Suku Koban, Boyong “Kote Bala: Sampai di Lerek
Oleh : Thomas Ataladjar
SEBUT Watuwawer teringat Pater Henricus Coenradus Beeker,SVD yang wafat dibunuh di desa ini, Kamis 19 April 1956. Sebut Watuwawer, langsung teringat akan tiga tokoh Statement 7 Maret 1954 asal desa ini, yakni Bapak Theo Touran Layar, Bernardus Bala Klide dan Patrisius Nuba Mato. Sebut Watuwawer teringat langsung akan tarian tradisional Kolewalan dan upacara adat Ahar. Dan sebut Watuwawer, langsung teringat akan “Karun”, serta makanan beraroma khas yang “ditanak” di dapur alam ini seperti ubi-ubian, kacang-kacangan, jagung muda, sukun dan lain-lain.
Watuwawer. Watu artinya batu dan wawer artinya babi. Mengapa kampung ini namanya Watuwawer? Kenapa kemudian jadi Atakore? Apa kisah muasal desa ini? Dan bagaimana suku-suku pengungsi dari Awololo bisa menetap dan turut membesarkan desa ini?
Gara-gara Ina Kari “Gakaha Lata” Mau “Rigum Kluok” di Waiwejak, Musnalah Mudagedo
Menurut kisah tutur, di lokasi di mana Karun atau dapur alam Watuwawer ini berada, zaman dahulu adalah sebuah desa. Namanya Mudagedo. Di bawah kepemimpinan “dwi-tunggal” Nuba dan Hatel, desa ini aman dan sejahtera. Warga desa nya hidup rukun dan damai. Hubungan dengan desa tetangga seperti Waiwejak, Atawolo, Bauraja dan lain-lain juga akrab. Mereka saling mengundang, jika ada pesta adat di desa tetangga seperti pesta injak padi (rigum kluok), pesta rumah adat, kawin mawin dan lain-lain.
Menurut kisah, Orang Waiwejak mau adakan pesta injak padi atau Rigum Kluok. Warga desa Mudagedo juga diundang memeriahkan pesta itu. Nuba dan Hatel serta warganya gembira menerima undangan tersebut. Untuk turut serta berpesta ria di acara Rigum Kluok tersebut, warga Mudagedo mempersiapkan diri dengan pakaian baru, sarung (nowing dan petek) baru dan giring-giring ( kmorong). Juga rame atau manik-manik berupa kalung panjang dikenakan kaum wanita saat berlangsung pesta adat, termasuk gelang gading, gelang kmodok, ningel rayan (kalung) dan meteq atau sejenis bengkap di kaki terbuat dari kulit hewan. Bagi wanita, persiapan terakhir adalah mandi di Wai Oro dan cuci rambut (gakaha lata=keramas).
Menjelang tiba hari ‘H’, sebelum berangkat hamang di Waiwejak, malam itu seorang ibu bernama Kari (Kar) memasak santan kelapa sebagai minyak kelapa untuk mencuci rambutnya (gakaha lata). Ia minta tolong seorang ibu lainnya untuk mencuci rambutnya. Setelah kedua ibu itu siap, ina Kar menuangkan santan kelapa panas mendidih yang siap jadi minyak ke dalam sebuah “Kelau”.
Kelau adalah wadah untuk mengisi air, terbuat dari buah labu kering yang sudah dibuang isinya. Ina Kar tidur di bale-bale sementara temannya mulai mencuci dan keramas rambutnya menggunakan air dan minyak santan dalam kelau. Untuk penerangan dalam rumahnya mereka menggunakan damar. Biji jarak (kebelung) ditumbuk campur dengan kapas, ditumbuk, dipilin pada batang lidi lalu dinyalakan ujungnya.
