Oleh Marsel Tupen Masan
MENYALAHKAN ASN dengan memperlakukan mereka secara tidak layak (manusiawi) adalah fenomena yang lagi trend dalam dua tahun terakhir ini. Pertama, mempuntungrokokkan dan mencari kesalahan seorang Kepala Dinas untuk distafkhususkan sampai squat jump, adalah lilitan arogansi kekuasaan yang elok dipertontonkan rakyat dalam diam damai. Kedua, mentumpangtindihkan daftar urutan kepangkatan (DUK) untuk mengkepaladinaskan orang yang disukai sampai memutasikan staf karena perintah istri politisi, adalah fenomena arogansi kekuasaan yang di tonton juga di ruang ini.
Tontonan perburukan ASN dalam balas dendam politik ini telah menjadi semacam bios theoretikos untuk mengolah dan mendidik kita semua dari doxa atau pendapat yang berkembang dewasa ini, bahwa: (1) ASN telah jadi bulan-bulanan selera kekuasaan karena kekuasaan itu dibanggakan untuk memperlakukan orang berdasarkan selera kepentingan mereka. (2) Telah terjadi penguatan pendangan, pada jabatan birokrasi yang dikultuskan sebagai kekuatan baru reformasi dan otonomi untuk menjadi sumber penghasilan bagi selera keluarga, selera kelompok kepentingan dan selera partai politik. Kealpaan hakekat yang ditangkap publik sebagai penguatan kesenangan hedonistik kekuasaan ini, memang perlu dihindari demi kepentingan bersama membangun daerah ini secara berkelanjutan.
Secara masif, kekuasaan memang telah terperangkap pada hipotesa klasik; ”birokrasi sebagai sumber keburukan” ke hipotesa “birokrasi sebagai sumber pendapatan kemenangan”. Ini merepresentasikan, bahwa birokrasi daerah tengah mengalami metamorfosis yang dicirikan multikooptasi oleh beragam kepentingan karena maksimalisasi moral kemenangan. Akibatnya kekuasaan terus melakukan pensakralan jabatan birokrasi, dengan pentebalan titik-titik peminggiran yang ekstrim pada fragmentasi politik, untuk menindas pilihan-pilihan pembenahan yang bertali temali di dalam tubuh birokrasi yang terkait pula dengan ASN.
Ketelanjangan realitas arogansi kekuasaan,adalah realitas pencucian wajah perlakuan ASN dalam pertarungan melawan bayang-bayang pasca kompetisi antara aktor-aktor politik. Peminggiran profesionalisme ASN ke arah kesenangan pada orang atau keluarga, telah menjadi keniscayaan yang paling tepat untuk membenturkan kemapanan birokrasi dengan arogansi kesenangan kekuasaan. Walaupun ada alasan pembenaran dari keharusan aturan maupun loyalitas, toh tetap menyisahkan kegamangan. Karena balas jasa dan balas dendam politik telah menjadi mesin penggerak dan pembiaran mutasi penceraiberaian tanpa rasionalisasi profesi dan kinerja.
Pengkultusan persepsi para aktor pemenang, memungkinkan pejabat/ aparatur/ASN dipandang sebagai sosok yang harus diperlakukan sebagai musuh, bukan sebagai partner dalam interaksi dialogis transisi kekuasaan. Padahal untuk sebuah pemerintahan berkelanjutan dan dalam sebuah peradaban birokrasi, sangat dibutuhkan proses interaksi dialogis yang didalamnya terkandung beragam perspektif, ide, gagasan dan inisiatif, guna penyesuaian tata kerja dan tata kelola pemerintahan secara berkesinambungan. Berarti menggerus ASN dari sisi kesenangan kekuasaan, tanpa ruang putih profesionalisme adalah fenomena gagal mengisi kemenangan. Akhirnya mutasi jabatan selalu tidak pernah ramah pada kemenangan itu sendiri, dan dianalogikan sebagai peminggiran orang dalam bangun baru ideologi kepemilikan.
Birokrasi dan politik
Birokrasi dan politik, adalah dua buah institusi yang memiliki karakter yang sangat berbeda, namun saling mengisi seperti mata uang yang tidak terpisahkan. Menurut Etzioni-Havely birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut.
Diakui bahwa birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sangat sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi, selalu diwarnai orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Misi utama birokrasi dalam paham kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Disini para birokrat dan politisi terobsesi menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Akhirnya birokrasi menjadi mesin negara yang paling mudah untuk mengontrol perilaku masyarakat,dan dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan.
