Antara Cinta, Waktu dan Tenaga (Catatan HUT Perkawinan Kami ke-4)

0
647

Oleh: Albertus Muda, S.Ag

Pernikahan zaman ini tidak sekedar kesepakatan mengikrarkan cinta di hadapan imam, umat dan para saksi. Apalagi pernikahan milenial menegaskan agar setiap pasangan sungguh menjadikan pernikahan sebagai momen aktualisasi diri bagi pasangannya masing-masing. Di zaman milenial ini, cinta tak lagi cukup dijadikan dasar untuk menikah. Dengan kata lain, pernikahan tidak dilakukan hanya karena ingin bertahan hidup atau sekedar cinta.

Pada titik ini, tentu setiap pasangan dewasa yang sedang menjalani relasi spesial atau kaum remaja dan pra dewasa yang sedang dimabuk cinta mesti menyadari bahwa cinta tak semata realistis melainkan bisa eksploitatif, egositis bahkan sadistis. Mengapa? Sebab, cinta tak selamanya diakhiri dengan kebahagiaan tetapi bisa dengan rasa sakit yang mendera bahkan nyawa bisa menjadi korban.

 

Memahami Cinta

Ada beberapa jenis cinta yang mesti kita sama-sama pahami agar kita tidak terjebak pada salah satu jenis cinta yang barangkali sangat eksklusif. Pertama, Stergo. Merasa tertarik secara spontan atau mau melindungi. Misalnya, kasih sayang antaranggota keluarga atau secara spontan tertarik pada seseorang.

Kedua, Eros. Eros merupakan daya tarik jasmani atau seksual yang ditimbulkan secara emosional; cinta jenis ini mudah berubah menjadi egois ( mementingkan diri sendiri).

Ketiga, Phileo. Menyayangi secara murni, yang berdasar pada hubungan saling melengkapi dan saling mengisi antara dua orang sahabat yang baik. Barangkali jenis ini terjadi pada dua orang sahabat bukan teman.

Keempat, Agape. Bentuk cinta ini merupakan cinta tanpa syarat yang berasal dari Tuhan; kasih yang berani berkorban, bahkan mengorbankan diri seutuhnya tanpa mengharapkan balasan; mencurahkan seluruh hati dan jiwa kepada orang yang dikasihi (Yustinus Sumantri Hp, Cinta dan Perkawinan, 2010:18-19).

Mencermati keempat jenis cinta di atas, setiap kita bisa langsung mengambil kesimpulan bahwa Eros merupakan jenis cinta yang eksploitatif dan egoistis sedangkan Agape dipandang lebih luhur (cinta pemberian diri tanpa pamrih). Akan tetapi, dalam penelusuran lebih lanjut, Paus Emeritus Benediktus XVI menegaskan, konotasi dan persepsi atas eros itu keliru karena eros artinya yang mencari Allah sesungguhnya yang tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari Agape (yang meneruskan pemberian yang diterima dari Allah).

Menurut Paus Emeritus Bebediktus, Eros dapat dirujuk pada kutipan dari Bucolicis karya Vegelius, “Omnia vincit amor, et nos cedamus amori” yang berarti cinta mengalahkan semua, mari berserah pada cinta. Eros berarti menemukan yang lain. Dengan demikian, eros Allah pada manusia juga sepenuhnya agape (2010:95-96).

Pernikahan Wujud Aktualisasi Diri

Pernikahan di masa lalu dikatakan menguat karena masing-masing pasangan taat dan patuh pada tradisi dan adat istiadat juga pada perkawinan gereja katolik yang menekankan monogami. Selain itu, kehidupan waktu itu pun sesuai konteks sangat menunjang untuk dilangsungkan pernikahan. Misalnya, orang menikah karena sang suami seorang pekerja ulet di bidang pertanian. Maka pernikahan dilangsungkan demi menopang produksi pangan dan perlindungan dari kekerasan.

Pernikahan zaman ini tidak lagi dilakukan sebagai bentuk saling menopang dalam memproduksi hasil pertanian artinya calon suami atau istri orang berada atau hartawan karena punya tanah yang luas. Selain itu, pernikahan juga bukan sekedar melegalkan hubungan intim sebagai suami dan istri. Akan tetapi, pernikahan yang dilangsungkan zaman ini mesti menjadi sebuah aktualisasi diri.

