Fatmawati, Maksud Hati Ingin Curhat eh Malah Ditembak Bung Karno

0
3165
Foto: Fatmawati, Dokumen Perpustakaan Nasional RI

NTTsatu.com – Fat, begitu perempuan kuning langsat itu biasa dipanggil, pertama kali bertemu Sukarno pada 1938. Saat itu, orangtuanya, Hassan Din dan Siti Chadijah, berkunjung ke rumah pengasingan Bung Karno di Anggut, Bengkulu.

Kala itu Fatmawati mengenakan baju kurung merah hati dan kerudung kuning dengan hiasan bordir. Ia kelihatan cantik sekai. Sukarno pun langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Fatmawati yang seumuran dengan Ratna Djuami, anak angkat Sukarno, ingin melanjutkan sekolah di RK Volkshool, Bengkulu. Hassan Din pun menitipkan putrinya itu ke Sukarno.

Maka sejak itu Fatmawati tinggal sekamar dengan Ratna.

Oleh Sukarno, Fatmawati diperlakukan sama dengan Ratna. Keduanya dibelikan sepeda oleh Sukarno agar bisa bersama-sama ke sekolah, begitu juga dengan perlengkapan lainnya.

Seiring watku, Fatmawati semakin akrab dengan keluarga barunya itu, lebih-lebih dengan Si Bung Besar.

Hingga suatu hari, Fatmawati mendapat kabar bahwa ada seorang pemuda hendak melamarnya. Menanggapi hal itu, Hassan Din menyarankan Fatmawati agar meminta nasihat Sukarno.

Maklum Sukarno akrab dengan orangtua pemudi tersebut, yang merupakan seorang Wedana di Bengkulu.

“Pak, Fat ingin minta pendapat Bapak serta pandangan Bapak tentang seorang pemuda yang ingin meminangku. Bagaimanakah sifat dan tingkah laku pemuda itu sehari-hari?” kata Fat seperti terungkap dalam buku Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno.

Sukarno lantas terdiam. Ia menundukkan kepala di atas meja selama beberapa menit. Fatmawati yang bingung atas reaksi itu memberanikan diri bertanya, apakah Bung Karno sedang sakit.

Sukarno lalu mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca, “Begini, Fat. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama aku bertemu denganmu, waktu kau pertama kali ke rumahku dahulu pertama kali. Saat itu kau terlau muda untuk menerima pernyataan cintaku. Oleh sebab itu aku tidak mau mengutarakannya. Nah baru sekarang inilah aku menyatakan cinta padamu, Fat.”

Sukarno kemudian bertanya, “Apakah kau cinta padaku?”

Tentu saja Fatmawati terkejut bukan alang kepalang. Niatnya ingin minta nasihat, kok malah ditembak dengan pernyataan cinta.

Dengan penuh keheranan, ia menjawab. “Bagaimana Fat cinta pada Bapak? Bukankah Bapak mempunyai anak dan istri?”

Sukarno kemudian bercerita, selama 18 tahun menikah dengan Inggit Garnasih, mereka tidak punya anak. Istri pertamanya pun diceraikan dalam keadaan masih suci. Ia juga kerap ditanya oleh sang ibunda kapan diberi cucu lelaki, sedangkan kakak perempuannya telah punya empat putra laki-laki.

Lepas dari itu, Fat sebenarnya mencintai Bung Karno. Namun ia tak mau dipoligami. “AKu baru akan menyetujui apabila Bung Karno bercerai baik-baik dengan Ibu Inggit. Aku tidak dapat menerima poligami. Aku tidak akan dimadu,” ujarnya dalam buku Fatmawati Sukarno, The First Lady yang ditulis Arifin Suryo Nugroho.

Inggit pun setai tiga uang. Ia memilih bercerai daripadai dimadu. Akhirnya, Sukarno mengembalikan Inggit ke rumah orangtuanya di Bandung agar bisa menikahi Fatmawati.

Foto: Bung Karno, Fatmawati, dan ketiga anaknya


Puisi Bung Karno untuk Fat

Perasaan Sukarno kepada Fat begitu bergelora. Salah satunya terwujud dalam penggalan puisi romantis yang dipetik dari surat cinta Bung Karno berikut ini:

“Fatma yang menyinarkan cahaya, terangi selalu jalan jiwaku supaya sampai di bahagia raja
Dalam surganya cinta kasihmu, dari ribuan dara di dunia, kumuliakan engkau sebagai dewiku
Kupuja dengan nyanyian mulia, kembang dan setanggi dupa hatiku, engkau menjadi terang di mataku,
Engkau yang akan memungkinkan aku, melanjutkan perjuanganku yang mahadahsyat”

Pada 1943, Sukarno sudah kembali ke Jakarta dari pembuangan di Bengkulu. Rasa rindunya kepada Fatmawati terus membuncah. Namun ia tak bisa pergi menemui pujaan hatinya karena pergerakan nasional sedang panas-panasnya.

Menjelang Juni 1943, Sukarno memutuskan untuk segera menikahi Fatmawati. Bagaimana mungkin? Sukarno di Jakarta sementara Fatma di Bengkulu.

Akhirnya diputuskan bahwa akad nikah dilakukan secara perwakilan. Nanti setelah kondisi memungkinkan barulah Fatmawati diantarkan ke Jakarta.

Menurut hukum agama, perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin wanita dan wakil mempelai laki-laki. Maka, Sukarno segera berkirim telegram kepada seorang kawan akrabnya di Bengkulu, Opseter Sardjono.

Melalui telegram, Sukarno meminta temannya itu untuk menjadi wakilnya. Opseter mengunjungi rumah Fatmawati dan menunjukkan telegram dari Sukarno tersebut.

Orangtua Fatmawati menyetujui gagasan itu. Jadi pengantin wanita dan wakil Sukarno menghadap penghulu. Pernikahan itu pun dilangsungkan dan keduanya akhirnya terikat tali perkawinan. (Intisari online)

Komentar ANDA?