WAKIL RAKYAT DAN ASPIRASI

0
600
Foto: Pater Anselmus Baru, misionaris di Venezuela.

Oleh: Anselmus Baru.

SELAMA dua pekan terakhir, publik disuguhkan oleh berita yang telah viral di linimasa, aksi wakil rakyat Marselinus Nagus Ahang atau lazim dengan sapaan Marsel Ahang yang adalah kader dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), membuat gaduh sidang Paripurna DPRD Manggarai. Dalam rapat paripurna ketujuh, Sabtu, 25 November 2017. Ahang melemparkan botol air mineral kepada sesama anggota dewan.

Aksi Ahang ini merupakan buntut dari interupsinya yang tak diakomodir oleh pimpinan rapat. Kala itu Ahang menginterupsi jalanya paripurna dengan alasan mempertanyakan soal pokok pikiran (pokir). Menurut Ahang, pokir untuk 2018, tidak akan diakomodasi oleh pemerintah, seperti halnya tahun sebelumnya. Ruang paripurna pun gaduh karena Ahang mengamuk.

Soal, pokir yang tidak diakomodir, secara terpisah, Victor Madur selaku wakil bupati Manggarai membantahnya. Menurut Madur, apa yang selama ini dikerjakan oleh pemerintah adalah sesuai dengan skala prioritas pemerintah kabupaten  Manggarai.

Aksi mengamuknya Ahang di ruang paripurna yang kemudian sangat cepat viral di linimasa dan disiarkan oleh beberapa stasiun TV swasta memantik reaksi publik. Ada yang sepakat dengan aksi itu, sebab menurut mereka, Ahang yang adalah wakil rakyat sedang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Tapi, ada juga reaksi publik yang tidak sepakat, sebab memperjuangkan aspirasi rakyat bisa diungkapkan dengan cara yang lebih santun. Tidak perlu dengan kekerasan baik verbal maupun fisik.

Jika publik jeli mencermati kinerja wakil rakyat yang satu ini,  sebenarnya bukan baru kali ini Ahang membuat gaduh. Masih tersimpan dalam memori publik bahwa Ahang sudah berkali-kali membuat keributan baik di rumah wakil rakyat, maupun di instasi pemerintah sebagai mitra kerja.

Pada tahun 2015, kala itu Ahang mempolisikan koleganya di DPRD Manggarai, Simprosa R. Gandut. Ahang menuding rekannya bermain atau mengkapling sejumplah proyek di Dinas Pekerjaan Umum (PU). Namun kemudian, Ahang tak mampu membuktikan tuduhannya itu.

Pada 28 september 2016, Ahang mengamuk dengan membanting kursi di ruang DPRD saat rapat dengar pendapat dengan pihak PLN rayon Ruteng. Dia juga berusaha menyerang General Manajer PT PLN NTT, yang sedang menjelaskan masalah yang dialami pihak PLN.

Kala itu, suasana makin parah karena Ahang bersama rekannya Kasmir Jarum, mengejar sekretaris Kesbangpol Linmas sampai ke halaman parkiran gedung DPRD kabupaten Manggarai, lantaran sang sekretaris meminta anggota polisi mengamankan keributan yang terjadi di DPRD.

Pada Bulan Mei 2017, Ahang juga mengamuk di ruang kantor wakil ketua DPRD Manggarai, Simprosa R. Gandut. Ahang mengancam Simprosa, merusak pintu sekretariat dewan dan pintu ruangan pimpinan, pasalnya setelah anggota PKS ini mengadakan perjalanan untuk pertemuan partai di Bali, surat tugasnya tidak ditandangani atau didisposisi.

Kala itu, Gandut selaku  pimpinan mengungkapkan bahwa, pimpinan tak menandatangi surat tugasnya, karena saat itu Ahang adalah anggota tim perumus LKPJ bupati Manggarai, dan saat itu tim sedang bekerja, sehingga tidak diijinkan anggota bepergian keluar daerah.

Publik pun harus kritis soal perjalanan Ahang ke Bali. Kala itu, Ahang bepergian untuk urusan partai, bukan perjalanan dinas sebagai wakil rakyat. Apakah benar, perjalanan untuk urusan atau kegiatan partai dibiayai oleh APBD?

Lagi-lagi Ahang berulah. Pada bulan Juli 2017, Ahang mengamuk di Kantor Dinas PU kabupaten Manggarai. Ahang beraksi, lantaran hasil reses yang masuk ke pokir di daerah dapilnya belum diakomodir. Ahang menuding, kepala Dinas PU tidak transparan dengan dirinya.

