Oleh; Robert Bala
Di bulan Mei ini, cap ‘penjilat’ dan ‘pejuang’ cukup dominan di ruang medsos di Lembata. Demo tanggal 20 Mei telah mengelompokkan orang dalam dua kategori: sebagai penjilat atau pejuang. Sebuah cap yang tentu seru. Yang terus berjuang menegakkan keadilan, meneriakkan ketidak adilan dan mendorong transparansi menganggap dirinya pejuang. Memang benar juga. Ketika sebuah kezaliman didiamkan maka ia akan semakin menjadi-jadi.
Yang berada membela pemerintah apapun kejelekannya dianggap penjilat. Sebuah cap yang tentu juga punya alasan. Ada ‘treck record’ yang bisa dibuktikan. Lebih lagi jejak digital bisa membuktikannya.
Sampai di sini semuanya sah-sah saja. Tetapi siapa sebenarnya siapa yang harus memberi kategori itu? Agar ‘fair’ tentu butuh orang luar yang menilainya. Itu sebuah kata bijak yang saya peroleh dari ayah saya dulu. Ketika ada pujian kepadanya ia mengatakan bahwa yang menilai adalah orang lain. Biarkan mereka yang memberikan penilaian dan bukan dari dalam yang mengklasifikasikan dirinya.
Ruang Kritis
Reza A.A Wattimena dalam artikelnya Penjilat, Pengecut dan Pejuang, Rumah Filsafat, 2017, menulis uraian menarik tentang dua istilah ini. Ia menambahkan pengecut sebagai orang yang mencari aman. Ketika ada arus ke kanan ia ke kanan. Kalau ada perubahan ia pun ikut demi aman dan selamat.
Penjilat diartikan sebagai orang yang minim prestasi, namun menipu lingkungan sekitarnya. Tujuannya untuk mendapatkan kekuasaan di dalam organisasi. Biasanya, orang semacam ini cepat naik jabatan, walaupun tak memiliki pencapaian yang nyata. Ciri lain dari penjilat adalah segala sesuatu tentang ‘bosnya’ selalu dianggap baik. Yang salah dianggap benar apalagi yang benar. Dan ia pun akan membela mati-matian yang ‘bayar’.
Hal itu berbeda dengan pejuang. Pejuang adalah para pemikir kritis. Mereka bersuara, ketika melihat masalah dan ketidakadilan. Mereka ingin melakukan perubahan, supaya organisasi menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup dan berkarya bagi semua orang. Mereka bersedia berkorban demi nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Yang jadi pertanyaan, apakah orang yang ‘mengangkat’ dirinya sebagai pejuang telah memenuhi kriteria perjuangannya? Apakah ia tidak ‘berapi-api’ karena siapa yang ia jagokan tidak menjadi pemimpin seperti yang dia harapkan? Apakah dia berjuang karena tujuan luhur (sebagaimaan digembar-gemborkan) ataukah karena apa yang dituntut tidak didapatkan (melainkan orang lain yang dapatkan) sehingga ia menjadi sangat ‘vokal?’
Harus kita akui, di tengah massa, tidak semua orang yang ‘berjuang’ disebut pejuang. Ada berbagai macam motivasi yang karenanya perlu diperjelas sehingga nama baik perjuangan jangan sampai dibelokkan oleh orang-orang tertentu yang ‘numpang’ perjuangan demi tujuan terselubung. Dalam arti ini maka seperti kritik terhadap penjilat, demikian juga kritik balik terhadap pejuang tidak mesti ditanggapi sebagai ‘lebai’. Ia sebenarnya bertujuan mengklarifikasi. Yang benar tentu akan dibenarkan. Yang salah yang kita sepakat harus dihukum.
Awasan ini menjadi penting agar pejuang’ dan ‘penjilat’ tidak sekadar cap karena ‘asal beda’. Hal ini tentu mengingatkan kita akan dengan dikotomi George W Bush waktu perang Irak. Ia memberikan cap yang sederhana dan menjebak: You are either with us, or against us. Jadi kalau seseorang tidak berada bersamanya maka dianggap ‘penjilat’. Sebaliknya jiga bersama kami berarti kita jadi pejuang’.
