Anggota DPRD Kepri Bantu Pendidikan di Lembata (Narasi “Nurani”Uba Ingan Sigalingging)

0
983

NTTSATU.COM — JAKARTA — Jauh dari Kepulauan Riau, ia bantu Rp 5.000.000 untuk pendidikan di SMA SKO SMARD Lembata. Hal itu karena ia tersentuh dan tergerak oleh permohonan dana melalui FB agar membantu menyelesaikan pembangunan lapangan multifungsi. Ia Uba Ingan Sigalingging, anggota DPRD Kepulauan Riau dari Partai Hanura.

Secara politik tentu saja ia tidak punya kepentingan apapun sekadar mendapatkan suara dari sebuah sumbangan. Tidak. Lembata terlalu jauh di ujung Indonesia sini sementara Kepulauan Riau nun jauh di sana. Tetapi ia lakukan tulus karena punya komitmen pada pendidikan, di mana saja di Indonesia.

Ia juga bukan berasal dari NTT yang barangkali kebetulan berpetulang di daerah lain. Ia berasal dari Medan dan kini tinggal di Batam. Tetapi komitmen pria kelahiran Medan, 1 November 1964 tentu tidak boleh dianggap sedikit. Dalam kaitan dengan sumbangan ini, ia malah tidak sekadar memberi tetapi membuka jalan dengan memberikan ide. Hal itu terkait satu buah botol anggur resmi dari perusahaan anggur ofisial FCB FCB Barcelona.

Karena sangat buta dalam hal ‘lelang-melelang’, maka saya berkontak dengannya, meminta bagaimana mewujudkannya. Ia pun menelepon dan membimbing, hingga akhirnya dari penjualan anggur hadiah dari Yuyuh Sukmana, Direktur Asia Pasifik Vanguard International mendapatkan respon positif. Lapangan olahraga yang sangat ditunggu-tunggu itu segera akan dilengkapi.

Bagaimana soosk Uba Inga Sigalingging? Demikian para siswa dan guruku di SMA SKO San Bernardino merasa tersentuh untuk mengenal pria yang meski berada di ujung Indonesia tetapi punya hati untuk pengembangan pendidikan di Lembata.

Akhir yang Mengecewakan

Tahun 2026, di sebuah markas anak jalanan, tempat teater, drama, tempat ia berkumpul bersama anak jalanan, seniman, dan siapapun yang memiliki keperihatinan dalam bidang sosial, ia mengungkapkan kekecewaannya: “Pa Robert saya sebenarnya mengharapkan supaya kita tetap di Batam bersama-sama menyatukan ide mencerahkan publik, tetapi justru Pak Robert pindah ke Jakarta. Tidak apa-apa. Ide yang ada terus kita kemas bersama meski beda jarak”, demikian ungkapnya dalam nada kecewa.

Saya merasa sepertinya sangat tersanjung. Pada hal, apa yang saya lakukan hanya sebatas menulis di Batam Pos dan beberapa media di Batam. Karena memiliki minat yang sama dalam dunai tulis-menulis, maka dengan cepat pun kami berkawan.

Sejak saat itu, setiap kali ada diskusi di Batam, baik mendatangkan pembicara dari Jakarta maupun lokal, ia selalu menginformasikan saya untuk ambil bagian. Saya ingat waktu itu ada Butet Kertaredjasa di sebuah kedai minum di Batam. Kali lain ia kontak saya untuk membahas tentang figur Pramoedya Ananta Tur yang saat itu barusan beberapa hari wafat (30 April 2006). Di lapangan depan rumahnya di Batam kami berbicara dalam sebuah lingkaran dengan para penikmat sastra, membahas tokoh yang fenomenal itu. Dari pengantar dan kemudian uraiannya, terlihat Uba sangat mendalami sastra, mengenal ‘lekak-lekuk’ syair dan hampir segalanya.

Pertemuan demi pertemuan telah mendekatkan kami dalam ide yang sama, meski sering juga kami berbeda. Bagi Uba, pemikiran dan pencerahan itu menjadi sangat penting. Karena itu ketika kami berbeda pendapat tentang Rocky Gerung, ia dengan tegas membela pemikiran Gerung sejauh pikiran ‘si dungu itu’ itu menggugat dan mempertanyakan kewarasan dan kelogisan masyarakat. Kami berbeda pendapat tetapi tetap menghargai karena hanya melalui kesetiaan menjaga kewarasan, apapaun perbedan tidak kami rasa menghalangi. Yang penting dari pertikaian itu lahir pencerahan untuk publik.

Singkatnya, perpisahan yang mengecewakan itu bagi saya sekaligus menjadi sebuah pesan. Kapan dan di mana pun harus selalu berusaha mencerahkan publik entah melalui tulisan di koran atau melalui buku, termasuk media sosial.

Parlemen Jalanan

Perjumpaan dengan Uba Sigalingging di 2004 di Batam dan terus merawatnya selama dua tahun di Batam (2004-2006) membuat saya mengenal lebih jauh tentang Bung Uba. Di Batam, Uba lebih kerap disapa sebagai ‘bung. Tentu bukan sekadar sebuah panggilan untuk menyajarjaknnya dengan bung Hatta, Bung Tomo, dan siapapun di negeri ini. Tetapi sapaan itu juga begitu sering ia ungkapkan kepada orang yang ia anggap seperjuangannya. Tak jarang ia ucapkan “bung Robert”, jadinya saya pun ikut tersanjung pula (meminjam kata-kata favorit orang Batam).

