Ulah Pedagang Asongan Waiwerang Hingga Buruh Pelabuhan Lewoleba

0
718

Bagi siapa saja yang pernah berlayar dari Larantuka menuju Lewoleba menggunakan Kapal Motor tentu memiliki pengalaman tertentu dengan ulah pedagang asongan usia anak-anak di pelabuhan Waiwerang, pulau Adonara kabupaten Flores Timur. Bagi yang membawa barang-barang yang cukup banyak juga akan mengalami aksi para buruh pelabuhan di Lewoleba Lembata.

Berikut ini adalah kisah yang dialami seorang penumpang dalam pelayaran dari pelabuhan Larantuka transit Waiwerang selanjutnya ke Lewoleba. Pengalaman Bence Pureklolong seorang pekerja sosial di Lembata ini dituangkan dalam sebuah kisah pengalaman dengan judul: “SELAMATKAN PENUMPANG LEMBATA”.

Hari ini, Sabtu, 20 Oktober 2018,  saya membawa 5 buah kursi roda, 1 kruk ketiak, dan 1 walking aid untuk membantu teman-teman saya difable people di Lamatokan-Ile Ape Timur (jumlah yang cacat di Lamatokan ada 18 orang dan 8 dari antaranya tidak bisa berjalan dan membutuhkan kursi roda).

Memasuki pelabuhan Larantuka para buruh menghampiri pickup yang kami tumpangi untuk menurunkan alat bantu jalan tersebut. Kepada mereka saya cuma menyampaikan “Ini bantuan untuk orang catat. Saya pekerja social. Tidak punya uang untuk membayar kalian. Saya dan sopir pickup bisa angkat sendiri”.

Ketua para buruh mengatakan “Ini adalah tugas kemanusiaan. Kami angkat. Tidak usah beri kami apa-apa”. Akhirnya semua barang diangkut ke  Kapal Sinar Mutiara Express dengan tujuan Lewoleba. Dari saya mereka hanya menerima sebungkus Rokok Surya 12 dengan senang hati sebagai tanda terima kasih.

Pelayaran sekitar 1,5 jam, kami tiba di pelabuhan Waiwerang. Saking lapar karena tidak sarapan ketika berangkat; saya membeli makanan seadanya seharga Rp 20.000. Setelah memberikan penjual, uang Rp 50.000, ia menukar ke buritan kapal dan menyerahkan uang kembalian Rp.30.000.

Anehnya setelah menyerahkan uang itu saya diminta harus memberikan Rp 50,000 yang katanya belum diterima. Bahkan beberapa anak ikut membenarkan itu dan mengatakan kalau yang menerima Rp 50.000 itu bukan dia tetapi orang lain. Rasanya kebohongan itu begitu cepat diciptakan. Rasanya seperti mimpi dan tidak percaya.

Setelah mereka bubar, seorang anak yang juga penjual mengatakan ini sebuah tipuan. Uang itu akan dibagi bersama antara mereka. Saya ikhlaskan saja.

Ketika tiba di pelabuhan Lewoleba, melalui telepon selular saya meminta sopir dan pembantunya dari Lamatokan masuk ke ke kapal untuk ambil barang karena memang uang saya sisa Rp 100.000. Uang sisa ini hanya untuk ongkos mobil ke Lamatokan dan tidak bisa untuk jasa buruh bongkar muat.

Seorang buruh pelabuhan berdiri di samping saya dan memaksakan kehendaknya dengan menutup jalan dan mengatakan “mengangkat barang dari dalam motor adalah haknya”. Saya menjelaskan “ini cuma 5 dos milik orang cacat. Saya Cuma seorang pekerja social tidak punya duit untuk membayar jasa kalian. Saya dibantu dua adik saya akan memikul dan membawanya ke mobilnya dan seterusnya ke Lamatokan-Ile Ape”.

Kami pun mulai mengangkatnya ke pundak, tetapi pada saat itu datanglah seorang buruh bertubuh besar diikuti oleh 2 orang temannya langsung berteriak “turunkan barang itu…. Itu haknya buruh untuk mengangkat”.

Penjelasan seperti apapun tidak lagi digubris bahkan semakin kejam mengancam karena pembantu sopir belum turunkan barang. Saya akhirnya mengancam lapor ke KP3 (Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan) tetapi buruh itu terus berteriak… “saya bilang turunkan… turunkan. Semua barang kalau sudah sampai di pelabuhan, wewenangnya buruh untuk angkat…..” .

Saya mengancam untuk melaporkannya ke polisi jika mereka terus memaksa. Saya malah balik ditantang “silahkan kalau lapor. Polisi KP3 yang menyuruh kami demikian”. Saya akhirnya memutuskan ke KP3 untuk mengadukan hal ini juga untuk mengetahui apakah ada aturan yang mengatur.

Polisi akhirnya ke pelabuhan untuk menertibkan situasi ini. Bahkan ketika polisi tiba mereka masih protes…. “Pegawai kantor itu seperti itu. Ada uang juga bilang tidak ada supaya makan sendiri… “

Saya tambah bingung. Sebelum pergi saya mengucapkan terima kasih ke polisi KP3 dan mengingatkan beliau untuk bantu memberikan penyadaran tentang pelayanan jasa di pelabuhan. Kalau mau menawarkan jasa bukan begitu caranya….” Dengan mata berkaca-kaca dan hati yang penuh lara, saya meninggalkan pelabuhan Lewoleba.

Beberapa hal yang ingin saya sampaikan melalui media social ini :
1. Bagi saya kejadian-kejadian ini menjadi bagian yang harus dilewati dalam sebuah sikap belarasa terhadap teman-teman saya yang difable atau cacat. Saya cuma merasakan sedikit dari sakit panjang yang mereka alami semasa hidup. Beberapa dari mereka dibiarkan berada di rumah sendirian dengan kondisi tanpa kursi roda karena orang tua harus bekerja mendapatkan sesuap nasi menyambung hidup. Seribu rupiah dalam sehari menjadi nilai uang yang belum tentu mereka dan orang tua dapatkan meski bagi kita sejuta belum menjadi sesuatu yang mencukupi.
2. Dari kejadian yang saban tahun terus berulang ini, kita bisa tahu bahwa sudah banyak penumpang yang mengalami ini. Seperti hari-hari dalam setahun berjumlah 365, jumlah yang sama juga menjadi korban penipuan oleh anak-anak dan pemerasan yang terjadi di pelabuhan.

Entahlah apa yang menyebabkan ini di tengah daerah yang dihuni oleh ratusan aturan. Orang tidak tahu aturan kah? Orang yang seharusnya menegakan aturan menjadikannya sebagai alat untuk meperkaya dirikah….?

Semoga refleksi di ujung hari penuh tantangan ini memberikan kita tugas untuk melawan ketidakadilan ini. “Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan di sini dimana lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi”. Kita juga menitipkan ketidaknyamanan penumpang ini ke para pemimpin negri agar menjadikan ini sebagai gugatan terhadap kepemimpinannya yang ketika sebagai calon selalu diproklamirkan pro rakyat.

=======

Foto; Aksi para buruh di pelabuhan Lewoleba. (foto: ist)

Komentar ANDA?