Oleh : Robert Bala
Tahun 1997 saat pertama kali menginjakkan kaki di Paraguay, saya melihat hal baru dalam kaitan dengan uskup. Setelah bertugas beberapa tahun di satu dioses, seorang uskup sufragan bisa dipindahkan ke keuskupan lain. Sebuah hal yang baru karena sejauh yang saya tahu, di Indonesia, jabatan uskup seumur hidup di satu dioses.
Ada pengalaman lain. Paraguay yang hanya memiliki satu Keuskupan Agung Asunsion, harus melewati proses alot untuk memilih salah satu dari uskup sufragan yang ada menjadi Uskup Agung. Bisa dipahami. Keuskupan metropolitan biasanya mencakup sebuah wilayah yang jauh lebih besar yang bisa dikaitkan dengan level pemerintahan yang lebih luas. Untuk Paraguay misalnya meliputi sebuah negara. Karena itu jabatan Uskup Agung diberikan kepada uskup terbaik yang diharapkan dapat mewakili keseluruhan gereja lokal dalam relasi pemerintah dan negara.
Dua fakta kecil menjadi latar belakang tulisan ini: Apa mungkin diadakan ‘penyegaran posisi uskup’ sehingga jabatannya tidak menjadi kekal di satu keuskupan? Juga apakah perlu merancang lebih jauh tentang peran seorang Uskup Agung? Pertanyaan ini tentu saja tidak bersifat kanonis. Ia hanya sekadar ‘omon-omon’ yang didasarkan pada ‘akal sehat’ dengan membandingkan pemerintahan gerejawi dengan pemerintahan duniawi.
Tentu saja perbandingan seperti ini dianggap mengada-ada. Sebuah penilaian yang benar. Pemerintahan gerejawi dianggap bersifat spiritual jauh dari pemerintahan duniawi yang penuh dengan trik dan intrik. Tetapi harus diakui juga bahwa baik yang memimpin (gereja maupun pemerintah) tetap manusia dengan godaan kemanusiaan yang bersifat terbuka dan dalam banyak hal sudah terbukti. Karena itu mewacanakan reposisi tentu bisa diterima, meski mungkin bagi banyak orang dianggap aneh dan mengada-ada.
𝑻𝒆𝒓𝒍𝒂𝒍𝒖 𝑳𝒂𝒎𝒂
Bila merujuk pada Kitab Hukum Kanonik (KHK) No 378 – § 1 3º, maka dianggap wajar secara manusiawi tentang umur seorang uskup minimal 35 tahun. Untuk jabatan pemerintahan, umur seperti itu dianggap matang. Artinya saat terpilih jadi uskup minimal ia telah menjadi imam 6 – 7 tahun (mengingat seorang imam ditahbiskan di usia 26 – 28 tahun. Dengan jenjang waktu itu, seorang kandidat sudah ditelusuri dan diakui memiliki 𝑖𝑚𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑔𝑢ℎ, 𝑚𝑜𝑟𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘, 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛, 𝑝𝑒𝑟ℎ𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑗𝑖𝑤𝑎-𝑗𝑖𝑤𝑎 (𝑧𝑒𝑙𝑢𝑠 𝑎𝑛𝑖𝑚𝑎𝑟𝑢𝑚), 𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑏𝑖𝑗𝑎𝑘𝑠𝑎𝑛𝑎𝑎𝑛, 𝑘𝑒𝑎𝑟𝑖𝑓𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎𝑎𝑛-𝑘𝑒𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎𝑤𝑖, 𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖 𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡-𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡 𝑙𝑎𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑐𝑜𝑘 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑘𝑠𝑎𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡.
Tetapi persoalannya, jabatan ‘duniawi’ dibatasi sampai seseorang berusia 60 tahun. Bahkan saat berumur 59 tahun sudah melewati Masa Persiapan Pensiun. Lebih lagi jabatan ‘duniawi’ hanya diberi ruang sampai 2 kali periode. Karena itu bila seseorang terpilih untuk sebuah jabatan pemerintahan pada usia 35 tahun, paling-paling ia bertahan sampai 10 tahun.
Hal ini berbeda dengan jabatan seorang uskup. Usia pensiun uskup adalah 75 tahun. Bila uskup terpilih saat berumur 35 tahun, maka ia bakal menjadi uskup selama 40 tahun. Pertanyaannya apakah hal itu wajar dan manusiawi? Sekali lagi orang akan bilang, itu ‘jabatan ilahi’. Tetapi apakah setiap orang begitu suci, sederhana,bijaksana dan tidak otoriter serta murah hati seperti Uskup Gregorius Monteiro, SVD Uskup (Agung) Kupang, sehingga meski menjadi uskup selama 30 tahun (1967-1997), banyak orang yang masih merindukan kehadirannya?
