LEWOLEBA, NTTsatu.com – Akhmad Bumi, pengacara asal Lembata yang berdomisili di Kupang menegaskan, agar tidak membuat gaduh suasana di Lembata, sebaiknya paket yang merasa dirugikan menempuh jalur hukum ke MK.
“Bagi paket calon bupati dan wakil bupati Lembata yang meraksa hasil Pilkada dilakukan dengan cara curang dan sebagainya sebaiknya menempuh jalur hukum saja,” kata Akhad Bumi melalui rilisnya kepada NTTsatu.co . Rabu, 22 Pebruari 2017.
Dikatakannya, pilkada Lembata telah selesai, dan Yance Sunur hampir pasti ditetapkan terpilih kembali menjadi Bupati Lembata periode 2017-2022 dengan perolehan suara 24.211 atau sekitar 38,31%.
Walau telah selesai tapi masih menyisahkan banyak masalah. Paket Titen yang memperoleh suara 16.540 atau sekitar 26,18% dan Paket Viktori yang memperoleh suara 14.753 atau sekitar 23,35% menggugat hasil Pilkada dan mendesak KPUD untuk tidak menetapkan hasil Pilkada tsb dengan menggelar unjuk rasa dikantor KPUD Lembata.
Agar tidak gaduh, sebaiknya ditempuh melalui proses hukum, digugat ke MK bagi para paket calon yang merasa hasil Pilkada dilakukan dengan cara curang dan sebagainya.
Hal itu sudah diwadahi UU No. 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi UU.
UU No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi UU.
Dasar penolakan karena diduga ada kecurangan, salah satunya seperti adanya surat Mendagri No. 337/9447/Otda yang tidak diindahkan KPUD.
Jika ada Pidana Pemilu, ada perkara etik atau administrasi seharusnya sebelum Pilkada sudah diperkarakan. Kalau belum diperkarakan, lalu hal tersebut dibawah ke MK, pasti MK menolak untuk disidangkan.
Perkara di MK selain UU yang disebutkan diatas, mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada diatur juga dalam Peraturan MK No. : 1 Tahun 2016 tentang Pedoman beracara dalam perkara perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.
Dalam pasal 7 dan pasal 8 dijelaskan syarat prosentase untuk dapat mengajukan gugatan di MK yang didasarkan pada pasal 158 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU No. : 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Prosentase dihitung berdasar perolehan suara terbanyak dari pasangan calon, terus hasilnya dibandingkan dengan selisih perolehan suara masing-masing pasangan calon.
Di Pilkada Lembata, Paket Sunday memperoleh 24.211 suara dan paket Titen mendapat 16.540 suara. Maka 2% dikali 24.211 (perolehan suara paket Sunday) adalah 484.Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 1.
Kemudian, dihitung selisih perolehan suara paket Sunday (24.211) dengan paket Titen (16.540), yakni sebesar 7.671. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2.
Untuk mengajukan perkara ke MK sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 158 UU Pilkada, maka selisih angka dari nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1.
Artinya dalam Pilkada Lembata, paket Titen dan paket Sunday ini, dengan nilai koefisien 2 lebih besar dari nilai koefisien 1, maka menurut UU, paket Titen tidak memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan ke MK.
Dengan perhitungan prosentase demikian, maka dalam Pilkada serentak 2017, tampak sepi gugatan ke MK karena sudah berguguran pada tingkat persyaratan.
Pasal ini juga kemudian menjadi polemik banyak pihak, tapi MK tetap pada pendirian karena Pilkada serentak dikaitkan dengan limit waktu penyelesaian hanya 45 hari.
Jika tidak ketat pada persyaratan maka sudah pasti kebanjiran sengketa Pilkada di MK tahun 2017 ini. (bp)