Demokrasi Dan Perubahan Politik

0
539
Foto: Dr. Thomas T. Pureklolon, M.Ph., MM., M.Si.

*) Dr. Thomas T. Pureklolon, M.Ph., MM., M.Si.

 

GAGASAN demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari hadapan dunia Barat saat bangsa Romawi yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani, dikalahkan suku bangsa Eropah Barat dan dunia Eropah memasuki Abad Pertengahan ( 600-1400).

Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feudal dimana kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya yang pada saat itu kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan yang satu terhadap yang lainnya.

Dilihat dari perspektif perkebangan demokrasi pada Abad Pertengahan, menghasilkan suatu dokumen yang sangat penting yakni Magna Charta ( 1215 ). Magna Charta adalah semi kontrak antara beberapa bangsawan dan raja John Lachland dari Inggris di mana untuk pertama kalinya seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana untuk keperluan perang dan sebagainya.

Kendati pun Piagam ini lahir dalam suasana feudal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun tetap dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.

Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan pada permulaan Abad ke-16 di Eropah Barat muncul negara-negara nasional ( national state ) dalam bentuk yang modern yang pada saat itu Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Terdapat dua trent kehidupan sosial politik yang berkembang saat itu adalah pertama, Renassance ( 1350-1600 ) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, yang terus menghidupkan kembali minat kepada kesusateraan dan Kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan; dan dalam Renaissance inilah pandangan-pandangan baru mulai ditemukan: kedua, Reformasi ( 1500-1650 ) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropas Utara, seperti di Jerman dan Swiss; yang ditandai dengan perang-perang agama yang menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual yang sangat akrab dengan dogma, mau pun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan inilah merupakan cikal-bakal timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Inilah yang dinamakan “Pemisahan antara Gereja dan Negara.

Eropa Barat dan Pemilukada.

Bermuara dari kedua trent tersebut ( Renaissance dan Reformasi), Eropah Barat sebetulnya mempersiapkan natizensnya dalam masa 1650-1800 untuk segera menyelami trent kehidupan baru yakni Aufklarung (Abad Pencerahan) beserta Rasionalisme, yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata.

Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Konsekuensi selanjudnya adalah timbulah hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan juga kecaman terhadap kekuasaan raja yang tak terbatas pun tidak lagi dianggap sebagai pemali. Nalar dan akal sehat berperan penting dalam berpolitik.

Menyelami jalannya Pemilukada di manapun di Indonesia ( DKI yang barusan berlalu ), kita melihatnya dalam kacamata para partisan politik dari natizens yang digerakan oleh komunikator politik yang profesional yakni para jurnalis politik termasuk di dalamnya think tank dari masing-masing paslon (pasangan calon).

Para jurnalis politik yang sering menampilkan pemberitaan politik yang nota benenya by design adalah komunikator professional yang mampu memunculkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh paslon yang diusung. Untuk menguji kualitas sebuah ide yang dihasilkan tentu tidak terlepas dari logika politik yang berkembang dalam trent masyarakat yang tentu sangat parsial sifatnya; yang penting dapat diterima akal sehat dan bisa berjalan apa adanya sekarang. Tentu ini merupakan sebuah evaluasi yang sangat terbatas sifatNya.

Dalam Pemilukada, sebuah pilihan politik dari setiap individu misalnya, sangat akrab dengan kembarannya adalah spekulasi politik yang bersifat langsung pada hasil yang mau dicapai. Inilah esensi utama sebuah target politik dari setiap think tank paslon mana pun. Perolehan suara atau mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam pemilukada adalah faktor sentral bagi think tank dalam memformulasikan sebuah program faktual, yang adalah turunan langsung dari visi dan misi politik yang diemban oleh masing-masing paslon.

 

Bung Ahok dan Demokrasi Abad Pertengahan

Kekuatan politik dalam sebuah negara selalu saja menjadi ajang keterkaitan untuk melihat secara saksama tokoh politik yang merebut hati natizensnya secara nasional atau siapa pun yang bersimpatik dalam artian luas. Pak Ahok: Basuki Tjahaya Purnama ( BTP: Bersih –Transparant-Profesional ) mencatatkan namanya dalam sejarah demokrasi melalui perjuangan, kecerdasan, dan kekuatan politik yang luar biasa.