Bukan rahasia bahwa adalah manusiawi kalau ada masalah antara para imam dengan uskupnya. Tetapi tidak selalu berarti ketika terjadi masalah, yang menjadi penyebab adalah para imam (atau imam tertentu). Adalah mannusiawi juga berpendapat bahwa persoalan itu bisa terjadi karena kekuasaan yang terlalu lama seorang uskup di sebuah keuskpan.
Jelasnya ketika ada persoalan, selalu yang dipermaslahakan adalah imamnya (bukan uskup). Nyaris uskup bisa dipersalahkan karena selalu kanonik, Uskup memiliki kekuasaan legislatif, yudikatif, dan tentu saja eksekutif (KHK 391 §1). Kuasa legislatif dijalankan Uskup sendiri; kuasa eksekutif dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikaris jenderal atau episkopal menurut norma hukum; kuasa yudisial dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikaris yudisial dan para hakim menurut norma hukum (KHK 391 §2).
Kita bersyukur, dengan posisi yang kuat, karean dilandasi refleksi dan kontrol diri yang kuat maka jarang terjadi praktik kekuasaan yagn otoriter dari para uskup. Mereka tidak syok berkuasa. Tetapi tentu saja ada segelintir kecil yang kadang masih jauh dari harapan dan mempraktikkan kekuasaan bak seorang raja kecil. Para imam yang ada di sana pun kerap dilanda rasa takut hal mana manusiawi juga berhadapan dengan pemimpin yang melakukan pemerintahan ‘berlebihan’.
Uskup Metropolitan
Wacana lain tentang posisi Uskup Agung atau yang dikenal dalam KHK seperti Uskup Metropolitan. Ungkapan ini terasa aneh ketika mendengar misalnya Kupang atau Ende karena ada Uskup Aung disebut uskup metropolitan. Tetapi ungkapan ini mengarah kepada konsekuensi bahwa sebuah Keuskupan Agung mencakup daerah yang lebih luas dan sentral. Tentu saja posisi ini di Nusa Tenggara bisa disamakan dengan sebuah provinsi.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Ende disebut Keuskupan Agung? Ende sudah menjadi pusat pemerintahan gerejawi bahkan sejak Indonesia merdeka yakni tahun 1913 saat menjadi Prefek Apostolik Kepualaun Sunda Kecil hingga kemudian menjadi Vikaris Apostolik. Ende menjadi Keuskupan Agung pada masa Uskup Gabariel Manek (1961-1968) yang mencakup uskup sufragan: 𝐷𝑒𝑛𝑝𝑎𝑠𝑎𝑟 (1950), 𝐿𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑢𝑘𝑎 (1951), 𝑅𝑢𝑡𝑒𝑛𝑔 (1951), 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑢𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑢𝑠𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑊𝑒𝑒𝑡𝑒𝑏𝑢𝑙𝑎 (1959), 𝐾𝑒𝑢𝑠𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐾𝑢𝑝𝑎𝑛𝑔 (1967), 𝑑𝑎𝑛 𝑀𝑎𝑢𝑚𝑒𝑟𝑒 (2005). 𝐾𝑒𝑢𝑠𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐾𝑢𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑚𝑢𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝐾𝑒𝑢𝑠𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐴𝑔𝑢𝑛𝑔 (23 𝑂𝑘𝑡𝑜𝑏𝑒𝑟 1989 ) 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑘𝑢𝑝 𝑘𝑒𝑢𝑠𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑓𝑟𝑎𝑔𝑎𝑛 𝐴𝑡𝑎𝑚𝑏𝑢𝑎, 𝑊𝑒𝑒𝑡𝑒𝑏𝑢𝑙𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑎𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑠𝑖 𝐾𝑢𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝐼𝑏𝑢 𝐾𝑜𝑡𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖.
Pertanyaannya, apakah seorang bisa langsung ditahbiskan menjadi Uskup Agung tanpa harus melewati posisi sebagai uskup sufragan? Pertanyaan ini mudah dijawab saat pertama kali dibentuk Keuskupan Aung Ende tahun 1961. Saat itu langsung dipilih uskup terbaik dari keuskupan yang ada. Uskup Gabriel Manek SVD yang saat itu sudah 10 tahun menjadi uskup sufragan Larantuka terpilih menjadi Uskup Agung merupakan pengakuan akan jabatan sentral dari seorang Uskup Agung yang terpilih dari uskup yang ada di wilayah provinsi gerejawi yang ada.