Yang saya tahu saat itu, Uba adalah sosok ini selalu hadir dalam aksi jalanan. Saya tidak tahu sudah berapa cuplikan koran yang memberitakan demo memperjuangkan nasib masyarakat kecil. Meneriakkan protes atas kebijakan kebijakan pemerintah yang dinilai tak berpihak pada kepentingan masyarakat merupakan hal yang sering ia lakukan. Bisa disebut, di mana ada ketidakberesan, ia hadir. Ia lebih hadir membela orang yang tidak bisa membela dirinya. Bisa disebut ketika ada kasus penggusuran rumah liar (ruli) di Batam, Uba pasti ‘nongol’ di sana.

Semuanya diperjuangkan saat Uba belum menjadi apa-apa. Melalui LSM gerakan bersama rakyat (gebrak) Batam ia memperjuangkan nasib sesama yang menderita dan tertindas sewenang-wenang. Semuanya dilakukan sudah sejak saat itu saat belum nenjadi apa-apa dan belum menjadi siapa-siapa. Yang pasti, ia disapa sebagai parlemen jalanan karena bergerak dan kalau perlu menggebrak demi memperjuangkan orang pinggiran, menyuarakan mereka dengan segala kekuatan yang ia punyai: dengan demo, menulis, diskusi. Semuanya dilaksanakan hanya agar ide itu bisa terwujud.

Inspirasi memulai semua gerakan tentu tidak bisa lepas dari inspirasi pendidikan dan bakat musik yang ia miliki. Uba lulusan Institut Seni Jogyakarta, dengan mayornya piano. Itulah komentar awal pula yang saya dengar dari Ben Ayung, kompositor, dirigen, dan juga pemain musik yang meski sesama profesi tetapi ia sangat menyanjungi Uba. “Saya menyaksikan Uba mengiringi lagu-lagu klasik dengan begitu mendalam. Ia adalah musikus terdidik dengan kepiawaian yang nyaris tertandingi di Batam”, demikian ungkap Ben (yang adalah sepupu saya), suatu saat.

Cara mengorkestrai instrumen musik seperti itu yang barangkali jadi inspirasi bagaimana ‘mengorkestrai massa’. Ia tahu semua orang punya ‘bunyi’ berbeda dan perlu dihargai. Tidak ada yang salah dari semua bunyi itu. Yang ada bagaimana seorang dirigen bisa mensinkronkan semua bunyi itu agar dapat hadir pada saat yang tepat dalam harmonisasi dengan alat instrumen lainnya untuk menghasilkan sebuah bunyi yang enak didengar. Itu juga yang bisa terlihat dalam mengorganisir massa menjadi sebuah kekuatan. Ya tentu bukan saja protes tetapi sebelumnya perlu ada pencerhan sehingga perjuangan itu tidak sekadar protes (apalagi protes bayaran), tetapi sebuah perjuangan yang tetapi konssiten pada marwah organisasi.

Ikuti Nurani

Meski tidak bertemu lagi sejak 2006, tetapi saya terus mengikuti sepak terjangnya hingga menjadi anggota DPRD Batam (2014-2019) dan kin menjadi anggota DPRD Kepulauan Riau (2019-2024).

Ide masuk ke politik seperti ini menjadi sebuah harapan saya sejak ketemu di Batam. Tetapi Bung Uba rupanya sulit diyakinkan. Ia merasa jadi ‘parlemen jalanan’ jauh lebih bermakna karena berjuang tanpa teden aling-aling ketimbang jadi politisi. Ia lebih suka jadi parlemen jalanan.

Tetapi rupanya refleksi dan pengalamannya berjuang memberi kesadaran bahwa menjadi politisi tidak selalu jelek. Orang bisa menjadi politisi dengan efek yang lebih besar memperjuangkan orang lain. Karena itu keputusannya menjadi politisi melalui partai Hati Nurani akhirnya menjadi pelabuhannya yang mengantarnya ke posisi seperti sekarang.

Dan ternyata benar. Sejak menjadi anggota DPRD Batam, gaung suara Uba semakin terdengar. Ketika ada masalah sosial di Batam, Uba menjadi salah satu narasumber yang selalu diminta komentarnya. Dan selalu menarik. Komentar Uba sekaligus membedakan kualitas dirinya dari komentar padanya.

Tahun 2019 saat pilpres dan pileg dimana Uba mencalonkan dirinya menjadi anggota DPRD Kepri, saya berkontak dengannya. Saya rasa perlu mengontak beliau karena saya tahu bahwa Partai Hanura tidak masuk parlemen di Senayan. Saya kuatir kalau ketiadaan akses Hanura di Senayan bisa berpengaruh juga terhadap masa depan partai Hanura. Tetapi Uba tetap konsisten pada Hanura yang kemudian malah mengantarnya menjadi Sekjen DPP Hanura Kepulauan Riau.

Konsistensi pada “Hari Nurani” itu lalu membuat saya bertanya: apakah pilihan parpol itu menggambarkan nuansa dan komitmen perjuangannya? Ya, saya boleh menjwab tanpa meminta konfirmasi padanya. Bila hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perayaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem moral seseorang, maka saya sepakat. Uba memiliki sistema nilai yang sudah diyakini dan dilaksanakan sebelum ia jadi ‘orang’. Sistem nilai pribadi itulah yang mengondisikannya untuk memilih parpol yang sesuai nuraninya.

Dan sebagaimana hati nurani itu berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat perseipsi indrawi atau refleksi secara langsung, maka keterlibatan dalam politik (kini), maupun komitmen pada sesama bukan sekadar tindakan emosional karena prihatin. Tidak. Baginya keterlibatan membangun sebuah peradaban adalah tanggungjawab setiap manusia. Hal itu yang bisa menjadi alasan, mengapa ia yang ‘nun jauh di sana’tetapi bisa solider dengan SMA SKO SMARD di Lembata sana.  (RB, 16 Agustus 2022).

Komentar ANDA?