Sambil cuci rambut kedua ibu ini terus asyik ngobrol ngalor-ngidul tentang pesta rigum kluok di Waiwejak yang bakal rame. Saking asyiknya ngobrol sambil gakaha lata, keduanya tidak sadar, bahwa damar yang dinyalakan tadi sudah hampir habis dan akan patah dan jatuh. Dan akhirnya puntung damar bernyala itu benar patah dan jatuh persis ke dalam kelau berisi minyak kelapa panas dan saat itu juga terjadi ledakan besar dibarengi kebakaran hebat.
Warga desa Mudagedo gempar, panik dan kalang kabut berlarian menyelamatkan diri dari amukan api dan minyak mendidih yag terus membara. Akhirnya desa Mudagedo hilang lenyap tak berbekas, berubah menjadi sebuah danau panas yang terus mendidih. Banyak penduduk Mudagedo hilang tak diketahui ke mana jasadnya.
Dalam situasi yang kacau balau dan kepanikan yang besar itu, tua magu dan leluhur masih menyelamatkan kakek Nuba dan sebagian warganya. Mereka mengungsi ke arah timur dan tiba di sebuah bukit (woloi) yang sampai hari ini disebut Nuba Woloi. Di bukit pengungsian ini mereka membangun pemondokan untuk berlindung. Namun untuk makan mereka kesulitan, karena hanya mengandalkan buah-buahan dan ubian hutan serta hewan buruan dan apa saja yang bisa dimakan.
Pada suatu hari, Nuba dan pengikutnya berangkat ke hutan mencari makanan sementara bayi dan anak-anak kecil ditinggalkan di pemondokan. Siang hari saat mereka kembali ke pemondokan, mereka mendengar seorang bayi yang menangis terus menerus tanpa henti. Saat mereka masuk ke dalam pondok, mereka melihat seekor musang sedang hendak menyusui bayi yang tengah menangis karena kehausan itu. Melihat kejadian itu mereka semua kaget dan sangat ketakutan. Kakek Nuba dan pengikutnya lalu bermusyawarah dan memutuskan untuk pindah dari Nuba Woloi ke arah timur, ke lokasi baru yang disebut Kore.
Daging Waw Higo Berubah Jadi Batu, Jadilah Watuwawer
Di Kore mereka hidup aman, tenteram dan damai tanpa gangguan apapun. Namun suatu saat muncul di tempat itu seekor babi besar. Nuba menamakan babi itu Waw Higo. Setiap mereka mengadakan pesta adat atau kenduri, babi itu muncul dan menghancurkan semua peralatan adat serta makanan sajian, lalu hilang tak berbekas entah ke mana. Karena kejadian itu selalu terus berulang seperti itu, maka seorang warga bernama Kia Wawin berniat untuk membunuh babi Waw Higo itu jika ia muncul lagi.
Kia Wawin mempersiapkan busur dan anak panahnya (hupel dan hegawek) yang sangat tajam. Suatu saat, begitu melihat Waw Higo muncul, Kia lalu membidik dan memanah babi besar itu. Tiga tulang rusuk babi itu patah terkena panah Kia Wawin, dan matilah babi Waw Higo seketika itu juga.
Lalu Nuba serta para tetua adat berkumpul untuk bermusyawarah untuk memotong daging babi itu dengan syarat agar bahagian yang penting seperti dagu, ekor, kaki, tangan, telinga dipotong secara utuh dan dibagikan kepada pemuka-pemuka yang berhak menerimanya. Hati, ujung lida, ekor harus ditusuk pada lidi untuk upacara seremonial. Sementara daging yang lain di potong lalu dimasak. Setelah semuanya siap, diumumkan agar semua penduduk Kore datang untuk Tobelagan, yakni acara makan bersama dengan duduk membentuk lingkaran.
Setelah warga duduk berkeliling di tempat acara Tobelagan, bagian daging yang masih mentah dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Sementara daging lain yang sudah matang dibagi kepada semua yang hadir. Setelah semua daging selesai dibagi, pimpinan desa tampil ke tengah lagan (lingkaran) mengucapkan mantera. Ia kemudian mengatakan :”Lagan pai gole…ga ro”,” semua yang ada di lagan, silahkan makan sudah, slamat makan”.
