Benediktus Bedil Pureklolong, direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (BARAKAT) mengisahkan tentang Ile Ape di Lembata yang pernah menghasilkan garam namun kemudian hilang. Ikuti ulasannya berikut ini bagaimana BARAKAT yamg dipimpinnya berjuang kembali memproduksi garam Ile Ape.
Tahun 1950-an, orang Tokojaengu dan Kimakamak di Ile Ape Lembata mulai memasak garam. Pasar Hadakewa, Waiwuring – Adonara, dan Lewoleba adalah tempat menjual garam produksi 2 kampung ini.
Seiring dengan masuknya produk garam dari luar yang lebih “bagus” garam Tokojaeng dan Kimakamak yang semula menjadi andalan masyarakat Lembata sebagai garam konsumsi, mulai tergusur.
Tahun 2013, masyarakat dua kampung ini mengorganisir diri dalam 15 kelompok PUGAR per desa dan mendapat bantuan pemerintah berupa pondok dan peralatan masak stainless steel. Alhasil, garam melimpah. Setiap kelompok memiliki 1 – 2 ton. Tapi apalah artinya 2 ton kalau tidak ada pasar untuknya.
Sejalan dengan beredarnya informasi “garam ini mengandung belerang karena itu tidak laku”, usaha garam ini pun berhenti total. Di Tokojaeng tinggal 1 dan di Watodiri tinggal 5 orang yang menjalankan usaha ini.
Bulan Pebruari 2018, Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (BARAKAT) mengajak Universitas Katolik Widya Mandira (UNWIRA) Kupang membuktikan kandungan belerang dalam garam melalui uji laboratorium. Hasilnya tidak ditemukan belerang dalam garam. Belerang menguap pada proses masak.
Pertemuan yang diinisiasi Barakat dan dipimpin Bapak Wakil Bupati Lembata di Rujab wakil bupati bersama Pemda Lembata (Dinas Koperindag, Perikanan, Ketenagakerjaan, dan 4 orang Kades), BRI, UNWIRA, dan Buyer sepakat melanjutkan pengembangan garam Tokojaeng – Kimakamak.
Bulan Maret 2018 bimbingan tekhnis Pembuatan Garam Rakyat Beryodium diselenggarakan untuk 25 peserta dari 5 desa (Lamatokan, Lamawolo, Kolontobo, Watodiri, dan Dikesare) dengan dukungan Badan Nasional Penempatan da Perlindungan TKI (BNP2TKI) dan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF).
Bimtek mengajarkan peserta untuk memasak garam tanpa tanah garam. Air laut dijemur 1 hari kemudian dimasak. Dalam waktu 4 jam garam sudah dihasilkan (padahal kalau dengan tanah 9 jam). Warna garam lebih putih, masyarakat yang bermukim di desa tanpa tanah garam pun bisa memasak garam.
Tanggal 17 Maret 2018, Garam Ile Ape beryodium produksi Kelompok Tapin Balik diluncurkan oleh Wakil Bupati Lembata “Dr. Thomas Ola Langodai”. Menyaksikan Wakil Bupati membuka tirai, mengangkat sebungkus garam sambil mengacungkan jempol pertanda peluncuran garam rakyat Ile Ape beryodium dimulai; sekelompok wanita tua yang tengah berdiri samping tenda kaget. Sambil menyeka air mata meleleh di pipi nan kian keriput, berkata terbatah batah “garamku hidup lagi…. ama wakilku terima kasih”.
Tak peduli apakah suara lembut penuh haru itu dibawa pergi oleh angin ke telinga Wakil Bupati yang ada tak jauh dari situ kah atau dibiarkan pergi mengetuk hati sang wakil rakyat yang tengah duduk di kursi empuk di balik gedung bertingkat kah…. Aku pun tak tahu. Tapi yang aku tahu adalah :
kata-kata wanita separuh baya yang kadang tidak diindahkan itu adalah sebuah kegembiraan orang-orang kecil di kampung terpencil yang merasa “apa yang ia sudah buat dihargai, disempurnakan, dan dimuliakan.
Orang yang peduli terhadap “yang kecil” adalah orang yang selalu datang bertanya kabar setiap saat; bukan orang yang setiap 5 tahun diutus elit partai mengemis suara bertopeng pelayan.
Melalui restu sang Pemimpin dan dukungan para pihak, usaha garam rakyat sudah mulai berkembang di Lamawolo dan Kolontobo selain Tokojaeng – Lamatokan dan Kimakamak – Watodiri.
Hanya pemimpin yang bernurani yang memberikan ruang dan uang untuk garam rakyat berkembang. Tak ada modal sejuta kecuali sepuluh untuk mengais rezeki seratus; karena laut, angin, dan panas matahari adalah pemberian cuma-cuma oleh Sang Pencipta yang tidak boleh percuma di tangan ciptaannya.
Foto: Inilah produk Garam Beryodium dari Ile Ape Labupaten Lembata
Kalau kesejahteraan rakyat yang didengung-dengungkan itu sudah sangat dekat dengan rakyat seumpama menggayung air laut mengubah jadi garam dan menjual jadi uang, kenapa mesti mendatangkan segala sesuatu dari jauh seolah harus dibeli.
Hujan yang sedikit dan kemarau panjang tidak lagi menjadi tantangan yang membuat banyak warga bermigrasi non procedural lalu menuai banyak masalah yang merendahkan martabat, tetapi panas yang banyak dan hujan kurang adalah berkat. Yang terjadi adalah bukan negeri ini kurus tetapi tidak terurus.
Ku akhiri tulisan ini dengan mengajak ”mari saling membantu mengurus Garam Rakyat Ile Ape Beryodium dengan pemasaran dari rakyat ke rakyat. Dengan membeli 3 bungkus Rp.5.000 atau mengajak setiap orang membeli Garam Rakyat Ile Ape Beryodium kita telah ikut membantu : komunitas Buruh Migran menjadi manusia yang bermartabat karena bebas dari masalah perdagangan manusia, perlakuan yang keji dari majikan, dan masalah-masalah lain. Para isteri nelayan sejati (PENITI) yang tengah melindungi spesies laut terancam punah, perempuan kepala keluarga (BAREK KELEMUR) yang tengah berjuang penuh air mata menghadapi budaya patrilineal.
========
Foto: Wabup Lembata, Thomas Ola Langodai saat peluncuran Garam Ile Ape beryodium