Oleh: Dra. Christina Purwanti, M.Pd.
Bahasa dan politik adalah dua terminologi yang sebenarnya berada dalam satu realitas sosial. Keberadaan bahasa dan politik ini pun memiliki dua jalan yakni bahasa dalam kajian linguistik dan politik selalu dalam konteks kepentingan.
Bahasa dalam realitas sosial, afirmasi konkritnya termasuk dalam kajian linguistik dan politik dalam realitas sosial, afirmasi konkritnya terus mengarah pada kepentingan. Satu ciri khas yang dapat segera hadir dalam konteks ini adalah terminologi bahasa dan politik, keduanya berjalan beriringan yang dalam bahasa kepemilikan sosial disebut inheren; satu di dalam yang lainnya.
Dalam berpolitik, seorang politisi selalu saja menggunakan bahasa untuk menghadirkan eksistensinya sebagai politisi pengguna bahasa politik, dan secara cepat membuat pergeseran makna bahasa dalam artian membentuk terminologi baru namanya ‘bahasa politik’. Makna bahasa pun taat pada penggunanya dan menjadi bahasa politik. Bahasa politik inilah menjadi ajang utama dalam realitas sosial untuk memperjuangkan segala kepentingan politiknya.
Eksistensi bahasa politik ini terus mengalami perubahan makna dalam realitas sosial. Perubahan makna bahasa dari bahasa sebagai komunikasi dengan menggunakan alat ucap manusia secara terang benderang sesuai makna leksikalnya, bergeser menjadi makna politik
oleh sang politisi. Pergeseran makna ini tentu sesuai dengan kondisi politik yang terjadi di dalam realitas sosial.
Sebagai contoh, kondisi sosial yang sedang dihadapi sekarang yakni tentang pilkada serentak. Dalam bahasa Kompas lewat tajuk rencana nya bertopik: Pilkada Aman dan Berkualitas. Bahwa dalam konteks pilkada aman dan berkuailtas yang akan terjadi pada tanggal, 9 Desember 2020, makna bahasa dalam bahasa Kompas yakni: Secara linguistik haruslah disiapkan segala sesuatu secara nyaman seperti protokol kesehatan yang telah disusun terutama untuk kesehatan menjaga keselamatan rakyat dari Covid 19, fokus utamanya seperti adanya penyemprotan disinfektan di seputar TPS ( Tempat Pemungutan Suara ) dan di seputar tempat KPPS ( Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara ) dan juga terus dihimbau supaya yang bertugas wajib mengenakan APD ( Alat Pelindung Diri ) dan segenap warga yang mempunyai hak pilih agar mengenakan masker dan sarung tangan pada saat aktivitas pemilihan berlangsung ( bdk. Kompas 5 Desember 2020 ).
Terhadap pemahaman di atas adalah sebuah makna semantis atau leksikal dalam melahirkan makna sesungguhnya tentang pilkada yang akan berjalan aman dan berkualitas.
Jika pernyataan dalam konten tersebut dibahas dengan sebuah pertanyaan: Mengapa pilkada aman dan berkualitas? Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu hadir dalam jawaban politik yang tentu menggunakan bahasa politik. Para pengguna bahasa politik dalam artian para politisi tentu bisa menggunakan bahasa politik untuk kepentingan partai politiknya ( baca: sang politisi ) dalam memberikan jawaban. Makna linguistik yang awalnya diterima sebagai sebuah informasi, yang terus disampaikan dengan menggunakan medium bahasa sebagai alat komunikasi, segera memperoleh kebenaran baru yang terus diproduksi untuk kepentingan kekuasaan sang politisi. Kebenaran baru itu terus didistribusikan menjadi kebenaran khalayak atas perjuangan sang politisi sesuai selera politiknya.
“Penggunaan bahasa dalam politik, mestinya tetap memperhatikan kaidah bahasa yang sesungguhnya.”
==========
*) Penulis adalah Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Pelita Harapan, Jakarta.