NTTsatu.com — JAKARTA — Pengadilan Federal Australia di Sydney dalam putusannya memenangkan gugatan 15 ribu petani rumput laut dan nelayan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada hari ini, Jumat (19/03/2021), terkait tumpahan minyak dari lapangan Montara yang dioperasikan PTT Exploration and Production (PTTEP), perusahaan minyak dan gas bumi asal Thailand, di lepas landas kontinen Australia pada 2009 lalu.
Hakim Pengadilan Federal untuk kasus ini, David Yates, mengatakan tumpahan minyak tersebut menyebabkan kerugian secara material, menyebabkan kematian dan rusaknya rumput laut yang menjadi mata pencaharian para petani.
“Perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), selaku tergugat menyatakan sedang mempertimbangkan untuk naik banding,” ungkapnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat (19/03/2021).
Dalam putusannya, dia menyebut PTTEP tidak menyanggah bukti bahwa mereka telah lalai dalam operasinya di ladang minyak Montara. Oleh karena itu, perusahaan mendapat hukuman memberi ganti rugi sebesar Rp 252 juta (AU$ 22.500) kepada penggugat utama dari gugatan kelompok tersebut.
Putusan ini disambut baik oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dia mengatakan, mulanya Satuan Tugas dibentuk oleh Kemenko Marves pada Agustus 2018.
Satgas yang saat itu dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Purbaya Yudhi Sadewa, bertugas menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor yang menjadi korban tumpahan minyak tersebut.
“Kami mengumpulkan data dan bukti yang dibutuhkan agar kami punya dasar yang kuat di pengadilan. Setelah itu, Satgas datang berdialog dengan otoritas terkait tentang kasus ini, serta mendukung secara maksimal gugatan yang diajukan masyarakat NTT ke pengadilan federal Australia,” katanya.
Data kualitas air serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat. Satgas juga membantu koordinasi pengiriman ahli-ahli dari lembaga peneliti terkemuka di Indonesia untuk menjadi saksi di sidang pengadilan di Australia.
Purbaya menyebut, data yang dikumpulkan Satgas untuk menjadi dasar tuntutan tersebut adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote.
“Kasus ini amat penting untuk Indonesia. Kemenko Marves melakukan koordinasi secara maksimal untuk memastikan segala sumber daya yang ada untuk dijadikan dasar gugatan, agar masyarakat NTT menang di pengadilan Australia,” kata Purbaya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kasus ini berawal dari tumpahan minyak yang terjadi pada pada 21 Agustus 2009 saat anjungan minyak di lapangan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), meledak di lepas landas kontinen Australia.
Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari. Tumpahan minyak itu juga berdampak hingga ke pesisir Indonesia. Luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi. Satgas menemukan ada 13 kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.
Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanone yang juga anggota Satgas mengatakan ia sudah dihubungi oleh pengacara yang mewakili di Pengadilan siang tadi.
“Saya menyambut baik putusan pengadilan ini. Selanjutnya kami sedang menunggu sikap dari PTTEP,” katanya. (*/gan)
=========
Foto: Infografis/Ini Kronologi & Sederet Fakta Tumpahan Minyak Pertamina