Dengan melihat rendahnya kepuasan pernikahan dan tingginya perceraian, maka pernikahan mesti selalu dievaluasi dan disadari titik kelemahannya. Kerap kita memaksakan anak-anak kita menikah karena pasangannya sudah hamil sebelum nikah. Ini kegagalan keluarga-keluarga kita.

Menurut Psikolog hubungan romantis Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan CB Rumondor, perkawinan masa kini mesti menjadi bentuk aktualisasi diri karena dalam tingkatan ini moralitas, kreativitas, spontanitas, penyelesaian masalah, prasangka baik dan menerima kenyataan mencapai tingkat kematangan. Pernikahan menjadi sarana optimalisasi potensi diri dalam karier, hobi dan kehidupan spiritual. Pasangan yang diharapkan tak hanya rekan menjalin keintiman, tetapi juga sosok yang dapat membantu pasangan menjadi lebih baik (Kompas, 28/10/2017, hal. 14).

Meskipun demikian, harapan di atas membuat masing- masing pasangan kerap berada dalam tekanan karena masing-masing menuntut untuk memenuhi harapannya oleh pasangannya. Jika tidak terpenuhi, maka salah satu dari pasangan beranggapan pasangannya memiliki banyak kekurangan. Padahal karena pasangannya terlalu banyak meminta/menuntut.

Menurut Abraham Maslow, aktualisasi diri merupakan tahap puncak kebutuhan manusia yang hanya bisa diraih jika kebutuhan akan makanan, tempat bernaung, kesehatan fisik, dukungan keluarga, pendidikan, integrasi sosial dan prestasi terpenuhi. Belajar membuka diri berarti ada penyingkapan diri, membahagiakan pasangan berarti belajar mengikis egoisme dan menumbuhkan kekuatan cinta dan bersedia berkorban.

Dengan demikian, setiap pasangan diharapkan untuk menghayati tindakan- tindakan kecil dalam hidup harian sebagai ungkapan cinta antarpasangan. Misalnya, tersenyum dan tertawa bersama, saling melayani apa yang disukai, tanyakan apa perasaan pasangannya saat ini, berilah kemesraan fisik satu sama lain, buatlah kejutan kecil yang mengesankan, mintalah pendapat masing-masing tentang penampilan diri pasangan, mintalah masukannya agar bisa lebih baik lagi, bangunlah lebih awal, bernyanyi bersama dan menari bersama serta bisikan I love You setiap bangun pagi dan sebelum tidur (Paul Subiyanto, Menumbuhkan Couple Power, 2004:29).

Berani Berinvestasi

Dalam konteks ini, setiap pasangan diajak sekaligus dituntut untuk menginvestasikan dirinya baik berkaitan dengan waktu maupun tenaga. Setiap pasangan perlu berinvestasi waktu dan tenaga serta mampu berpendapa, saling mendengarkan dan bernegosiasi.

Menurut Olga Khazan dalam “We Expect Too Much from Our Romantis Partners dalam (Kompas, 28/10/2017), pernikahan yang sangat memuaskan tak bisa di dapat jika kita tak meluangkan waktu untuk saling memahami pasangan dan membantu mereka tumbuh lebih baik.

Investasi waktu dan tenaga dalam merawat pernikahan adalah kunci. Ada masa pernikahan balita, madya dan lansia. Di sini dibutuhkan sikap arif dan bijaksana dalam mengolah dan merawatnya agar tidak lekang dimakan zaman.

Pernikahan Sebagai Sakramen

Sakramen pernikahan adalah sebuah rahmat. Sebagai sebuah rahmat maka setiap pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan mesti mempersiapkan diri agar siap menerima rahmat itu. Tanpa persiapan yang baik, sakramen tidak akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Akhirnya, saya mengutip sebuah kutipan tentang suami istri begini: “Bila ada kebaikan di dalam hati, akan ada keindahan di dalam watak. Bila ada keindahan di dalam alam watak, akan ada keharmonisan di dalam keluarga. Bila ada keharmonisan di dalam keluarga, akan ada ketenteraman di dalam setiap negara. Jika ada ketentraman di dalam setiap negara akan ada kedamaian di muka bumi. (*)

=======

*) Penulis: Guru Agama Katolik di SMAN 2 Nubatukan Lembata

Komentar ANDA?