NTTSATU.COM — KUPANG — Salah satu dari 182 debitur bank NTT, R. Riesta Ratna Megasari, mengaku kesal dengan kebijakan mengumumkan namanya sebagai debitur bermasalah ke publik. Sebab, dia mengaku selama ini sangat kooperatif. Apalagi pemilol CV ASFA ini juga bukan debitur nakal dengan jaminan fiktif.
“Betul kredit saya bermasalah, namun saya bukan debitur nakal dengan jaminan fiktif. Saya mulai mengenal dan menjadi nasabah Bank NTT dari saya memulai usaha di tahun 2007, dan bertumbuh bersama Bank NTT, boleh dicek kondite saya bagus sebelumnya. Hanya mulai pada tahun 2018 pembayaran angsuran kredit saya mulai terlambat sampai macet diakhir tahun 2019 dan menjadi debitur dengan kredit bermasalah,” jelas Megasari dalam rilisnya kepada mediantt.com, Kamis (21/10).
Dia mengaku agak terkejut membaca salah satu postingan di media online bahwa dia termasuk 182 debitur Bank NTT yang bermasalah. “Komunikasi saya dengan teman-teman bagian kredit cukup intens. Agunan saya di bank NTT sudah dalam tahap komunikasi untuk persiapan lelang. Beberapa hari lalu saya sudah mendapatkan surat untuk mengosongkan bangunan yang dijadikan agunan, sehingga pikiran saya harusnya tidak perlu dipublikasi lagi untuk kredit bermasalah saya, kecuali saya dalam tahap tidak kooperatif dengan pihak Bank NTT,” kata Megasari.
Akan tetapi, lanjut dia, “Ya sudahlah mau bilang apalagi, sudah dipublikasikan dan publik juga sudah tahu mengenai 182 debitur dengan kredit bermasalah di Bank NTT, baik yang kooperatif dan tidak kooperatif mungkin bisa tetap dipublikasikan saja karena bagian dari prosedur”.
Dia juga menyebutkan, total sisa pokok hutangnya ke Bank NTT dibawah Rp 3 miliar. “Semoga agunan (1 bangunan ruko, 1 rumah tinggal, 2 bidang tanah) yang akan dilelang bisa segera terjual sehingga hutang saya bisa segera lunas,” ujarnya.
Salah Investasi
Dia juga menjelaskan, dirinya salah berinvestasi dan pandemi covid-19 membuat bisnisnya mati total. “Bisnis saya bergerak di bidang event organizer dan wedding organizer. 2019 saya tutup cabang dari usaha saya di salah satu kabupaten. 2020 saya tutup juga di kabupaten lainnya dan 2021 saya tutup total seluruhnya karena biaya operasional tetap ada, namun tidak ada pemasukkan. Karyawan saya berhentikan namun sudah dibekali ilmu menjahit, merias dll sehingga bisa menjadi bekal mereka bekerja di tempat lain atau menjadi usahawan yang mandiri,” jelas Megasari.
Menurut dia, di tahun 2020 saat mendengar banyak relaksasi dari perbankan, dia ingin mengajukan itu namun ternyata ada kriteria bahwa kredit tidak boleh macet jika ingin mendapat relaksasi ini. “Tentunya saya tidak bisa mendapatkan fasilitas ini dari Bank NTT, namun saya tetap dibantu Bank NTT untuk bisa membayar sesuai kemampuan. Hanya usaha saya benar-benar tidak berjalan, tidak ada pemasukkan dan saya menjadi pengangguran. Pemasukkan pun hanya untuk bertahan hidup dan membayar tagihan lainnya,” beber Megasari.
Untuk itu, dia menolak tawaran dari Bank NTT karena belum bisa menjanjikan pasti angka berapa yang bisa dibayarkan dan berapa lama. “Kehidupan saya saat ini hanya bergantung dari pendapatan suami,” ujarnya. (MN/bp)