BAHASA DAN POLITIK

0
1264
Foto: Christina Purwanti , Dosen Bahasa Indonesia pada Universita Pelita Harapan , Jakarta

*) Oleh: Dra. Christina Purwanti, M.Pd

 

Kelancaran komunikasi sangat  berkaitan dengan perolehan bahasa seseorang. Anak yang tumbuh di lingkungan  urban dipastikan akan lebih mudah memahami perkembangan teknologi dibandingkan anak yang tumbuh di desa. Sebaliknya, sesorang yang tumbuh di desa lazimnya  memiliki pemahaman dan ungkapan yang lebih variatif untuk menggambarkan  keanekaragaman flora, misalnya. Kesalapahaman sangat mungkin terjadi jika kedua anak itu lebih memilih menggunakan lambang  bahasa yang lebih bersifat umum.

Bahasa digunakan manusia agar konsep yang eksis dalam pikirannya dapat diekspresikan sehingga dapat dimengerti oleh orang lain (Fathur Rohman, Surahman: 2016). Dengan cara itu, seseorang (komunikator) dapat menyampaikan pesan yang memungkinkan pendengarnya ( komunikan) akan memberi respon sesuai kehendaknya. Dua manusia yang memiliki pikiran berbeda dan terpisah, dengan bahasa dapat terkoneksi sehingga lancar bertukar informasi atau bekerja sama.

Kinerja bahasa diuraikan oleh Ogden dan Richards (1923) melalui konsep segitiga makna ( triangle of meaning ). Menurutnya ada hubungan segitiga antara bunyi bahasa (word), referensi (thought), dan sesuatu (things) yang membuat bahasa dapat berfungsi  sebagai alat komunikasi.  Bunyi bahasa dapat berguna jika dapat menghubungkan konsep (thought) dengan realitas (reference). Word adalah lambang dalam bentuk bunyi bahasa yang diproduksi artikulator manusia.  Konsep adalah sesuatu yang imajiner, sesuatu yang hanya eksis dalam pikiran manusia. Sesuatu  merujuk pada hal-hal yang ada di dalam dan bukan merupakan benda, kondisi, suasana, atau fenomena yang aktual ada.

Bahasa dan Simbol.

Manusia semakin produktif menciptakan simbol-simbol bahasa karena yang manusia produksi bukan hanya benda, tapi juga ide, konsep, khayalan, bahkan juga tentang mimpi. Semua itu tidak tampak dan tidak diakui sebagai objek empiris, namun eksis dan bermakna dalam kehidupan  manusia sehingga perlu diberi nama. Misalnya manusia  merasakan perasaan khusus ketika berhasil meraih sesuatu yang diinginkannya. Perasaan itu diberi nama “senang”, dalam bahasa Indonesia. Manusia merasakan sesuatu yang khusus ketika dihadapkan pada pilihan yang sulit. Perasaan itu kemudian diberi nama “bingung”. Manusia juga merasakan bahwa sesuatu yang diterimanya bukanlah semata-mata akibat dari usahanya, melainkan ada kekuatan lain yang membantunya yang tidak kelihatan.  Dorongan untuk mengungkapkan perasaan itu diberi nama “syukur”.

Bahasa dan Identitas.

Bahasa bisa diberdayakan untuk menulis kicauan di twitter, menulis status di facebook, untuk memproduksi video di youtube, juga bisa dipakai untuk membuat  guyonan yang sarkastis sifatnya. Melalui bahasa, seorang tokoh politik berhasil mengukuhkan identitasnya. Ketika tampil di televisi, mereka berusaha berbicara rapi, tetapi ketika di panggung, mereka berubah jadi singa podium. Di era politik multimedia, bahasa politik selalu berpadu dengan kecanggihan teknologi informasi.

Pada era elektoral, bahasa jadi faktor penting yang menentukan dukungan publik terhadap politisi. Bahasa kerap digunakan untuk membangun reputasi dan kepercayaan publik. Di sinilah kekuatan bahasa dalam politik yang dijalankan secanggih apa pun, ia tetap berhutang budi pada bahasa.  Pada akhirnya bahasa sangat menentukan elektabilitas partai politik, calon anggota legislatif, calon kepala daerah, juga calon presiden sekali pun.

