Oleh: Rose Emmaria Tarigan
Di Era Digital ini, istilah “cancel culture” sering menjadi perdebatan, apakah cancel culture itu baik atau tidak. Dalam konteks sosial dan politik, cancel culture berarti pembangkangan atau penolakan terhadap individu atau kelompok di mana tindakan, pernyataan, atau pandangan mereka dianggap tidak pantas atau ofensif. Cancel culture dalam Merriam-Webster diartikan sebagai praktik atau kecenderungan melakukan pembatalan sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial (Merriam-Webster, n.d.). Cancel culture mengacu pada penarikan dukungan massal dari tokoh masyarakat atau selebritas yang telah melakukan hal-hal yang tidak diterima secara sosial saat ini.
Biasanya Cancel culture dilakukan pada orang atau kelompok, yang dianggap melakukan kesalahan moral, sosial, atau politik dapat dihukum secara sosial. Bentuknya bisa beragam, seperti boikot, kritik massal, atau pengucilan di media sosial. Namun, keputusan untuk “membatalkan” seseorang biasanya dipengaruhi oleh emosi atau asumsi subjektif, tidak jarang tanpa memeriksa fakta secara menyeluruh. Namun tentu saja ada yang positif dari cancel culture ini, yakni sekarang kita dapat mengenali cancel culture sebagai evolusi dari rasa malu publik (public shaming). Hal ini secara unik terkait dengan media sosial, di mana pengguna media sosial mengembangkan strategi untuk menunjukkan nilai-nilai yang mereka junjung dan menentukan konsekuensi bagi mereka yang tidak mematuhi nilai-nilai tersebut (Haskell, 2021).
Salah satu kasus cancel culture yang baru-baru ini sangat viral di media. Gus Miftah Vs Pedagang Es Teh yang ramai dibicarakan di media sosial. Bermula dari perkataan Gus Miftah yang ternyata bukan saja menyinggung pedagang Es Teh, tetapi perkataannya menyakiti setiap orang yang menyaksikan cara Gus Miftah “mengolok-olok” pedagang es the tersebut. Peristiwa ini terjadi dalam acara pengajian di Magelang, di Jawa Tengah. Tidak berapa lama kemudian setelah kejadian tersebut, Gus Miftah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Meskipun Miftah meminta maaf, ia masih mendapat cemoohan dan kritik dari masyarakat, yang berdampak pada reputasinya.
Cancel Culture dan Pandangan Foucault
Seorang filsuf bernama Michel Foucault, memberikan alat untuk memotret fenomena ini. Foucault menjelaskan mekanisme wacana, pengawasan, dan normalisasi dalam karyanya seperti Discipline and Punish. Pada bukunya ini ditemukan konsep panopticon berupa konsep yang menggambarkan adanya bentuk kekuasaan baru yang mengawasi perilaku individu, institusi dan lain-lain dalam masyarakat. Foucault menggunakan panoptikon sebagai simbol untuk memahami cara kekuasaan modern mengontrol (Foucault, 1995). Panopticon adalah sebuah desain penjara yang memungkinkan seorang penjaga mengawasi semua tahanan tanpa mengetahui apakah mereka sedang diawasi. Ini menciptakan rasa ketidakpastian yang membuat semua tahanan merasa selalu diawasi, yang pada gilirannya menyebabkan mereka mengubah perilakunya. Media sosial adalah panoptikon baru di masyarakat digital.
Setiap orang dapat diawasi dan dinilai berdasarkan cara mereka berinteraksi di ruang publik. Salah satu hasil dari pengawasan ini adalah cancel culture. Rekaman jejak digital seseorang dapat digunakan sebagai bukti untuk mengecam mereka ketika mereka melakukan tindakan atau pernyataan yang dianggap melanggar hukum. Dalam situasi ini, masyarakat umum dan institusi juga melakukan pengawasan. Dengan demikian kehadiran media sosial talah melakukan perubahan dan penting. Media sosial adalah komponen dari media baru yang memungkinkan komunikasi dua arah, yang tidak dapat dilakukan oleh media konvensional. Secara tidak langsung, media sosial membentuk sebuah komunitas virtual yang memungkinkan anggota untuk mengumpulkan dukungan dan solidaritas (Haskell, 2021)
Cancel Culture sebagai Hukuman Sosial
Foucault menggambarkan pergeseran dari hukuman fisik ke yang simbolis dan sosial dalam “Discipline and Punish”. Cancel culture merupakan contoh baru dari hukuman sosial di era digital, di mana orang tidak hanya kehilangan status sosial tetapi juga kehilangan peluang ekonomi dan sosial. Namun, cancel culture juga memiliki ciri-ciri tertentu.
Pertama, hukuman ini seringkali bersifat permanen dan tidak memiliki prosedur formal untuk rehabilitasi. Kedua, cancel culture memungkinkan siapa pun untuk bertindak sebagai hakim dan juri dan ini tentu sangat berbahaya. Dengan demikian, cancel culture menunjukkan bagaimana masyarakat dapat menggunakan kekuatan untuk menegakkan norma, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakadilan baru.
Keuntungan & Kerugian Cancel Culture
Cancel culture memiliki dua sisi, yakni yang menguntungkan dan juga merugikan. Menguntungkan karena cancel culture memberikan platform bagi kelompok yang sebelumnya tidak memiliki suara untuk menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang memiliki kekuasaan, cancel culture mendorong diskusi tentang isu-isu penting seperti rasisme, seksisme, dan ketidakadilan sosial, dengan memanfaatkan media sosial, cancel culture menciptakan ruang baru di mana kekuasaan dapat ditantang dan direstrukturisasi.
Sisi lain yang merugikan adalah, cancel culture sering kali tidak memberikan kesempatan bagi individu untuk membela diri atau memperbaiki kesalahan mereka, dalam beberapa kasus, cancel culture dapat menjadi terlalu reaktif, menghukum tindakan yang sebenarnya tidak berbahaya, cancel culture dapat memperburuk polarisasi, menciptakan lingkungan di mana dialog dan kompromi menjadi sulit.
Cancel culture adalah fenomena kompleks yang mencerminkan dinamika kekuasaan dalam masyarakat postmodern. Melalui lensa Michel Foucault, kita dapat melihat bagaimana cancel culture beroperasi sebagai mekanisme kekuasaan yang melibatkan wacana, pengawasan, dan hukuman sosial. Meskipun cancel culture memiliki potensi untuk menciptakan perubahan sosial yang positif, ia juga menghadirkan tantangan yang signifikan. Oleh karena itu, penting untuk terus mengkritisi fenomena ini, memastikan bahwa ia digunakan untuk mendorong keadilan tanpa menciptakan ketidakadilan baru. Dalam semangat Foucault, kita harus selalu waspada terhadap bagaimana kekuasaan beroperasi, bahkan ketika digunakan untuk tujuan yang tampaknya mulia.
==========
Penulis adalah: Dosen Universitas Pelita Harapan dan Mahasiswa S3 Universitas Sahid, Jakarta, Indonesia
E-mail. tariganrose38@gmail.com