Sudahkan Ekaristi Menjadi Puncak, Sumber dan Pusat Kehidupan Umat Beriman Katolik?

0
3178

(Catatan Otokritik Seorang Beriman Katolik) 

               Oleh: Albertus Muda, S.Ag

Pertanyaan di atas secara tidak langsung menggugat keberadaan dan identitas kita sebagai umat Katolik, pengikut Kristus. Mengapa? Sebab pada kenyataannya, ekaristi dijalankan lebih sekedar ritualitas, sebuah tindakan lahiriah belaka. Inilah tantangan hidup keberimanan kita.

Padahal, jika kita rayakan secara teratur dengan penuh iman melalui sebuah perjumpaan personal yang mendalam maka kita akan menimbah rahmat dari padanya bagi keberlangsungan kehidupan iman kita. Melalui pengalaman perjumpaan itu, ekaristi sungguh menjadi puncak, sumber dan pusat kehidupan umat beriman (Bernardus Boli Ujan, 2005:6-8).

Ekaristi sebagai Puncak

Puncak mengandaikan bahwa ada sebuah area dataran, lembah bahkan pendakian yang kita lalui hingga mencapai puncak perjalanan. Berbicara puncak juga mengandaikan bahwa kita sungguh melihat eratnya hubungan antara ekaristi dan kegiatan-kegiatan harian lainnya yang kita jalankan.

Setiap kegiatan yang kita jalankan hendaknya membawa kita dalam khasanah ekaristi sebagai sebuah perjamuan persaudaraan, perjamuan perjumpaan satu sama lain dengan Tuhan. Di sini kita mesti berpikir dan bertindak dengan cara pandang Tuhan, cara pandang dari atas bukan cara pandang manusia.

Kita tentu menyadari bahwa di puncak kegembiraan, kebahagiaan, keindahan yang menawan nurani dan rasa iman, kita pun mesti melihat ke bawah karena kita tak dapat mengelakkan diri dari lembah datar yang membosankan, tebing karang yang menakutkan dan pendakian yang penuh batu dan kerikil tajam.

Di atas puncak kita berjumpa dengan Tuhan yang menyatakan diri dalam Sabda dan perintah-Nya. Di atas puncak (altar/mesbah) kita disediakan oleh Kristus makanan rohani. Kristus adalah tuan pesta sekaligus mesbah dan korban perjamuan itu. Maka sebagai umat Katolik kita semestinya bangga bahwa dalam perayaan ekaristi kita makan dari dua meja yakni meja sabda dan meja ekaristi (Tubuh dan Darah Kristus).

Ekaristi sebagai Sumber

Dalam ekaristi kita mengalami kehadiran Tuhan sebagai sumber segala kebaikan yang menguatkan dan menghidupkan kita umat manusia. Sumber mengingatkan kita akan sumber air yang keluar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba. Tuhan yang hadir dalam ekaristi adalah sumber air yang memberi hidup.

Dalam ekaristi, Tuhan menampakkan cinta-Nya yang tak pernah berhenti, cinta tanpa batas. Dalam ekaristi, kita mengalami kasih Tuhan yang memberi hidup-Nya kepada semua yang datang kepada-Nya dengan iman. Air selalu mengalir menuju dataran rendah dan bersifat lembut. Di dalam ekaristi kita berjumpa dengan Tuhan yang rendah hati, lemah lembut dan sabar. Kita mesti mencotohi Yesus yang lembut dan rendah hati bila mau mengalami ekaristi sebagai sumber hidup.

Ekaristi sebagai Pusat

Di dalam ekaristi kita bertemu dengan Tuhan yang menjadi pusat hidup manusia. Olehnya, semakin kita mendekati pusat itu, semakin kita merasa kuat dan bersatu dengan Tuhan serta saudara-saudari seiman. Kenyataan ini sangat kita rasakan ketika kita menerima Tubuh dan Darah Kristus.

Di sinilah kita semakin menyadari, menghayati dan mengimani bahwa ekaristi merupakan puncak, sumber dan pusat kehidupan umat beriman. Namun penghayatan ini mesti dipahami dalam konteks hubungan ekaristi dengan kegiatan-kegiatan lain. Apabila kita tidak melihat hubungan antara ekaristi dan kegiatan harian lain maka perayaan itu tak bermakna, tidak menjadi puncak, sumber dan pusat. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan harian kita tak mengalami puncaknya dan kehilangan sumber serta pusat kekuatan.

Tri Harta Iman

Ekaristi merupakan satu dari tiga harta iman selain Kitab Suci dan Devosi. Inilah tiga kekayaan iman yang menjadi kekhasan dalam hidup iman Katolik. Apabila ekaristi adalah puncak, sumber dan pusat kehidupan Gereja, maka Kitab Suci dan Devosi juga mesti mewarnai kehidupan umat beriman yakni semakin mencintai sabda dan bertekun dalam devosi.

Di tengan situasi penstigmaan secara negatif oleh pihak tertentu, kita sebenarnya ditantang sekaligus semakin beriman. Kita ditantang agar kita melepaskan simbol-simbol yang menjadi sarana rohani kita dalam menghayati kehidupan kekatolikan kita. Misalnya, ada aliran tertentu yang secara ekstrim menyatakan bahwa salib sebaiknya dibuang, patung dibakar, gambar-gambar kudus tidak perlu dipajang sebenarnya salah satu upaya memperlemah penghayatan iman kekatolikan kita. Sebaliknya kita pun mestinya semakin beriman karena melalui tiga kekayaan rohani di atas, kita akan semakin militan dan minoritas kita adalah minoritas kreatif yang sangat diperhitungkan.