Kooptasi birokrasi ini, terus berjalan sampai sekarang. Bahkan pada masa Orde Baru, kekuatan Golkar mendominasi birokrasi dalam penguasaan mayoritas tunggal. Pasca reformasi, kooptasi birokrasi akhirnya lebih memprihatinkan, karena mengalami metamorfosis yang dicirikan multikooptasi oleh beragam partai politik. Keadaan ini tidak saja membentuk sikap, perilaku, nilai, kultur para pejabat birokrasi, dan sistem kerja, tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap birokrasi. Bahkan dengan praktek pemilihan langsung kepala daerah, birokrasi semakin terbelah oleh penajaman kekuatan kekuasaan, yang menyebabkan profesionalisme tidak dienergikan secara komperhensif, tetapi diirasionalkan oleh afiliasi politik birokrat terhadap kepala daerah. Oleh karena yang dikejar dalam mengisi rumah birokrasi adalah ruang untuk melebarkan kepentingan secara bergerombolan.
Realitas kepentingan bergerombolan ini, mestinya menjadi dasar pijak kekuasaan untuk yang mampu membebaskan kekuasaan dari kefanaan dendam pesta demokrasi. Ada nilai berkelanjutan sebagai moralitas atas keterlekatan kerja birokrasi yang tidak perlu dikesampingkan oleh kebencian atas logika konflik melalui kekuatan emansipatoris mutasi untuk :
Pertama, memaksimalisasi komitmen politik untuk melakukan kerja berkelanjutan sebagai fondasi untuk mentransformasikan hakekat misi pemerintah, dengan menempatkan pejabat pada jabatan yang tepat berdasarkan profesionalisme. Banyak kecurigaan, hal ini sering diabaikan. Karena masuknya pikiran pembisik dari sekerumunan orang yang menyetor muka dan berbuat baik dalam prosesi kemenangan, dengan memburuk-burukkan hasil kerja orang dan lembaga. Disinilah letaknya. Apakah seorang kepala daerah terpilih bisa membedakannya? Terlalu samar untuk dijelaskan. Karena kesenangan pada kekuasaan membuat orang lebih cepat mengakomodir pikiran penyetor muka, dari pada orang yang bekerja untuk kemenangannya.
Kedua, tindakan mutasi tanpa prosedur yang didorong modus kepentingan dalam arogansi perkauman, sesungguhnya menyalahgunakan banyak hal dan menjauhkan birokrasi dari rasa keadilan yang di harapkan dari bangunan institusi birokrasi. Deepak Chopra menjelaskan, tindakan yang dimotivasi ketulusan, bukan egosentirme, akan menghasilkan energi berlimpah yang dapat digunakan untuk menciptakan apa yang dikehendaki. Sebaliknya jika perbuatan itu didorong modus “memiliki” dan menguasai orang lain, dibutuhkan konsumsi energi yang banyak. Selain itu, perbuatan yang berorientasi pemujaan diri akan membuat kita dalam posisi defensif dan menyalahkan orang lain.
Menyalahkan ASN adalah fenomena yang lagi trend untuk menanamkan pengaruh dan orang-orang ke dalam birokrasi pemerintah. Banyak energi dikeluarkan untuk merentang konflik terbuka, dengan mengabaikan hubungan integratif antara politik dan birokrasi. Dalam disposisi integratif, masing-masing berkontribusi dan berhak atas kompensasi yang diharapkan. Apabila rasa keadilan birokrasi dirampas untuk kepentingan politik melulu, maka akan timbul kekacauan dan kemunduran kerja ASN yang pada gilirannya akan memperlemah rasa tanggung jawab.
Padahal fondasi utama birokrasi, adalah ASN bekerja untuk kekuasaan sebagai tanggung jawab, mentalitas dan moralitas. Tanpa itu, maka bangunan birokrasi tetap berpijak pada fondasi yang rapuh dan disfungsional. Jika motivasi kerja ASN rapuh, maka profesionalisme juga akan mengalami disfungsional. Akibatnya negara dan rakyat bukan di abdi, tetapi di akali kekuasaan dalam arogansi yang berlebihan. Sudah waktunya kita memandang (theoria) ASN sebagai jabatan untuk mengoptimalisasi kemulaiaan kesejahteraan rakyat. Bukan penguatan kepentingan politik dan penceraiberaian irasional profesi dan kinerja.
—–
Penulia adalah pensiunaASN, dan kini tinggal di Nihaoneng Fatukoa
Kupang, 16 Desember 2019