Tak hanya sampai di situ,  Ahang juga menuding para pegawai PU lainnya telah bersekonkol dengan anggota DPRD untuk membagi-bagi ABPD. Bahkan dalam keterangannya kepada  salah satu wartawan stasiun TV swasta, Ahang mengungkapkan bahwa wakil bupati, sekda, semua kepala Dinas, DPR juga ada jatah. Ahang pun berdalih bahwa ia ingin meminta kejelasan itu.

Terakir, tanggal 29 November 2017, Ahang kembali berulah di ruang paripurna saat berlangsung paripurna kedelapan, dengan agenda penyampain pendapat akir fraksi-fraksi di DPRD Manggarai terhadap Ranperda 2018 mendatang. Ahang menginterupsi dan mengamuk karena tidak terima dirinya hendak di PAW-kan atas laporan bupati Manggarai ke partai PKS tempat Ahang bernaung.

Ahang mengamuk, lantaran menurutnya, ketua DPC PAN, yang juga sebagai bupati Manggarai, melaporkan dirinya ke partai PKS. Ahang marah, karena mengangap pimpinan Partai PAN mencampurai urusan rumah tangga partai lain.

Ahang memang suka berulah dan membuat gaduh. Apa sebenarnya yang membuat Ahang suka membuat gaduh, apakah benar ia memperjuangkan aspirasi rakyat? Apakah benar tuduhan Ahang bahwa ada jatah proyek untuk anggota DPRD, kepala dinas-kepala dinas, wakil bupati, sekda? Apakah Ahang punya bukti yang kuat? Kalau Ahang punya bukti, kenapa Ahang terus bermain kasar? Ataukah Ahang mengamuk karena tak kebagian jatah? Aksi Ahang yang terus-terus membuat gaduh, merupakan  salah satu cerminan bahwa wajah politik lokal dilakoni oleh politisi murahan yang suka cari sensasi.

Hemat penulis, kegaduhan politik ini terjadi karena kegagalan anggota DPRD Manggarai dalam  memahami fungsi dan tugasnya sebagai wakil rakyat yaitu, legislasi berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah; anggaran  berkaitan dengan kewenangan dalam hal anggaran daerah (APBD); dan pengawasan, dimana lembaga DPRD mengontrol pelaksanaan perda dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah.

Dilihat dari tiga fungsi lembaga perwakilan rakyat di atas, publik bisa memahami bahwa, lembaga DPRD merupakan perumus kebijakan dan anggaran, dan bukan merupakan eksekutor kebijakan. Lembaga eksekutiflah yang menjadi eksekutor kebijakan dari setiap program pembangunan di daerah.

 

Memperjuangkan Aspirasi

Jika diamati, dari tahun 2015 yang menjadi centrum permasalahan Ahang adalah soal proyek fisik dalam pembangunan Manggarai.  Pada kegaduhan tahun 2017 ini Ahang mempertanyakan aspirasi konstituen yang dibungkus dalam pokir reses yag dilakukan di dapilnya, Manggarai 1, kecamatan Ruteng-Lelak yang tidak diakomodir.

Di sini, publik digiring pada sebuah realitas kekerdilan politik wakilnya sendiri, bahwa lembaga DPRD juga memiliki profesi sampingan sebagai kontraktor. Ya, kontraktor, karena sibuk urus proyek pokir, apalagi sampai membuat gaduh, untuk meminta jatah proyek.

Tak sulit bagi publik mengamati kinerja anggota DPRD yang sperti ini. Lihat misalnya, kejadian baru-baru ini, pada tanggal 29 November 2017 silam, KPK mengadakan operasi tangkap tangan (OTT) di Jambi, yang melibatkan anggota DPRD. Ini membuktikan, APBD masih menjadi lahan bagi anggota DPRD untuk mengeruk keuntungan pribadi (Tempo.co 29/11/2017).

Publik bisa menilai kinerja sang wakilnya sendiri, ada perbedaan ketika mereka memperjuangkan aspirasi rakyat dan memperjuangkan proyek. Bila sang wakil rakyat memperjuangkan aspirasi, ia akan menjadikan ruang dewan dan rapat paripurna sebagai ruang diskusi dan mengungkapkan masalah yang dijumpai di  masyarakat (konstituen) saat menjalankan reses, sehingga bersama eksekutif sama-sama merancang pembangunan daerah untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat itu.

Untuk mencapai hal di atas, dibutuhkan dari wakil rakyat kemampuan komunikasi politik yang terumus dalam ide dan gagasan yang mampu dipahami oleh pemerintah selaku eksekutor kebijakan. Tentunya, kesepahaman ini akan tercapai bila cara pengungkapan aspirasi itu juga santun dan bisa dimengerti dalam kerangka prioritas pembangunan daerah.

