EU-UNDP Dukung terciptanya Sistem Peradilan Anak yang Terintegrasi

0
474
Foto: Peresmian fasilitas pengadilan anak di PN Kupang, Rabu, 25 Mei 2016

KUPANG, NTTsatu.com – EU-UNDP-SUSTAIN, proyek yang didanai oleh Uni Eropa hari ini meluncurkan dukungannya terhadap sistem peradilan anak bekerjasama dengan Mahkamah Agung, yang dilakukan dengan melakukan advokasi kepada sejumlah pemangku kepentingan dan memberikan fasilitas pengadilan anak di Pengadilan Negeri Kupang.

Fasilitas ini diresmikan oleh Deputi Menteri Departemen Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dr.Pribudiarta Nur, MM. Disamping peresmian fasilitas pengadilan anak, pada kegiatan ini juga dilakukan advokasi UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bagi pemangku kepentingan setempat/lokal yang diselenggarakan secara serentak oleh proyek SUSTAIN di Hotel Sotis, Kupang.

Acara ini dihadiri oleh semua pemangku kepentingan terkait SPPA untuk mewujudkan kerjasama antar lembaga yang lebih kuat dan membuka jalan untuk sistem peradilan anak yang terintegrasi.

Para pemangku kepentingan serta institusi yang memegang peranan penting dalam sistem peradilan anak Indonesia antara lain Mahkamah Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil, yang seluruhnya turut serta berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Institusi institusi tersebut akan secara berkelanjutan terlibat dalam serangkaian diskusi di lima pengadilan lainnya,  diawali pada hari ini di Kupang lalu juga akan dilaksanakan di Stabat, Sleman, Cibinong serta Manado, pada kurun waktu 2016.

Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi permasalahan penanganan tindak kejahatan anak dibawah umur untuk kemudian merumuskan rencana aksi yang dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar lembaga, agar  semua pihak terkait memiliki wawasan dan paradigma yang sama dalam menjalankan prosedur investigasi, penuntutan, proses, termasuk advokasi sebelum dan sesudah pengadilan dalam sistem peradilan restoratif.

“Anak yang ada di masyarakat perlu dianggap sebagai anak kita bersama. Populasi anak di Indonesia yang mengalami kekerasan cukup besar, dan mengingat kompleksitas dari permasalahan anak yang ada, kita memerlukan penanganan secara bersama-sama. Tujuannya adalah membangun sistem kesejahteraan sosial dan sistem perilaku yang terintegrasi dimulai dari keluarga inti sampai masyarakat. Kerja sama dengan seluruh satuan perangkat daerah dan aparat penegak hukum juga sangat diperlukan,” ucap Deputi Menteri Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur dalam kata sambutannya.

Franck Viault,  Kepala Kerjasama Delegasi Uni Eropa di Indonesia mengatakan, Uni Eropa sangat menjunjung tinggi hak-hak anak dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam sistem peradilan. Hukum Indonesia tentang SPPA telah menunjukkan komitmen negara ini untuk melindungi hak-hak anak.

“Kami sangat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang berkonflik dengan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif dan sertifikasi aparat penegak hukum,” katanya.

Gilles Blanchi, Kepala Penasehat Teknis dan Manajer Proyek EU-UNDP-SUSTAIN mengatakan, pemberlakuan UU SPPA pada tahun 2012 merupakan kemajuan besar dalam sistem peradilan anak di Indonesia, dan EU-UNDP SUSTAIN bekerja bersama sama dengan Mahkamah Agung sebagai mitra utama dalam implementasi SPPA.

Kelompok Kerja Perempuan dan Anak MA RI selama ini merupakan think-tank  dari implementasi UU ini di pengadilan. EU-UNDP SUSTAIN memastikan bahwa dukungan ini diberikan di tempat-tempat yang paling membutuhkan, seperti terwujudnya jaringan di lima pengadilan yang telah ditunjuk menjadi percontohan.

Fasilitas pengadilan anak yang diresmikan di Pengadilan Negeri Kupang merupakan bagian dari dana bantuan Uni Eropa sebesar € 10 juta  yang ditujukan untuk mendukung reformasi bidang peradilan di Indonesia, sehingga aparatus pengadilan dapat menyelenggarakan persidangan yang berkaitan dengan anak dibawah umur secara lebih baik, contohnya melalui telekonferensi dimana korban dan pelaku berada di ruangan yang berbeda guna melindungi ancaman psikologis terhadap anak. (tim media UNDP)

Komentar ANDA?