Namun……..apa yang terjadi? Begitu daging matang itu siap disantap, tiba-tiba semuanya berubah menjadi batu. Seluruh penduduk heran, bingung dan hanya saling berpandangan dalam diam. Mereka akhirnya pulang ke rumahnya masing-masing dalam ketakutan dan kebingungan.
Seminggu setelah kejadian itu, dagu babi Waw Higo ditemukan di jalan menuju Waiteba di tempat yang hingga kini disebut Waw Gerime (dagu babi). Kakinya ditemukan di tempat yang kini disebut Lew Lin. Sedangkan ekornya ditemukan di tempat yang kini disebut Enai Ikur (tanah ekor). Setelah peristiwa itu, maka kampung Kore diganti namanya menjadi Watuwawer atau Batu Babi.
Kemudian, seiring dengan pembentukan desa gaya baru di zaman Orde Baru, nama desa Watuwawer berganti menjadi Atakore sebagai nama desa gaya barunya dengan kepala desanya Partrisius Nuba Mato.
Foto: Lembah Lerek dan Gunung Mauraja serta Awololo
Suku Ledjap dan Koban Pengungsi Awololo Bikin Rame Watuwawer
Desa Watuwawer ini mulanya penduduknya hanyalah Nuba Wawin dan pengikutnya asal Mudagedo. Kemudian barulah datang suku-suku lain yang ikut menetap di sini. Suku Koban yang merupakan pelarian dari Awololo, di bawah pimpinan Lagaribu, akhirnya diterima oleh Nuba Wawin dan menetap di Watuwawer. Kemudian tiba juga Suku Ledjap Bruin dibawah pimpinan Tela Ledjap, menyusul Suku Lejap Nujan dipimpin oleh Labalanang yang juga diterima oleh Nuba Wawin untuk tinggal bersama di Watuwawer.
Kemudian datang lagi Suku Lerek dipimpin oleh Lopi Lerek. Suku Lerek ini diberi tugas khusus sebagai panglima perang sekaligus menangani urusan kesehatan warga desa terutama akibat perang atau patah tulang akibat jatuh dari pohon. Lalu datang suku Lamatukan dipimpin oleh Ata Tukan bersamaan dengan Suku Ledjap (lama tadak). Kedua suku ini ditugaskan menjadi penyebar berita dalam desa dalam hal adat yang disebut Gurumblete. Kedua suku ini juga diberi tugas untuk pemugaran rumah besar (Une Lewgolenen). Hanya kedua suku ini yang boleh ambil Keragehe Koli, di Onge oleh suku Tadak dan di Tua Wau oleh suku Lamatuka.
Kemudian menyusul datang Suku Ataladjar yang diterima suku Wawin sebagai pendampingnya, maka suka disebut Wawin Ladjar. Belakangan datang suku Huar yang mendampingi Suku Koban sehingga selalu dikaitkan namanya jadi Koban-Huar. Walau sebagai pendamping, namun tetap berdiri sendiri secara otonom dengan rumah adat aharnya masing-masing.
Suku Karangora (Karang) pelarian dari Awololo dalam pengembaraannya dari Atawolo dan sempat tinggal sementara di Lew Koba Geneke, saat melanjutkan perjalanannya ke Atalojo, meninggalkan seorang, namanya Hakeng Kerang. Dikisahkan, Hakeng Kerang kemudian kawin di Watuwawer dengan Gelu Hinga saudari dari Boli Wawin. Boli Wawin menghadiahkan 3-4 kebun untuk saudarinya Gelu Hinga sehingga Hakeng Kerang terus menetap di Watuwawer. Setelah merasa betah dan aman tinggal di Watuwawer, Hakeng Kerang minta restu pada Boli Wawin untuk menjadi warga sah desa Watuwawer dan sukunya tetap suku Karangora.
