Di Balik Persembahan ‘Ina Maria 3’

0
2450

Oleh: Robert Bala

Serah terima dan pemberkatan Kapal cepat Ina Maria 3 28/10, menarik untuk disimak (NTTsatu, 29/10). Di tengah geliat politik yang ditandai oleh kekecewaan sementara orang yang merasa tersingkir oleh gelagat bisnis etnis tertentu, persembahan itu dirasa melukai umat. Di sana muncul cap akan ketakberpihakan ‘gereja’ pada masyarakat lokal yang tersingkir.

Tetapi apakah benar demikian? Apakah itu pratanda terjadi ‘persekongkolan’ politik dan bisnis antara ‘gereja’ dengan pengusaha besar di Lembata dalam hal ini Ben Tenti?

Mengaiktkan dengan penerimaan Fortuner untuk Keuskupan Maumere oleh Gubernur NTT mestinya sah-sah saja. Pemberian itu (juga Kapal) dilihat sebagai upaya ‘membeli’ sikap profetis gereja, hal mana bisa saja terjadi. Aneka pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi akan menjadi ‘duri dalam daging’ yang hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa diungkapkan.

Sikap penerimaan itu pada sisi lain dilihat bertolak belakang dengan semangat kemiskinan Paus Fransiskus. Penolakan Paus atas hadiah mobil Lamborghini senilai Rp 2,8 miliar rupiah (15/11/2013) Paus pun melelang hadiah itu yang dananya akan digunakan untuk membangun kembali rumah dan gereja untuk umat Kristen Irak yang telah dihancurkan ISIS.

Tetapi bila dikritisi, perbandingan yang digunakan tentu tidak seluruhnya bisa diterima. Pada dua kasus di atas, fortuner dan Lamborghini dihadiahkan untuk digunakan secara ‘pribadi’. Paus mengambil tindakan tepat dengan melelangnya untuk kepentingan pembiayaan gereja di Irak. Sementara sumbangan yang diterima Uskup Maumere, meski disesali, tetapi sudah terlanjur diterima. Tentu saja diharapkan agar pemberian itu tidak mengurani apalagi meniadakan sikap profestis yang perlu dilansirkan ketika pemberi melakukan hal yang merugikan umat / masyarakat banyak.

Dalam hal ini maka pemberian Ina Maria 3 digunakan sebagai Kapal transportasi umum yang bisa digunakan oleh semua orang. Lebih lagi kapal cepat itu bisa menjadi sumber pemasukan bagi Keuskupan untuk jangka Panjang. Dalam konteks ini maka nuansa hadiah Fortuner dan Lamborghini mestinya tidak ‘seberat’ hadiah ‘Ina Maria 3’.

Tetapi tentu bukan berlebihan untuk mengingatkan Keuskupan bahwa ungkapan ‘no free lunch’ (tidak ada makan siang gratis), selalu tetap aktual. Apapun yang diberikan tentu tidak ‘gratis’. Kecurigaan akan niat politik maupun upaya memperluas bisnis di Lembata tentu wajar-wajar saja.

Tetapi kita pun tidak menutup kemungkinan untuk melihatnya secara positif dan tulus. Yang dimaksud, ‘udang di balik batu’ bisa dilihat secara positif. Di sana Ben Tenti maupun orang tuanya yang sudah lama dikenal oleh Uskup (saat masih menjadi Pastor di Lewoleba) menggambarkan kedekatan dan pengelan yang mendalam. Logikanya, uskup tidak akan menerima hadiah begitu saja kalau tidak diidasarkan pada keyakinan secara pribadi hal mana perlu kita apresiasi. Dengan kata lain, terlalu berlebihan ketika melihat hal itu sebagai upaya ‘membeli’ suara kritis gereja.

Lebih lagi pemberian itu tentu tidak bisa dipaksakan untuk dikaitkan dengan etnis tertentu. Jelasnya, orang baik (dan tidak baik) ada pada semua etnis. Dengan demikian kebaikan pada salah satu pihak tidak serta merta dinilai secara negatif sementara yang dilakukan oleh yang lainnya pasti baik. Sudah saatnya kita mengevaluasi secara kualitatif.

Kemandirian Ekonomi

Mencermati sambutan saat penyerahan Ina Maria 3, tentang penolakan yang sempat diutarakan Uskup saat awal ditawarkan dan penyebutan orang tua Ben Tenti, dan ajakan untuk bersama-sama mengelola ‘Ina Maria 3’, membawa beberapa konsekuensi.

Pengelolaan ‘Ina Maria 3’ akan menjadi semacam ‘Franchise’ atau waralaba. Dalam kerjasama ini, Ben Tenti sebagai ‘Franchisor’ yang menyerahkan kapal kepada keuskupan yang merupakan ‘‘Franchisee’ atau penerima waralaba. Namun proses itu hanya terjadi secara simbolis karena pada saat bersamaan, Keuskupan sebagai penerima berubah seketika sebagai ‘Franchisor’ atau pemberi. Disebut demikian karena pengelolaan kapal selanjutnya akan dilaksanakn oleh Ben Tenti sebagai ‘franchisee’ atau penerima waraba.

Hubungan ini menarik sekaligus menjadi awasan. Perubahan peran bisa menjadi zona ‘abu-abu’ dalam pengelolaan karena keuskupan sebagai ‘pemilik’ tidak akan terlalu jauh mengawasi ‘penerima warabala’ (yang merupakan pemilik). Ditakutkan bahwa keuskupan hanya ‘dipakai’ namanya demi kepentingan bisnis.

Namun ketakutan ini kelihatannya berlebih-lebihan. Pengenalan mendalam antara Uskup dan Keluarga Ben Tenti rasanya tidak akan mudah jatuh membenarkan prasangka negatif di atas. Malah donasi itu patut menjadi sebuah model menakjubkan yang mestinya bukan menjadi alasan untuk iri hati tetapi sebauh kekaguman.

Jelasnya. di tengah covid-19 dan juga kemerosotan ekonomi yang dialami gereja akibat berkurangnya bantuan dari luar negeri, prakarsa Ben Tenti itu termasuk menakjubkan. Ia tidak memilih hal biasa seperti penguasaha pada umumnya yang sekadar memberikan sumbangan tetapi memberikan ‘modal usaha’ berupa kapal Ina Maria 3. Sebuah modal untuk jangka panjang.

Bila itu sebuah ketulusan murni maka segala komentar negatif yang menghiasi dunia maya terasa berlebihan. Kebaikan itu perlu mendapatkan support dan disyukuri dan bukan sebaliknya. Bukan tak mungkin kritik itu dilihat sebagai sikap iri hati atas kebaikan orang.

Tetapi pada saat bersamaan, reaksi negatif pun perlu diterima sebagai harapan bahwa pemerintah telah membuka banyak ruang pemberdayaan melaluinya bisa mengalir dana yang tentu saja perlu dikelola secara professional. Bantuan berupa alat transportasi pun sangat terbuka. Di sana ‘gereja’ menerima bantuan sebagai warga negara maupun institusi yang ikut memberdayakan masyarakat.

Hanya saja pengelolaan seperti ini sangat professional. Penyalahgunaan yang terjadi akan berbuntut pada masalah hukum. Di sana tidak ada ‘kasih-sayang’ atau mengampuni yang kerap dilakukan demi menghilangkan jejak pelanggaran.

Itu berarti di balik ‘Ina Maria 3’ ada pesan atau minimal pembelajaran. Bila ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang ‘terlanjur’ di terima, maka ia menghadirkan pembelajaran untuk di masa yang akan datang. ****

*): Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.

Komentar ANDA?