Adalah tugas dan panggilan politik sebagai wakil rakyat untuk menyuarakan kepentingan rakyat,  bukan membungkus kepentingan pribadi (fee proyek) dalam memperjuangan aspirasi rakyat, sebab DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Do Piring Ru (memenuhi piring sendiri).

Agar aspirasi yang disalurkan itu bukan asal-asalan demi proyek, para wakil rakyat juga harus betul-betul memanfaatkan masa reses itu sebagai sarana menjaring aspirasi rakyat. Apalagi setiap anggota DPR sudah dialokasikan dana reses. Celakanya, kalau  reses yang dibuat  abal-abalan, sehingga dana reses juga bisa masuk ke kantong pribadi. Akibatnya, aspirasi yang sampai ke ruang paripurna juga aspirasi abal-abalan, hanya demi proyek semata.

Aksi Ahang terlanjur menjadi tontotan publik. Dengan aksinya yang tak santun, publik pun tak percaya pada kredibilitas anggota DPRD Manggrai. Sangat layak juga bila publik berkesimpulan bahwa wakil rakyat adalah pemburu kekuasaan dan memanfaatkan jabatan politik untuk kepentigan dan keuntungan pribadi.

 

Mengembalikan Citra Wakil Rakyat

Sebastian Salang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), dalam menelaah tentang lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, menyinggung peran lembaga perwakilan rakyat. Menurut Salang, secara umum, lembaga perwakilan pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan (Salang, 2007).

Dilihat dari perannya, wakil rakyat memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan sebuah daerah.  Ia adalah representasi rakyat dalam menetukan jalannya pembangunan. Dengan demikian, yang menjadi perjuangan para wakil rakyat adalah kejahterakan rakyat.

Untuk mengembalikan citra atau memperbaiki lembaga wakil rakyat yang sudah tercoreng dan tidak dipercayai publik, ada dua hal yang perlu dibenahi: Pertama, pola relasi DPRD-konstituen (reses); kedua, pola relasi DPRD-Pemerintah.

Pertama, pola relasi DPRD-konstituen (reses). Reses anggota DPRD harus dipahami sebagai ruang relasi antara wakil rakyat dengan masyarakat atau konstituen. Dalam masa reses, para wakil rakyat menjaring aspirasi dari konstituen di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Aspirasi itu merupakan manifestasi kebutuhan masyarakatan dalam hal pembangunan demi kesejahteraan umum.

Sejauh ini, DPRD Manggarai, tidak memiliki mekanisme agar reses para anggota dewan terhormat itu diketahui publik. Ini terlihat tidak adanya informasi yang bisa diakses publik tentang jadwal dan tempat reses dari masing-masing anggota DPRD.

Bahkan media di Manggarai juga sangat minim menginformasikan kegiatan reses para wakil rakyat. Bisa jadi karena media tidak mengikuti perkembangan kegiatan mereka saat reses. atau pun karena para wakil rakyat sendiri yang sengaja membuat resesnya yang tertutup, tak diketahui media. Hal ini menjadikan reses yang memiliki fungsi menjaring aspirasi, dijadikannya sebagai ajang ‘janji manis politik’ untuk konstituennya.

Janji manis ini menjebak para wakil rakyat untuk menjadikan kebutuhan konstituen diakomodir dalam pokir. Kedangkalan politik wakil rakyat, seringkali memperjuangkan aspirasirasi konstituen berupa proyek fisik pembangunan. Akibatnya nanti, sang wakil rakyat berjuang gigih, entah dengan cara yang halus atau dengan kasar, agar pokirnya lolos dan diakomodir oleh eksekutif.

Pokir adalah hasil dari sebuah proses reses yang mendalam. Pembangunan di Manggarai selama ini bukan hanya soal infranstruktur, tapi juga soal regulasi dan peraturan daerah. Lihat saja misalnya, berapa jumlah wakil rakyat yang memperjuangkan regulasi soal masalah “impor ilegal ayam pedaging di Manggarai” yang mengakibatkan peternak lokal kalah bersaing?

Berapa anggota wakil rakyat yang terhormat itu yang mendengarkan keluhan masyarakat tentang kepincangan distribusi pupuk di kabupetan Manggarai? Apakah anggota legislatif di kabupaten Manggarai sudah mejalankan fugsi pengawasannya dalam pembangunan infrastruktur yang dibangun di daerah agar tidak asal bangun atau sekedar menghabiskan APBD?

Yang jelas,  saat reses banyak masalah dari rakyat yang disampaikan ke wakilnya. Menjadi tugas wakil rakyat juga untuk memilah-milah aspirasi masyarakat itu, sehingga diketahui mana yang menjadi prioritas sesuai kebutuhan masyarakat setempat, agar kerangka perjuangan aspirasi itu selaras dengan orientasi pembangunan daerah.