Memantapkan Perjuangan
Apa yang terjadi baik kritik maupun dukungan tentu semuanya diharapkan berujung pada terciptanya kebaikan. Karenanya di saat-saat seperti ini menyatukan persepsi demi menghasilkan konsepsi yang berujung pada kian mantapnya perjuanganya menjadi tujuan tiba dari semua.
Hal paling mendasar yang perlu menjadi kesepakatan bersama adalah bahwa kritikan atau keraguan tentu tidak serta merta dianggap menyerang pribadi. Dalam bahasa kacamata Karl Popper, pertanyaan seperti ini yang disebutnya ‘falsifikasi’ sangat penting untuk membuktikan kbenaran sebauh perjuangan. Kadang kepada orang yang berjuang demi kebaikan harus diragukan apakah memang demikian. Bila ia bisa membuktikan keraguan itu maka memang ia memang benar karena darinya mengalir kebaikan.
Pada tahapan ini maka segala kritikan atau masukan tentu sangat penting. Pada tahapan ini maka peran para pemikir, cendekiawan, dan siapapun yang memiliki kecakapan dalam menata pikiran dengan memberikan alterantif sangat penting. Lembata misalnya sangat kaya dengan para doktor yang dalam data terakhir terdapat 30an. Kita bangga kalau mereka bisa dilibatkan dalam merancang pembangunan yang lebih komprehensif agar tidak sekadar menjadi sebuah target individual jauh dari analisa kritis tentang dampak yang bisa dimunculkan.
Pada sisi lain, peran proaktif dari para pemikir itu juga sangat dibutuhkan. Di tengah arus medsos yang hanya mengeluarkan kritikan (malah makian) tanpa jalan keluar, tentu diharapkan agar para cendekiawan tidak masuk dalam arus seperti ini. Mereka perlu menawarkan alterantif melalui pemikiran terstruktur sehingga apa yang disampaikan bisa mencerahkan bukan menceraiberaikan. Minimal kalau belum bisa menata pemikiran dalam tulisan, para ‘cendekiawan’ tidak menurunkan martabatnya dengan hanya ikut berkomentar lepas di medsos.
Sesungguhnya tantangan Lembata di depan sangat besar. Kekecewaaan akan pembangunan selama ini tentu menjadi catatan agar ke depannya menjadi lebih baik. Dengan demikian memikirkan agar kepemimpinan ke depan lebih baik perlu menjadi perhatian. Bila dikerucutkan di sini maka waktu yang ada tentu tidak akan disia-siakan hanya untuk menyebarkan provokasi yang dalam banyak hal hanya akan memberikan aura negatif Sebaliknya dibutuhkan kesatuan agar kepemimpinan yang lebih baik diharapkan bisa lahir.
Itu berarti yang harus dihindari adalah keinginan jangka pendek. Yang dilihat oleh para penjilat hanyalah kepentingan instan. Demikian juga ‘pejuang’ yang ‘asal-asalan’. Mereka hanya berteriak selagi ‘perutnya kosong’. Yang dibutuhkan adalah pejuang yang sebenarnya yang secara strategis memperjuangkan ide dan memberikan alternatif.
Sesungguhnya kualitas seperti ini sudah banyak dimiliki banyak pejuang Lembata. Mereka tulus memperjuangkan kebaikan bersama. Mereka tulus mengutarakan pendapat dan strategis dalam menawarkan solusi. Sesungguhnya pejuang seperti ini yang kita butuh dan mengapa tidak, dalam diri mereka juga ada calon pemimpi Lembata yang kita harapkan. Mengapa tidak?
============
Penulis: Robert Bala. Alumnus Resolusi Konflik Asia – Pasifik, Facultad Ciencia Politica Universidad de Complutense Madrid Spanyol.