Di sini kita bisa mengerti, mengapa seorang Uskup Agung perlu dipilih dari uskup-uskup sufragan yang ada? Ini karena posisi yang ditekankan dalam KHK 436 – § 1. Dijelaskan, 𝒕𝒖𝒈𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑨𝒈𝒖𝒏𝒈 (𝒖𝒔𝒌𝒖𝒑 𝒎𝒆𝒕𝒓𝒐𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒂𝒏) 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒗𝒊𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔𝒊 𝒌𝒂𝒏𝒐𝒏𝒊𝒌 𝒌𝒆 𝒌𝒆𝒖𝒔𝒌𝒖𝒑𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒇𝒓𝒂𝒈𝒂𝒏 (2º) 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝒂𝒅𝒎𝒊𝒏𝒊𝒔𝒕ra𝒕𝒐𝒓 𝒅𝒊𝒐𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒍𝒂 𝒌𝒆𝒖𝒔𝒌𝒖𝒑𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒍𝒐𝒘𝒐𝒏𝒈 (3º).
Untuk gereja NTT, posisi seperti ini rupanya tidak menajdi prioritas ketika Uskup Turang diangkat langsung menjadi Uskup Agung (meski dengan hanya setahun jadi uskup koajutor. Hal yang sama terjadi dengan uskup Longginus da Cunha (1996) yang langsung menjadi Uskup Agung. Demikian juga Uskup Vinsensius Potokota (1997) yang menjadi Uskup Agung dengan hanya 2 tahun jadi uskup sufragan Maumere.
Dari uraian ini bisa ditarik kesimpulan bahwa reposisi Uskup (Agung) bila mengikuti Kitab Hukum Kanonik mestinya perlu diwacanakan. Tetapi ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑑𝑖𝑎𝑘𝑢𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑖𝑚𝑎𝑚-𝑖𝑚𝑎𝑚 ℎ𝑒𝑏𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝑇𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔, 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝐿𝑜𝑛𝑔𝑔𝑖𝑛𝑢𝑠, 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝑆𝑒𝑛𝑠𝑖, 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑖𝑛𝑖 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝑃𝑎𝑘𝑎𝑒𝑛𝑜𝑛𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑡𝑎ℎ𝑏𝑖𝑠𝑘𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝐴𝑔𝑢𝑛𝑔. 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑘𝑒 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝐺𝑒𝑟𝑒𝑗𝑎 𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 𝐺𝑒𝑟𝑒𝑗𝑎𝑤𝑖 𝑁𝑢𝑠𝑎 𝑇𝑒𝑛𝑔g𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑒𝑟ℎ𝑎𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑡𝑎𝑤𝑎𝑟 𝑔𝑒𝑟𝑒𝑗𝑎 𝑑𝑖 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑏𝑢𝑝𝑎𝑡𝑒𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑝𝑖𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝐴𝑔𝑢𝑛𝑔.
Pada sisi lain, mestinya dalam level provinsi gerejawi perlu dipikirkan adanya rolling uskup agar seorang uskup tidak terlalu lama bertakhta di sebuah keuskupan. Perlu dipikirkan agar setalah 2 atau 3 periode, seorang uskup bisa mendaptkan penyegaran baru dengan ditempatkan pada keuskupan lain. Hal ini sudah terbukti dengan pemindahan Uskup Manek dari Larantuka ke Ende dan Uskup Vitalis Jebarus SVD dari Ruteng ke Denpasar. Hal itu akan baik untuk uskup dan juga terutama bagi umat agar tidak merasa jenuh dengan kepempiminan seorang uskup yang kadang oleh kemanusiawiannya menjadi kendala baik bagi dirinya maupun umat yang dipimpin. Hal seperti ini tentu perlu menjadi pertimbangan agar diadakan penyegaran.
Yang lebih penting, jabatan uskup seperti ini 𝒑𝒆𝒓𝒍𝒖 𝒅𝒊𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒓𝒐𝒕𝒂𝒔𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒕𝒂𝒔. 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒂𝒑𝒂? 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝑲𝑯𝑲 𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊𝒏 𝒈𝒆𝒓𝒆𝒋𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒖𝒌𝒖 𝑰𝑰 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒋𝒖𝒅𝒖𝒍 𝑼𝑴𝑨𝑻 𝑨𝑳𝑳𝑨𝑯. 𝑰𝒕𝒖 𝒂𝒓𝒕𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒎𝒂𝒎, 𝒖𝒔𝒌𝒖𝒑, 𝒌𝒂𝒓𝒅𝒊𝒏𝒂𝒍, 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒖𝒔 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏 𝒖𝒎𝒂𝒕 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒖𝒕𝒂𝒎𝒂𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒑𝒆𝒓𝒍𝒖 𝒅𝒊𝒋𝒂𝒈𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒎𝒃𝒂𝒕𝒂𝒔𝒂𝒏. 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒂𝒏𝒆𝒌𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒃𝒂𝒕𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒑𝒐𝒔𝒊𝒕𝒊𝒇.
==========
Robert Bala. Penulis buku Homili yang Memikat. 2024. Penerbit Ledalero.