga hak hak ekologi” ujar Pendeta Herlina.

Pemerintah daerah menurut penilaiannya masih berada di ruang-ruang aman. Pemerintah juga terkesan lebih berpihak pada mereka yang punya uang dan punya kuasa. Mereka tidak mampu berdiri mewakili masyarakat yang seharusnya mereka wakili. Mereka tidak memainkan peran yang semestinya.

“Sementara pemerintah abai terhadap pendampingan pada yang menjadi hak masyarakat. Harusnya mereka ada di pihak masyarakat ketika misalnya bicara soal HGU,” tegas Pendeta Herlina.

Kelemahan berikut, menurut dia, tidak sinkron antara beberapa hal yang mereka kemukakan, misalnya katanya perijinan dari Gubernur padahal Bupati yang tandatangan, bagaimana persisnya itu. “Dalam aksi kemarin, Bupati dengan rendah hati mengakui bahwa dia salah (terkait pernyataan tanah ulayat dan terlantar di Pos Kupang, RED). Masih ada yang bisa diharapkan dari mereka untuk berdiri bersama-sama dengan masyarakat.

Sementara itu, Pendeta Rambu Ana Maery dari Jemaat Kahembi Kalelang menyatakan di depan Bupati Sumba Timur, dari sisi gereja, pemerintah adalah Mitra. Kita saling membangun, mendorong sesuatu yang mendatangkan kesejahteraan di dalam masyarakat dan juga dalam jemaat.

“Dan ketika gereja melihat ada hal-hal yang tidak sesuai dengan yang kami Imani. Maka di situ kami merasa terganggu dan tidak nyaman, haruskah kami diam? Tidak. Kami tidak Akan diam. Kami pada 2016 telah melayangkan surat keberatan atas kehadiran PT. Apakah tidak cukup bagi bapak bahkan semua yang berkepentingan di dalamnya, untuk menghancurkan hutan kemudian menggadaikan padang dan Air diprivatisasi,” tegas Pendeta Ana Maery yang juga sebagai Wakil Ketua PERUATI di Sumba Timur.

Di kampung menurut Pendeta Ana Maery, masyarakat bukan mengalami gagal panen tapi gagal tanam karena ketiadaan air akibat kerusakan hutan yang terjadi.

“Bagiannya manusia yang Tuhan kasih tidak dipelihara secara bertanggungjawab. Kalau kita dengan sengaja menghancurkan bagian generasi masa berikut. Itu kami tantang, kami tidak tinggal diam baik sebagai masyarakat juga sebagai gereja,” tegas Pendeta Ana Maery.

Hal serupa juga diutarakan oleh Pendeta Rambu Tamu Ina Maramba. Menurutnya saat ini di kampung telah terjadi kerusakan minimal di tiga hutan di Palanggay Maupin di Lambakara. “Kami siap menemani bapak sekalian kalau bapak bersedia untuk pergi cek di lapangan. kami siap siang Maupun malam,” tegasnya.

PERUATI mengharapkan agar pemerintah menghentikan praktek-praktek yang mengabaikan suara-suara masyarakat adat dan kelestarian Alam di kampung.

Pernyataan sikap para tokoh agama itu disampaikan dalam aksi demonstrasi Aliansi Masyarakat Bersuara pada 1 Oktober 2019 lalu.

Mereka merasa prihatin turut mendukung perjuangan masyarakat adat di Sumba Timur untuk melindungi tanah, air, Padang dan hutan. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan PERUATI dalam Aliansi Masyarakat Bersuara ketika melakukan aksi demostrasi di Kantor DPRD dan Kantor Bupati Sumba Timur. (*/tim)

Komentar ANDA?