Dengan demikian desa Atakore (Watuwawer) memiliki 8 suku yakni Watuwawer (Wawin), Lewokoba (Koban), Ataladjar (Ladjar), Lewolerek (Lerek), Lamatuka (Tukan), Huar, Ledjapukan dan Karangora.
Kisah Suku Ledjap mencapai Watuwawer
Menurut kisah, leluhur Suku Lejap yakni Pen Tobe Laga Wujo, Pen Beto Ema Ingi dan Hire Kalang Lawe Laga, berasal dari Jawa, akhirnya menetap juga di Awololo. Pen Tobe Laga Wujo menurunkan suku Ledjap Nujan. Dan Pen Beto Ema Ingi menurunkan Ledjap Bruin (sulung). Sementara Hire Kalang Lawe Laga tidak mempunyai keturunan.
Saat terjadi bencana Awololo, orang Ledjap menyelamatkan diri mencapai daratan. Dari pantai Lewoleba , mereka mendaki bukit hingga tiba dan menetap sementara di Namawekak. Dari sini mereka sepakat untuk berpencar mencari tempat tinggal baru. Ada yang ke barat, ada yang ke timur. Tiga orang di antaranya yakni Bala Gletewoloi serta kedua adiknya yang masih kecil yakni Bala Kob dan Bala Gilo menuju ke arah selatan.
Ketiganya masuk keluar hutan naik turun bukit dan lembah seperti Lelawatan (Topok Wilol), Idalabi, Meluwiting, Bobu, lalu turun ke Waibawak, mendaki ke Kedang Geneke. Saat melintas di Kedang Geneke mereka melihat ke lembah Watuwawer, teryata di sana terliat ada asap api, lolongan anjing serta kokok ayam. Mereka akhirnya tiba di Ongapapa dan bertemu dengan Kia Wawin yang mengajaknya untuk ikut menetap di Watuwawer. yang saat itu sudah dihuni oleh Suku Wawin.
Ternyata setibanya suku Ledjap Nujan ini di Watuwawer, kakak sukunya yakni suku Ledjap Bruin (sulung) sudah duluan menetap di sana. Kia Wawin lalu memberi tempat untuk Suku Ledjap Nujan ini berdekatan dengan Ledjap Bruin yang hanya dibatasi oleh lorok. Wilayah Ledjap Nujan disebut Lorok Lere, sedangkan Ledjap Bruin disebut Lorok Golo. Lorok Lere dan Lorok Golo dibatasi oleh nihar ( gamak) atau pagar yang terbuat dari belahan pohon pahlawan. Kisah Suku Ledjap ini dapat dibaca di buku karya Donatus Dewa Ledjap berjudul : ”Suku Ledjap, Rekonstruksi Jati Diri Orang Watuwawer, 2014).
Foto: Pentas budaya Watuwawer di Karun
Suku Koban Dari Awololo Lewat Jalur Laut dan Darat
Menurut kisah tutur dari Suku Koban, di negeri Awololo hiduplah dua orang bersaudara laki-laki dari suku Lewokoba, yakni Raja Dua Buga yang mata pencahariannya dagang, beristrikan Nini Putri. Adiknya namanya Pati Ara Soni (Lamaholot) atau Pat Ar Hon (Lerek), pengumpul hasil hutan dan berburu.Kedua kakak beradik ini tidak pernah akur,dan saling bersaingan. Namun adiknya ini dikenal kebal, karena memiliki benda sakti bernama Kote Bala.
Menurut kisah, saat terjadi bencana Awololo, banyak warga Awololo yang mati tenggelam. Yang selamat berusaha menyelamatkan diri, berpencar ke segala arah. Ada yang berlayar menyisir pantai utara lalu terdampar di beberapa tempat.
