Oleh: Robert Bala
Seorang pembaca setia memberikan kritikan yang sedikit memojokkan penulis: “𝑷𝒂𝒌 𝑹𝒐𝒃𝒆𝒓𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒎𝒂 𝒏𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒂𝒎𝒊 𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒎𝒆𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒑𝒐𝒔𝒊𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒂𝒊𝒕 𝑷𝒖𝒔𝒂𝒕 𝑳𝒊𝒔𝒂𝒕𝒓𝒊 𝑻𝒆𝒏𝒂𝒈𝒂 𝑷𝒂𝒏𝒂𝒔 𝑩𝒖𝒎𝒊 (𝑷𝑳𝑻𝑷) 𝑨𝒕𝒂𝒌𝒐𝒓𝒆.” Rupanya belum puas juga memojokkan saya karena ia masih tambahkan: “𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑑𝑖 𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑙𝑢𝑝𝑢𝑘 𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑖𝑏𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑙𝑎𝑛𝑔𝑖?” Tetapi sesungguhnya dalam diam, data-data telah saya kumpulkan dan waktunya pas untuk mempublikasikannya.
Inilah Atakore, sebuah desa di Kecamatan Atadei Kabupaten Lembata dengan energi panas bumi yang tidak saja ditonton tetapi juga dimanfaatkan secara arif oleh masyarakat sebagai dapur alam. Mereka melihat panas berkekuatan 150 ° – 300 °C pas untuk memasak makanan. Hal itu dilakukan berpuluh-puluh tahun.
Kini, energi ini akan dieksplorasi. Kekuatannya mencapai 10 MW yang bila dibangun sekarang maka akan beroperasi pada 2027. Banyak orang yang tentu saja ‘pro’ oleh tersedianya energi hijau. Energi ini tidak saja untuk masyarakat Lembata tetapi juga kabupaten malah propinsi tetangga dengan biaya yang lebih terjangkau.
Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat akan berubah. Tanah dengan radius minimal 600-1000m dari titik pengeboran akan ‘dihargai’ dengan jumlah yang tentu sedikit. Kita lalu membayangkan, pola hidup masyarakat akan berbeda jauh hal mana mengingatkan kita akan berkah yang pernah diterima warga di Tuban, Jawa Timur tahun 2021. Kampung yang dilewati tol mendapatkankan ganti untung dan berubah menjadi kampung milarder di 2021.
Tahun itu ada 176 mobil baru yang dibeli warga desanya. Mobil yang dibeli beragam, mulai dari Kijang Innova, Honda HRV, Pajero hingga Honda Jazz. Atakore tentu tidak seperti itu tetapi minimal motor, pick up, dan bus penumpang bisa saja berdesakan masuk kampung hingga kini masih dikenal memiliki warisan budaya sangat tinggi ini. Tapi hal itu akan jadi cerita. Bukan budaya lagi yang diperbincangkan tetapi pamer kekayaan.
Kemakmuran juga bakal diterima desa. Tak heran aparat desa terutama yang telah diterbangkan untuk melihat bagaimana PLTP) Kamojang-Bandung sudah dibangun pemerintah Hindia Belanda tahun 1926. 𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐬, 𝐭𝐢𝐦 𝐣𝐮𝐠𝐚 𝐝𝐢𝐚𝐲𝐮𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐤𝐞𝐫𝐞𝐭𝐚 𝐜𝐞𝐩𝐚𝐭 𝐖𝐨𝐨𝐬𝐡 𝐁𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 – 𝐉𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚. Bisa dibayangkan, 𝑚𝑎𝑠𝑦𝑎𝑟𝑎𝑘𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑖𝑎𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑙𝑒𝑤𝑎𝑡𝑖 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑝𝑖𝑡 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 35 𝑘𝑚 / 𝑗𝑎𝑚, 𝑘𝑖𝑛𝑖 𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛-ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑒𝑡𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 350 𝑘𝑚 / 𝑗𝑎𝑚.
Yang jadi pertanyaan, apakah iming-iming menggiurkan adalah riil? Apakah pengalaman di Kamojang yang sangat menggoda bakal dialami juga di Atakore dan Nubahaeraka? Apakah manfaat yang bakali diterima bertahan untuk waktu lama atau hanya hadir secepat uap air? Kenyataan di Tuban, kekayaan itu hanya sebentar. Setelah dua tahun bergelimang harta, lalu kampung itu kembali ke titik awal lagi.
Untuk Atakore dan Nubahaeraka, perginya kesejahteraan itu tidak akan jauh berbeda. Hanya penderitaan akibat pemboran panas bumi jauh lebih kompleks. Aneka gas (beracun dan tidak), lumpur yang akan menimpa lahan, akan menjadi bencana susulan. Derita akan menjadi lengkap karena situs budaya harus diangkat mengikuti kepergian warga entah ke mana.
On Site
Apakah ‘studi banding’ ke Kamojang dengan panorama yang aman dan damai bisa menjadi daya tarik minimal untuk membuka ruang bagi masyarakat untuk menerima kehadiran PLTP? Kelihatan mudah untuk menjawab ‘ya’. Tetapi sesungguhnya ada perangkap yang bisa saja disadari tetapi tidak ingin dipahami atau benar-benar tidak disadari.