Celakanya, kalau para wakil rakyat yang terhormat itu tidak memanfaatkan masa resesnya untuk menjaring aspirasi masyarakat. Atau reses yang abal-abalan. Akibatnya dana reses pun masuk ke kantorng pribadi. Laporan yang masuk ke sekretariat dewan pun soal pengunaan dana reses yang digunakan itu hanya asal-asalan bahkan bisa jadi dibuat laporan fiktif.

Apalagi, sejak tahun 2017, setelah penetapan Peraturan daerah (perda) berkaitan dengan Hak Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Setiap anggota DPRD mendapatkan tunjangan reses yang melekat pada gaji. Artinya, kalau para wakil rakyat menggelapkan dana reses,  plus menerima tunjangan reses, maka kantong anggota dewan terhormat pun semakin tebal. Betapa enaknya menjadi anggota dewan terhormat, makan uang rakyat!

Mental anggota dewan yang seperti ini, akan menjadikan ruang sidang sebagai arena untuk memperjuangkan pokir yang akan dijadikan proyek untuk kepentinganya. Dalam kondisi ini, nalar sang wakil yang terhormat pun kehilangan fungsi, emosi tak terkontrol, otot pun lebih berkuasa.

Wajah DPRD pun tak ubahnya wajah preman. Yang diperjuangkan adalah kantong pribadi yang bersembunyi dibalik aspirasi rakyat. Lagi-lagi rakyat sebagai tumbal di meja judi wakil rakyat. Mudah-mudahan masih ada anggota DPRD Manggarai yang tidak menjadikan ruang rapat sebagai ruang judi yang mempertaruhkan rakyat Manggarai. Ah…DPRD Manggarai malu-maluin!

Kedua, pola relasi DPRD-Pemerintah. Kegaduhan soal pokir yang menjadi perhatian publik, adalah gambaran kegagalan relasi kemitraan antara DPRD dan Pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan di Manggarai.

Sejauh ini, yang berhasil dibaca oleh publik  bahwa antara pemerintah dengan DPR tidak ada sinkronosasi gagasan pembangunan, karena itu perlu dibangun mekanisme yang jelas, yang menjamin hubungan yang produktif antara DPRD dan Pemerintah.

Modelnya bukan relasi struktural birokratif, melainkan lebih bersifat koordinatif dan konsultatif melalui forum bersama antara DPRD dan Pemerintah. Forum ini bertujuan untuk menyamakan visi pembangunan, yang kemudian dijalankan sesuai dengan fungsi masing-masing. Mekanisme pertemuan dari forum ini bisa diatur secara berkala sesuai dengan kebutuhan kedua lembaga tersebut.

Dalam sebuah kerangka pembangunan daerah, paling tidak, forum DPRD dan Pemerintah bisa dilakukan dua kali dalam setahun.

Pada awal tahun, dimana DPRD dan Pemerintah bisa membangun visi bersama tentang pembangunan daerah selama satu tahun ke depan. Hal ini penting karena ada penyamaan visi antara pembuat dan pelaksana kebijakan pembangunan daerah.

Penyamaan visi pembangunan sangat penting, agar regulasi yang dihasilkan oleh lembaga DPRD dapat mendukung orientasi dan rencana pembangunan oleh pemerintah daerah.

Hal ini juga akan membantu anggota DPRD dalam masa reses untuk mampu menyerap aspirasi dan kepentingan rakyat, yang nantinya bisa membantu pemerintah dalam melihat kebutuhan masyarakat di daerahnya, sehingga pemerintah sebagai eksekutor pembangunan mampu membangun demi kesejahteraakn rakyat.

Pada akhir tahun, forum DPRD-Pemerintah ini bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian pembangunan selama setahun. Hal ini juga sebagai mekanisme evaluatif  dan pertanggungjawaban lintas lembaga untuk melihat keberhasilan dan kegagalan dan pembangunan selama setahun.

Relasi kemitraan yang terbangun secara harmonis antara DPRD dan pemerintah dalam membangun daerah akan mampu mengembalikan citra DPRD sebagai wakil rakyat yang merakyat, bukan wakil rakyat yang suka buat gaduh. Wakil rakyat yang mampu menjadikan ruang paripurna sebagai ruang untuk menyuarakan aspirasi rakyat, bukan aspirasi perorangan demi proyek yang akan memenuhi kantong pribadi.

 

*) Penulis adalah Alumnus FFA UNWIRA Kupang dan Universidad de San Buenaventura, Bogotá, Colombia.Tinggal di San Felix, Venezuela

Komentar ANDA?