Pencetus teori psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939) berpendapat bahwa pada usia dini anak harus diberi landasan yang kuat agar terhindar dari gangguan-gangguan kepribadian. Dengan kata lain, gangguan kepribadian pada orang dewasa dapat dicari penyebabnya dengan menelusuri kehidupan di masa kanak-kanak (Surip Stanislaus, 2010:16).

Pendapat Freud di atas menyadarkan kita semua betapa pentingnya pendidikan sejak usia dini. Alkitab sebagai sumber kehidupan beriman dan pedoman tata kemasyarakatan perlu mendapat tempat pertama dalam seluruh proses pendidikan iman. Oleh karena itu, sejak umur lima tahun anak-anak mesti sudah diperkenalkan dengan Kitab Suci. Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan September sebagai bulan Kitab Suci Nasional. Pendalaman Kitab Suci mesti dihidupi dari kelompok dasar melalui bina iman anak. Selain itu pendalaman Kitab Suci bagi kelompok remaja, pemuda dan orang dewasa.

Selain itu devosi. Devosi sendiri berasal dari bahasa latin devotio yang berarti kebaktian, pengorbanan, sumpa, kesalehan, cinta bakti. Dalam tradisi kristiani, devosi berarti bentuk penghayatan dan pengungkapan iman Kristiani di luar liturgi resmi. Bentuk-bentuk devosi itu antara lain: devosi Sakramen Mahakudus, Jalan Salib, doa rosario, novena dan ziarah. Inilah kekayaan Gereja yang kesemuanya mesti dijalankan dalam hidup kita bersamaan dengan kegiatan harian lainnya yang dijiwai oleh dan terarah pada ekaristi.

Sudahkah ekaristi menjadi puncak, sumber dan pusat hidup Gereja?

Menjelang anak-anak kita menerima komuni pertama atau sakramen ekaristi, ada begitu banyak persiapan yang kita lakukan seperti lokasi pesta, anggaran pesta, undangan, rekadu, pembinaan, rekoleksi dan pemberesan segala macam administrasi baik di lingkungan maupun paroki sebagai syarat menuju hari komuni pertama. Tentu Gereja tidak mau terjebak dalam komersialisasi sakramen seperti pernah terjadi di masa lampau. Semua yang dibuat adalah menjadi bagian dari tanggung jawab sebagai warga Gereja dan tidak ada unsur komersialisasi sakramen di dalamnya.

Polemik yang terjadi beberapa minggu terakhir terkait jadwal penerimaan komuni pertama atau sakramen ekaristi tentu menjadi bagian dari proses iman. Tim pastor terutama pastor paroki telah membaca semua komentar baik lewat medsos maupun mendengar dari umat secara langsung. Satu hal yang dapat dipelajari dari polemik ini adalah bahwa kita menjadi sangat gelisah. Namun peristiwa ini memberi pesan pokok dan inti bagi kita bahwa kita mesti menyelesaikan setiap masalah dengan hati dan kepala dingin.

Bagi saya, tradisi harus kita kritisi. Misalnya, dulu tanggal penerimaan sakramen ekaristi sudah diumumkan jauh hari sebelumnya. Kali ini bukan berarti tidak mau diumumkan tetapi jeda waktu tentu telah diperhitungkan oleh pastor dan tim. Dalam misa hari ini, Minggu, (25/8) jadwal itu akan diumumkan. Segala persiapan kita sudah hampir final. Jedah antara satu dan dua minggu ke depan menjadi saat istimewa untuk persiapan batin orangtua dan anak menerima sakramen tobat sebagai persiapan menerima sakramen ekaristi.

Semoga kita semua menahan diri saling belajar satu sama lain. Jika ada dinamika politik, iman juga pasti ada dinamikanya agar bisa dikelola, dihayati dan diperteguh. Jika tidak maka iman kita boleh jadi hanya sebatas iman warisan dan tidak berproses menuju iman yang dialami, iman yang mencari-cari hingga sampai pada tingkat iman yang memiliki sebagaimana tahap perkembangan iman secara umum (ST. Hendro budiyanto, 2011: 44-45).

Mari kita tenangkan hati, menilai diri dengan penuh kesabaran. Kita mesti terbuka menerima bahwa tradisi semestinya dikritisi. Banyak tradisi dalam Gereja Katolik pun berubah sesuai perkembangan zaman dan ada yang tidak dipertahankan lagi. Tentunya perubahan yang kita alami terkait kebijakan pastor mengumumkan tanggal penerimaan sakramen ekaristi pun sebenarnya tidak perlu terlalu lama kita perdebatkan. Karena hari penerimaan sakramen ekaristi bukanlah dadakan. Semoga kita terus belajar bersama dan semakin bijak menyikapi semua persoalan. Mari bersama menyiapkan anak-anak kita menjadi pribadi yang ekaristik, cinta kitab suci dan taat berdevosi.

=====

*) Penulis adalah guru Agama pada SMA Negeri 2 Nubatukan Lewoleba-Lembata NTT

Komentar ANDA?