Kesadaran paling mendasar adalah bahwa 𝒑𝒓𝒂𝒌𝒔𝒊𝒔 𝒃𝒐𝒓 𝒑𝒂𝒏𝒂𝒔 𝒃𝒖𝒎𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒊𝒇𝒂𝒕 𝒐𝒏 𝒔𝒊𝒕𝒆. Artinya 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑏𝑜𝑟𝑎𝑛 (𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝐾𝑎𝑚𝑜𝑗𝑎𝑛𝑔) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑗𝑎𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑙𝑎𝑖𝑛.
Karenanya ia tidak bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa di daerah lain (Atakore) juga terjadi hal yang sama. Lebih lagi pemboran Kamojang yang sudah terjadi hampir 100 tahun (sejak 1926 oleh pemerintah Hindia Belanda) dan telah telah memiliki 62 sumur bor yang menghasilkan 235 megawatt. Artinya telah banyak dieksplorasi, hal mana berbeda dengan Atakore yang masih belum terjamah. Ia bak serigala yang tidur. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒅𝒊𝒈𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏, 𝒕𝒆𝒓𝒖𝒔???
Lalu apakah di Atakore juga akan aman? Dengan hanya satu studi banding maka data itu sangat lemah. Bahkan kalaupun diadakan studi banding ke 1000 tempat pun tidak menjadi alasan menjadi jaminan. Dalam logika diberi contoh aneh tetapi semoga bisa menyadarkan mereka yang terlalu tergiur. Bila ditarik kesimpulan bahwa semua ayam berwarna putih karena sudah ada 1000 bukti tetapi dengan 1 ayam saja berwarna hitam, kesimpulan itu sudah salah besar. Penegasan tentang pemboran ‘on site’ adalah bukti bahwa yang terjadi di satu tempat tidak bisa jadi kesimpulan untuk tempat lainnya.
Untuk Atakore, kalau pemerintahnya ikhlas dan tulus, maka 𝒎𝒆𝒔𝒕𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒂𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒖𝒏𝒋𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆 𝑷𝑳𝑻𝑷 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒆𝒌𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒌𝒆 𝑴𝒂𝒕𝒂𝒍𝒐𝒌𝒐 – 𝑵𝒈𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒅𝒊 𝑷𝒐𝒄𝒐 𝑳𝒆𝒐𝒌 𝑴𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒓𝒂𝒊. PLTP Mataloko yang berkuatan 20 ribu MW 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑘 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 1998 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎𝑑𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2002. 𝑁𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑘 2008 – 2014 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙 𝑙𝑢𝑚𝑝𝑢𝑟 𝑝𝑎𝑛𝑎𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑖𝑎𝑛 𝑤𝑎𝑟𝑔𝑎. 𝐻𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑘𝑖𝑛𝑖 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑙𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖 𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑗𝑎𝑢ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑢𝑝𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑙𝑖.
Penolakan di Poco Leok dari 10 komunitas adat setahun yang lalu (27/09/2023) menandakan bahwa janji kesejahteraan ‘baik durian runtuh’ manis diucapkan tetapi sulit terbuktikan di lapangan. Yang terjadi justru 𝒑𝒓𝒐𝒚𝒆𝒌 𝒈𝒆𝒐𝒕𝒆𝒓𝒎𝒂𝒍 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒐𝒏𝒈𝒌𝒂𝒓 𝒌𝒂𝒘𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒉𝒖𝒕𝒂𝒏, 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒃𝒂𝒉 𝒇𝒖𝒏𝒈𝒔𝒊 𝒍𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒔𝒖𝒓 𝒑𝒆𝒎𝒖𝒌𝒊𝒎𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌. 𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒊𝒕𝒖. 𝑷𝒐𝒄𝒐 𝑳𝒆𝒐𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒍𝒊𝒍𝒊𝒏𝒈𝒊 𝒃𝒖𝒌𝒊𝒕 𝒄𝒖𝒓𝒂𝒎 𝒓𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒍𝒐𝒏𝒈𝒔𝒐𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒏𝒋𝒊𝒓.
Kalau demikian maka 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒃𝒆𝒓𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝑲𝒂𝒎𝒐𝒋𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌 2500 𝒌𝒎 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑨𝒕𝒂𝒌𝒐𝒓𝒆 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒅𝒊 𝑨𝒕𝒂𝒅𝒆𝒊 𝑳𝒆𝒎𝒃𝒂𝒕𝒂? 𝑩𝒖𝒌𝒂𝒏𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒈𝒂𝒈𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝑷𝑳𝑻𝑷 𝑴𝒂𝒕𝒂𝒍𝒐𝒌𝒐 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒄𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒚𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝑷𝑳𝑻𝑷 𝑷𝒐𝒄𝒐 𝑳𝒆𝒐𝒌 𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊? Kita tentu tidak mengharapkan semuanya itu tetapi kecerdasan otak mestinya membuat kita berpikir sambil mengurangi napsu yang mudah tergiur.
