Oleh: Dra. Christina Purwanti, M.Pd.
Pemahaman bahasa dalam fakta sosial menjadi alat komunikasi antar anggota masyarakat. Pemahaman bahasa ini terartikulasi lewat huruf, kata, kalimat dan membentuk satu pikiran utama yang terus terurai dalam sebuah paragraf.
Kumpulan paragraf demi paragraf membentuk satu naskah yang utuh yang tergambar dalam sebuah alur pemikiran, baik yang ber-plot maju atau mundur dalam sebuah narasi bahasa.
Dalam berbahasa, seorang penutur hadir dalam rangkaian kata dan kalimat sebagai instrumen untuk mengusung sebuah ide pokok pada setiap paragraf, yang selalu saja terjadi secara indah dan harmoni, itulah yang dinamakan bahasa- sastera.
Sastera hadir dalam rangkaian kata secara teratur yang terus menyiratkan berbagai makna secara lugas dan secara teratur melahirkan berbagai nilai. Di balik bahasa yang indah, tentu saja memiliki sebuah tujuan yang pada saat yang sama secara serta merta terserap secara sempurna sebuah keindahan yang ada di dalamnya. Hal ini, saya menyebutnya sebagai nilai sastera. Disebut nilai sastera bagi saya, argumentasinya adalah setiap bahasa yang ditampilkan dalam percakapan demi percakapan selalu saja tidak absen terhadap trilogi utama dalam proses berbahasa yakni makna bahasa, nilai bahasa dan tujuan bahasa.
Dalam percakapan yang menggunakan bahasa sebagai instrumen oleh siapa pun, sebenarnya ia mau menyampaikan apa tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai dalam percakapan lewat bahasa itulah, nilai sastera yang penuh dengan keindahan terus hadir dalam kata dan kalimat yang terjadi pada saat yang sama. Hal itulah saya sebut sebagai sebuah ‘pelabuhan yang sukses bagi sosok sebuah sastra’. Pada bagian itu, nilai sastera terus saja melekat pada seseorang yang kemudian dinamakan benih-benih sastera mengalir dalam darah seorang penyair.
Bagaimana memahami sebuah percakapan yang selalu terkandung aspek nilai sastera? Salah satu nilai sastera yang selalu terbaca dalam setiap percakapan adalah lewat keindahan kata dan keteraturan ide yang terurai secara sistematis yang mengalir lancar dan menyiratkan berbagai ide bagi yang mendengarnya atau menyimaknya. Pada bagian tersebut dinamakan, epik.
Keteraturan ide yang disusun dengan menggunakan rangkaian kata-kata yang indah dan kalimat-kalimat yang disusun secara terampil menjadi satu paduan yang serasi. Pemaknaan utama secara esensiil dalam fakta sosial inilah tentu menjadi cikal bakal munculnya sedari awal seorang sasterawan hadir secara mengesankan.
Bahasa dan tanggung jawab sastera harus bisa menjadi titik tertinggi dalan menyampaikan sebuah ide pokok di dalam satu teks atau naskah utuh pada setiap paragraf.
Yang terpenting, tanggungjawab sastera dipahami secara prinsipiil bahwa sastera selalu saja hadir dan bertujuan untuk mengartikulasikan segala hal yang tidak bisa diartikulasikan oleh orang banyak, argumentasinya adalah karena seorang sasterawan dipandang lebih memiliki kepabilitas untuk ber-artikulasi berbagai ide, baik ide pokok atau pun ide yang hadir dalan teks sebagai ide tambahan dalam berbahasa.
Dalam pemahaman pada kalangan kaum intelektual yang pernah ditulis oleh Goenawan Muhamad tentang “Sastra Untuk Siapa?” ( Prisma, Sastera dan Masyatakat Orde Baru, 1988: 56 ), Gunawan Muhamad secara gamblang menguraikan tentang derajad sastera seperti: Kalau sastera ‘serius’ adalah untuk intelektual, sastera ‘pop’ untuk kelas menengah yang ‘kurang intelek’. Gunawan Muhamad kembali mempertanyakan: Adakah sastera untuk orang kebanyakan? Kembali ia menjawabnya sendiri bahwa sastera untuk orang kebanyakan adalah cerita-cerita rakyat, pantun, dan termasuk di dalamnya sastera tradisional lainnya. Termasuk di dalamnya berbagai bentuk kesenian di Indonesia yang sampai dewasa ini masing-masing mempunyai ruang lingkup yang sangat terbatas.
Demikian juga kita bisa melihat lebih jauh lagi perkembangan sastera dewasa ini sebagai ‘sastera modern’. Sastera modern hanya dapat dimengerti oleh orang-orang rertentu, seperti misalnya Sastera Jawa hanya dimengerti oleh orang Jawa.
Hampir tak bisa diharapkan bahwa sastera modern bisa menjangkau semua orang. Kalau demikian maka kita tidak perlu merasa risau akan hal tersebut. Sebagai orang Jawa, saya bisa memberikan sebuah contoh tentang wayang: Siapa pun bisa menyaksikan wayang tanpa harus membaca karya Putu Wijaya.
Sebagai dosen bahasa Indonesia, saya ingin menutup catatan utama sebagai berikut, bahwa jika kita menyimak secara saksama tentang Bahasa dan Tanggungjawab Sastera, maka utamanya dalan hal ini adalah tentang ketajaman. Ketajaman mata dari seorang sasterawan sebetulnya terus menyingkapkan tabir pandangannya tentang makna bahasa secara mendalam, menyingkapkan nilai bahasa secara epik, dan menyampaikan tujuan utamanya dalam berbahasa secara benar, baik dan indah.
Sebagai akhir, “siapa pun bisa saja tercatat sebagai seorang sasterawan”.
=======
Penulis adalah Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Pelita Harapan.