Ada yang menumpang perahu milik Raja Dua Buga yang bernama Tapo Jong Baka yang ditumpangi oleh banyak orang dari Suku Lewokoba (Koban). Perahu Raja berlayar menyisir pantai selatan dan terdampar di Kemeru Wutun, di sebelah barat Mulankera. Tempat ini sampai sekarang disebut ‘Kemeru Wutun Tapo Jong Baka’. Rombongan orang Koban yang berlayar dengan perahu Tapo Jong Baka kemudian dikenal dengan nama Lewokoba Atlolo dan Lewokoba Atlenge.
Dalam perjalanan pengungsian itu Lewkoba Atlolo dipimpin oleh Pea, But, Hoge, Kaywua, Dolu, Lakan, Polar, dan Banga. Sedangkan Lewkoba Atlenge dipimpin oleh Labi, Wua, Nara, Duler, Baka, Gelak, dan Nele.
Setelah berhenti sejenak di Kemeru Wutun, mereka menuju kampung Mulankera yang saat itu masih terletak di atas bukit. Mereka mengutus seorang bernama Banga ke Mulankera untuk minta izin apakah mereka boleh menginap sementara di sana. Setelah cukup lama menunggu, namun Banga tak pulang-pulang juga. Ternyata sesampainya di sana, ada pesta adat dan Banga diberi minum sampai mabuk sampai lupa menyampaikan maksudnya dan bahkan lupa pulang. Nara menjadi gusar dan marah sehingga ia berteriak keras memanggil Banga. Tempat itu sampai sekarang disebut ‘Nara Bura’.
Rombongan orang Koban ini lalu berjalan terus dan meninggalkan Banga di Mulankera. Mereka mendaki bukit dan sampailah mereka di Tuwe. Di sini mereka berbagi arah. Sebagian terus mendaki dan tiba di Baulolong dan yang lain sampai di Tobilolong. Dari sana sebagiannya terus mengembara dan menetap sementara di Tapor Woloi, di bukit di atas Lerek, di mana sekarang ada jalan menuju Atawolo. Namun pengembaraan mereka terus berlanjut sampai satu saat mereka bertemu dengan saudara-saudaranya sesama suku Koban yang mengungsi lewat darat, di Lakaraya.
Sementara itu rombongan Suku Koban lain yang selamat dari bencana Awololo lalu mengungsi lewat darat, dipimpin oleh Bolbeun, Lagarengata, Bukat, Lewokoba, Due, Wale, Dewa, dan yang bungsu Uer. Wale ini kemudian menurunkan suku Waleng, yang kemudian bergabung pada Suku Koban Atawutun.
Mereka berjalan kaki lewat Kolbuto dan tiba di Karangora. Mereka lalu berjalan terus mendaki bukit lewat Habhipet hingga mencapai Watlolo. Di sini mereka lihat puncak gunung Mauraja di Lerek dan memutuskan menuju ke sana lewat Batanamang. Mereka akhirnya tiba di bawah sebatang pohon mangga besar dekat kampung Watuwawer (dekat sekolah sekarang).
Di sini mereka singgah beberapa saat dan menamakan tempat ini, Peutemada. Saat itu wilayah Lerek dan sekitarnya sudah ada kampung-kampung kecil. Namun umumnya setiap kampung juga punya ”orang kuat” yang harus bisa diatasi oleh pengungsi Awololo ini. Sebuah perjuangan hidup yang berat.
Foto: Karun , Dapur Alam
Dua rombongan Suku Koban dari Awololo ketemu di Lakaraya
Rombongan Suku Koban ini kemudian dari Peutemada melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju ke Krewakore, Weibetu, Baololo Klengat dan akhirnya tiba di Onge dekat Lewogeroma. Dari Onge mereka singgah di sejumlah tempat seperti bukit Lamalewa, Beirate, Heribehar, Weikehin, Ebaklolo dan tiba Harpuke, (Botan) dekat pantai. Dari sana mereka mendaki bukit Belkara ke Nubekobe, Waiduli, Agol, Manpukeyen , mendaki ke Potok dan Enaitawa, Koti dan menuju Iltopo. Dari Iltopo mereka turun ke Orinrajan. Dari Orinrajan mereka menuju Kebeherrobong , Witwule, Napuitawa, Rewak dan Gakore lalu memasuki Wala.