𝑩𝒖𝒌𝒂𝒍𝒂𝒉 𝑷𝒊𝒏𝒕𝒖𝒎𝒖!
Mengaharapkan bahwa warga Atakore hidup sejahtera dari berkah energi panas bumi tentu sebuah impian menggiurkan. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, desa seluas 1.300 km2, terdiri dari 4 Dusun dan 8 RT, serta memiliki jumlah penduduk sebanyak 701 jiwa itu punya sejarah menarik.
Atakore adalah kampung yang dibanding dengan tetangganya merupakan desa dengan paling banyak orang yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Ada semacam upaya saling berlomba menguliahkan anak. 𝙋𝙖𝙙𝙖 𝙩𝙖𝙝𝙪𝙣 80-𝙖𝙣, 𝙙𝙞 𝙆𝙪𝙥𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙖𝙙𝙖 𝙖𝙨𝙧𝙖𝙢𝙖 𝘼𝙩𝙖𝙠𝙤𝙧𝙚 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙢𝙥𝙪𝙣𝙜 𝙢𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙨𝙬𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙠𝙖𝙢𝙥𝙪𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙠𝙤𝙢𝙥𝙖𝙠 𝙞𝙣𝙞. 𝙏𝙚𝙧𝙗𝙖𝙘𝙖 𝙖𝙙𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙤𝙡𝙞𝙙𝙖𝙧𝙞𝙩𝙖𝙨 𝙙𝙞𝙢𝙖𝙣𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙝𝙖𝙨𝙞𝙡 𝙢𝙚𝙢𝙛𝙖𝙨𝙞𝙡𝙞𝙩𝙖𝙨𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙞𝙣𝙣𝙮𝙖.
Animo itu itu tidak terbangun dengan sendirinya. Ia disetting sejak dari kecil lewat petuah atau lagu yang mendorong kreativitas. Penulis ingat ada sebuah lagu yang begitu nyaring dinyanyikan anak SDK Watuwaawer:“𝘽𝙪𝙠𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙞𝙣𝙩𝙪𝙢𝙪, 𝙎𝙞𝙤𝙣, 𝘽𝙪𝙠𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙞𝙣𝙩𝙪𝙢𝙪, 𝙢𝙖𝙧𝙞 𝙞𝙧𝙞𝙣𝙜𝙞 𝙧𝙖𝙟𝙖𝙢𝙪, 𝙧𝙖𝙟𝙖 𝙖𝙜𝙪𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙟𝙖𝙮𝙖….Lagu ini hanya populer di antara anak-anak SD tahun tujuh puluhan sampai delapan puluhan di kampung yang selama ini memanfaatkan energi panas bumi untuk memasak makankan secara alamiah yang dikenal sebagai dapur alam.
Lagu ini bisa saja mengundang agar semua pihak membuka pintu hati menerima 𝙍𝙖𝙟𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝘼𝙜𝙪𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙅𝙖𝙮𝙖. RAJA YANG AGUNG adalah represenatsi Ia yang bijaksana, Tuhan, leluhur, lewo-tanah. Ia mengaka untuk bisa membuka pintu guna berdialog.
Pemerintah (yang direpresentasikan oleh aparat desa) mestinya tidak tergiur dengan PLTP yang katanya menyejahterakan masyarakat. Faktanya, warga Atakore dari dulu bisa kuliah bukan dari menjual tanah dan ladang tetapi dari memeras tenaga dan menguras otak untuk bisa hidup. Kini otak itulah yang harus diberdayakan dan bukan mengharapkan hidup dari berkah dari lahan yang dibeli.
Dalam situasi ini cara terbaik adalah ‘membuka pintu’ untuk dialog. Agar lancar dan selamat maka perlu kerelaan dan ketulusan untuk saling membuka pintu. 𝑱𝒂𝒖𝒉𝒌𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒊𝒌𝒂𝒑 ‘𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒆𝒅𝒐𝒓 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒖’ (𝒍𝒆𝒘𝒂𝒕 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒔𝒊) 𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒌𝒔𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒌𝒆𝒉𝒆𝒏𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒏𝒖𝒉𝒊.
Yang perlu adalah duduk bersama, membuka hati dan bersedia apapun yang menjadi kesepakatan tulus. Kalau pun diterima, perlu antisipasi sampai puluhan tahun risiko yang bakal terjadi termasuk mempertimbangkan bahwa kampung tetangga: Lerek, Lewogroma, Dulir, membutuhkan jalan yang bisa menghambat mereka ke Lewoleba.
𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒑𝒖𝒏 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒖𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒐𝒍𝒂𝒌𝒂𝒏, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒍𝒊 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂.
========
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol. Penulis buku 𝑴𝙀𝑵𝙂𝑰𝙍𝑰𝙉𝑮 𝑲𝙀𝑴𝘼𝑻𝙄𝑨𝙉 (𝑻𝙚𝒓𝙗𝒊𝙩 𝘼𝒌𝙝𝒊𝙧 𝙊𝒌𝙩𝒐𝙗𝒆𝙧 2024)