Rendah Tanggungjawab Pemerintah Terhadap Masalah HAM dan Martabat Manusia NTT

0
394
Foto: Petrus Salestinus, Koordinator TPDI dan advokat Peradi

NTTsatu.com – JAKARTA – Satu lagi Tenaga kerja Indonesia (TKI) Ilegal asal Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, NTT bernama Imanuel Adu Mooy yang bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit Malaysia meninggal dunia akibat jatuh dari Pohon Kelapa Sawit.

Namun oleh Perusahaan yang mempekerjakan dia dan teman-temannya sesama NTT yang bekerja di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit “Tamaco Plantation Kimbell Light Industrial Centre” dimaksud tidak dapat membantu selamatkan nyawanya hanya karena korban berstatus TKI Ilegal.

Kondisi ini membuat segala akses untuk mendapatkan haknya atas pelayanan terhadap hak-hak dasar sebagai manusia makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan martabatnya yang telah dilindungi oleh UU-pun tidak dapat diperolehnya.

Demikian rilis dari Koordinator  TPDI yang juga pengacara Peradi asal NTT, Petrus Salestinus melalui rilisnya yang diterima media ini, Selasa, 13 Maret 2018 pagi.

Dia menulis: Itulah nasib anak-anak manusia NTT diperantauan Malaysia yang dibiarkan Pemerintah untuk  diberangkatkan secara Ilegal oleh sindikat terorganisir sebagai akibat Negara  dan Pemerintahan Provinsi NTT gagal melindungi warga negara dan warga masyarakatnya  serta segala tumpah darahnya sesuai amanat UUD 1945 dimanapun berada, dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia bahkan melanggar Hak Asasi Manusia.

Padahal lanjut Salestinus, di dalam konsiderans UU Pemberantasan TPPO, negara telah mengakui bahwa “Kejahatan Perdagangan Orang” telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian mengapa Negara dan Pemerintah Provinsi NTT mengabaikan tanggungjawabnya terutama menegakkan hukum untuk menindak kejahatan TPPO bahkan terkesan membiarkan.

Menurut data yang telah dilansir disejumlah media, bahwa Almarhum Imanuel Adu Mooy merupakan TKI Ilegal asal NTT yang ke 13 (tiga belas) yang meninggal di Malaysia sejak Januari 2018 hingga Maret 2018. Ini berarti setiap bulan terdapat  4 (empat) orang anak manusia NTT dengan status TKI Ilegal di Malaysia meninggal (dalam tiga bulan) tanpa negara hadir dan tanpa Pemerintahan Provinsi NTT berupaya memberikan perlindungan sesuai kewajibannya bahkan hanya sekedar berempati kepada Keluarga Korbanpun Pemerintah Provinsi NTT tidak pernah ditunjukan.

“Apa yang salah dengan orang-orang NTT sehingga negara absen ketika peristiwa duka yang susul menyusul mendera anak-anak NTT. Bukankah NTT merupakan salah satu bagian terpenting bahkan tidak terpisahkan dengan Provinsi lain di Negeri ini sehingga berhak mendapat perlakuan yang adil dan layak,” tulisnya.

Ini juga menunjukan betapa  negara tidak memiliki aparatur negara yang secara sungguh-sungguh mau memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negaranya dan seluruh tumpah darahnya dengan mencegah dan menaggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Pemerintah Provinsi NTT tidak memiliki semangat dan keinginan untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang yang didasarkan pada nilai-nilai luhur.

Implementasi UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO, menunjukan bahwa Negara dan Pemerintah Daerah sama sekali lemah bahkan mengabaikan tanggungjawab konstitusionalitasnya yaitu melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darahnya dan organ-organ negara yang dibentuk oleh negara agar secara khusus menangani masalah Ketenagakerjaan di luar negeri tidak memberi manfaat apapun bagi TKI asal NTT.

“Gubernur NTT tidak pernah melakukan terobosan termasuk sekedar membangun kerja sama antara Pemprov NTT dengan Malaysia khususnya mendata dan memberdayakan TKI Ilegal asal NTT di Malaysia agar segera kembali, padahal UU telah memberi wewenang kepada Pemerintan Daerah untuk melakukan Kerjasama internasional dengan Provinsi lain di luar negeri untuk berbagai bidang,” tulis Salestinus.

Dia juga menulis: “Kita punya Wakil Rakyat dari NTT ada 13 (tiga belas) orang dan terbagi secara proposional di Komisi-Komisi strategis di DPR RI, bahkan 4 (empat) anggota DPR RI dari 13 (tiga belas) yang ada di DPR RI menjadi anggota Komisi III DPR RI tetapi Penegakan Hukum yang sangat buruk dan lemah di NTT selama ini dibiarkan tanpa diawasi tanpa dicarikan jalan keluar. Publik akhirnya menilai bahwa 13 (tiga belas) Anggota DPR RI dari dapil NTT bukanlah menjadi solusi tetapi justru menjadi masalah atau bagian dari masalah yang sering menjadi beban bagi publik NTT,” pungkasnya. (mus)

Komentar ANDA?