Kondisi ini tak bisa dilepaskan dengan fungsi ganda bahasa, yakni sebagai alat komunikasi, sekaligus penanda identitas. Sebagai alat komunikasi, bahasa berfungsi secara pragmatis. Bahasa menyerupai kapal yang mengangkut muatan makna untuk diantar ke benak publik. Adapun sebagai penanda identitas, bahasa melampaui fungsi harafiahnya. Sebagai identitas, bahasa tidak sekadar kurir, melainkan pesan itu sendiri.

Bahasa Politik

Fungsi ganda dari bahasa  telah membuat para pemburu kekuasaan  selalu berupaya keras memberdayakan bahasa dalam ikhtiarnya. Bahasa dipelajari secara khusus untuk kepentingan kekuasaan.  Dari proses itu lahirlah sebuah varian baru yang kita kenal secara seksama sebagai “bahasa politik” Bahasa politik berbeda dengan bahasa keseharian, berbeda dengan bahasa sastra, juga sangat berbeda dengan bahasa akademik.

Bahasa politik punya kekhasan karena lahir dari rahim yang berbeda. Bahasa politik lahir dari masyarakat terpelajar yang sedang berupaya memperoleh kekuasaan. Tujuan bahasa politik  tidak sekedar menyampaikan pesan,  melainkan menggerakkan publik untuk mengambil keputusan. Keberhasilan bahasa politik tidak dapat diukur begitu saja saat tuturan selesai dituturkan, tetapi harus diendapkan, bersifat akumulatif, dan melalui proses reflektif yang panjang ( Fathur Rohman, Politik Bahasa Penguasa: 2016 ). Dalam bahasa politik, makna tidak bisa diperoleh hanya melalui simbol tuturan saja karena makna tersebut tersimpan di ruang terselubung. Bahkan, dalam bahasa politik, intertekstualitas dan kontekstualitas dapat mengubah makna sebuah tuturan hingga sama sekali berbeda dengan wujud leksikalnya. Masyarakat juga dapat melakukan penilaian kualitas dan integritas politisi yang akan didukungmya melalui bahasa.

Bahasa politik tidak selalu berlumur ketidakjujuran, kampanye politik, misalnya menggunakan bahasa untuk menyampaikan ide atau gagasannya dalam visi dan misi serta program-program.  Ada banyak informasi yang faktual dan dapat dipercaya hadir dalam wacana politik tersebut. Akan tetapi , yang perlu diwaspadai, baik ketidakjujuran maupun kejujuran, dalam bahasa politik selalu berorientasi pada kekuasaan. Oleh karena itu, upaya verifikasi bahasa politik tidak boleh berhenti pada penilaian jujur-tidak jujur atau faktual-fiktif, melainkan pada motif penuturnya untuk kepentingan yang ada di balik makna yang tersembunyi untuk tujuan tertentu dalam politik misalnya, seperti menjelang pemilukada atau dalam aktivitas politik lainnya.

Bahasa politik (kuhusnya dalam politik praktis) adalah gabungan ketulusan mengabdi dengan manipulasi tingkat tinggi. Bahasa politik  sebagaimana dikatakan oleh George Orwell, didesain untuk mengatakan kebohongan supaya terdengar  mulia. Para politisi selalu punya energi untuk mengatakan bahwa hal yang diperjuangkannya adalah untuk kebaikan rakyat. Mereka selalu punya kemampuan untuk mengatakan bahwa dirinya adalah pejuang. Mereka memiliki kekuatan  untuk mengatakan sesuatu yang sama sekali lain dengan apa yang dipikirkan. Mereka telah terlatih untuk membedakan  mana yang “harus dikatakan” dengan mana yang “harus dirasakan”.

Dalam politik, aktivitas bahasa hanyalah bagian dari aktivitas komunikasi. Komunikasi sendiri merupakan proses pembentukan makna terhadap sebuah pesan tertentu yang disampaikan orang lain.  Kesuksesan komunikasi sangat bergantung pada proses interpretasi komunikan atas pesan yang diterima dari komunikator.  Yang membuat bahasa politik berbeda dengan proses komunikasi di bidang lain adalah adanya hukum-hukum pada bidang politik. Para aktor politik berupaya menyesuaikan karakter bahasanya dengan hukum-hukum yang berlaku di sana di saat bahasa tersebut dituturkan.

*) Penulis adalah Dosen Bahasa Indonesia pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta

Komentar ANDA?