Setelah menjelajahi sejumlah tempat sampailah mereka di kawasan Beor dan Lakaraya. Di sini mereka bertemu dengan orang-orang dari suku Lewokoba yang terdampar dengan perahu di Kemeru Wutun Tapo Jong Bakat. Orang-orang Koban itu mengajak saudaranya sesama suku Koban dari Awololo ini untuk bergabung tetapi ditolak.
Mereka terus mengembara melewati sejumlah tempat sampai suatu saat tiba kembali ke Peutemada, akhirnya menuju ke Letew kemudian pindah lagi Orinrajan dan berdiam di situ bersama anak cucu mereka.
Suku Koban yang tinggal di Lerek ini terus berkembang dan terbagi menjadi suku Lewokoba Atlolon, Lewokoba Atlenge, Lewokoba Atwutun. Di Lerek mereka tinggal bersama suku lain seperti Lewotolok, Henakin, Tantuka, Timpuke, Namang, Atawatun dan suku Atalajar.
Demikianlah Suku Koban pelarian dari Awololo ini, kini menjadi sebuah suku besar yang menetap di Lerek, Tobilolong, Baulolong, Watuwawer, Karangora dan Waiwejak.
“Kotebala” Dari Benda Sakti dari Awololo, Jadi Nama Oto.
Dalam pengungsian dari Awololo hingga mencapai Lerek, Suku Koban tidak hanya membawa serta agama asli serta adat budayanya, tetapi juga sebuah benda sakti bernama Kote Bala.
Benda sakti Kotebala ini berbentuk lengkungan besi yang mirip sebuah gasing atau kote sehingga disebut kote bala. Menurut tradisi, benda ini merupakan milik suku Lewokoba dan disimpan di koker suku Lewokoba Atlolon yang dipimpin oleh Pea, But, Hoge, Kaywua, Dolu, Lakan, Polar, dan Banga yang ditinggalkan di Mulankera.
Untuk melestarikan nama Kote Bala, sejak lama di Lerek ada mobil penumpang (bis kayu) milik anak-anak suku Lewokoba diberi nama “Kote Bala”.
Kisah lengkap pengungsian Suku Lewokoba dari Awololon ke Lerek Atadei ini dituturkan oleh bapa Frans Gala Weka Koban dan ditulis oleh Skolastika Dera untuk Ama Yulius Wutun, lalu disalin dan disadur oleh Theodorus Uheng Koban Uer, dosen Unflor pada 13 September 2004 di Utrecht – Belanda.
Demikianlah semua suku yang mengungsi dari Awololo, dalam pengembaraannya mencari tempat tinggal yang baru, membawa serta agama asli dan budaya dari tanah leluhurnya, dan mewariskan aneka ritual adat dan kearifan lokal hingga saat ini.****
(Penulis, adalah Anak Kampung Waiwejak, tinggal di Bogor)
Sumber:
Wawancara penulis dengan bapak Theo Uheng Koban Uer, Dosen Unflor, Ende; Bapak Leo Waleng di Bogor dan Bapak Niko Damian Koban di Bekasi tentang kisah Karpana Suku Koban.
Catatan tertulis Patrisius Nuba Mato Koban ,November 1999).Tentang kisah terjadinya “Karun” dan suku pengungsi yang sampai di Watuwawer,
Catatan tertulis Bapak Theo Uheng Koban Uer, Dosen di Unflor,Ende tentang Bencana Awololo dan pengungsian Suku Koban.
Suku Ledjap, Rekonstruksi Jati Diri Orang Watuwawer,2014, oleh Donatus Dewa Ledjap,S.ip,M.Si.
Dokumen pribadi milik penulis tentang sejarah dan budaya Lembata dan Atadei.