Ahok adalah seorang figur yang sederhana dalam peran politik yang memperjuangkan perubahan yang mutakhir dalam perpolitikan secara konsisten, akhirnya bisa menampilkan politik nilai yang luar biasa yang selalu melihat setiap moment politik selalu berisikan makna, nilai dan tujuan.

Pada Abad Pertengahan, struktur sosial yang feudal sifatnya bisa menghasilkan Magna Charta yang dikenang sampai sekarang dan kapan saja dalam momen kehidupan natizens dunia; bila sedikit dibandingkan dengan suatu hal yang tingkat probabilitasnya walau sangat kecil dan simpel yang punya daya dongkrat yang tinggi terhadap sebuah nilai yakni upaya Bung Ahok dalam mengamankan penggunaan APBD DKI Jakarta dengan dua lembaga ( penopang ) negara yakni BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan ) dan KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Inilah salah satu “senjata perang” Bung Ahok melawan KKN yang dilihatnya sebagai momok politik yang sangat mencekam di negara ini.

Ahok telah membuat perubahan politik di dalam sebuah masyarakat warga yang dianggap “pemali”, ketika itu menentang kebijakan yang tidak populer. Ia memperjuangkan dalam dua “bahasa yang indah” yakni bahasa kata-kata dan bahasa tindakan. Sikap politik Ahok yang bagi saya juga merupakan pilihan politiknya yakni menentang secara sarkastis KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme ).

Perjalanan karier politiknya sampai saat ini ( boleh baca: sebagai Bupati, Anggota DPR dan sebagai Gubernur, sekarang ) yang selalu berhadapan dengan ketidakadilan dalam penggunaan APBD, sampai yang bernuansa SARA pada Pemilukada yang barusan berlangsung.

 

Bung Ahok dalam Politik Sekarang

Sekarang, Ahok telah “dikalahkan”; dalam pertandingan politik DKI Jakarta ( versi Quick Count ). Tugas politik yang diemban dengan bekal politik nilai, tetap saja ber-resonansi di seluruh Indonesia ( bisa penjuru dunia ).

Entahkan politik nilai yang diwariskan Bung Ahok bisa menjadi resonansi politik perjuangan bagi siapa pun yang menyebut dirinya sebagai “bisa segalanya dengan janji-janji politik” misalnya dalam waktu tiga bulan di atas kertas atau satu bulan dalam aktivitas politik dalam kampanye politiknya. Perlulah diingat oleh semua yang berkepentingan bahwa politik nilai itu, butuh proses dengan muatan kualitas yang panjang bukan hasil pereduksian sebulan kampanye untuk hasilnya lima tahun berkuasa dan setelahnya kampanye lagi sebulan, dan berkuasa lagi. Kalau menjadi seperti itu dalam sebuah kekuasaan maka hasilnya adalah tidak ada hasil; itulah hasilnya.

Dengan melihat premis politik seperti tergambar di atas, maka selama lima tahun berkuasa yang adalah hasil kampanye sebulan-dua bulan, kegelisahan Thomas Aquinas tentang politik kekuasaan yang bersifat despotik ala abad pertengahan menampilkan sosoknya.

Catatan penting dalam pemahaman ini adalah: Kekuasaan bersifat despotik adalah kekuasaan yang terburuk yang dibayangkan oleh Aquinas. Aquinas sangat mengharapkan supaya kekuasaan despotik tidak boleh menjadi peran politik dan tidak boleh menjadi pilihan politik bagi siapapun yang berkuasa karena kekusaan seperti itu sama sekali absen terhadap tata nilai atau kebaikan bersama (bonum commune ). Nilai kebaikan bersama bisa menjadi milik siapa saja yang berkarya dalam bidang apa saja, boleh diarahkan dalam pemahaman yang empunya induk pemikiran tersebut yakni Thomas Aquinas.

Semoga demokrasi politik di Indonesia saat ini dan ke depan, bisa melahirkan pejabat negara yang handal yang mampu juga menampilkan perubahan politik. Bung Ahok sudah sedikit bisa, jadi tonggak gagasan ekspresi sebuah sosok demokrasi dan perubahan politik. Begitu…. !

Kampus, 25 April 2017

*)Penulis adalah:Dosen Pemikiran Politik, pada Program Pascasarjana UI dan Komunikasi Politik di Pascasarjana Univesitas Pelita Harapan.

Komentar ANDA?