FLOTIM DAN KUTUKAN SATU PERIODE (3 Tahun ‘BEREUN)

0
3468

Oleh: Robert Bala

MEMBACA postingan tentang ‘Tiga Tahun Paket Beruin’ (Antonius Hubertus Hadjon – Agustinus Boli Payong), saya terdorong untuk memberi komentar yang menghasilkan tulisan ini. Tulisan ini bukan sebuah analisis data demi mengukur keberhasilan dan kegagalan sebuah kepemimpinan. Bukan maksud tulisan ini juga untuk mengevaluasi paket BEREUN, hal mana di luar kompetensi penulis.

Yang menjadi fokus adalah refleksi atas perjalanan bupati Flotim selama ini yang hang hanya satu periode. Kita tidak menyebut periode sebelum pemilihan langsung yang memang juga satu periode. Fokus lebih kepada bupati hasil pemilihan langsung: Simon Hayon, Yosni Herin, dan kini Antonius Hubertus Gege Hadjon. Simon dan Yosni satu periode sambil berharap Anton Hadjon (kalau tidak cerai dengan Agus Boli) bisa mencapai 2 periode.

Yang jadi pertanyaan: mengapa bupati Flotim sebelumnya hanya satu periode saja? Apa yang jadi kendala sehingga seakan Flotim ‘terkutuk’ dan menjadi hanya satu periode untuk bupati terpilih? Hal ini mestinya jadi objek untuk iri hati karena Lembata sebagai ‘anak’ ternyata begitu melenggang dengan 2 periode.

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Tetapi analisis sejarah secara sangat global dan superfisial seperti ditmapilkan berikut ini, bisa menjadi dasar untuk menjawab pertanyaan ini. Yang dimaksud, Flores Timur sejak abad 16 (atau bisa saja sebelum itu)sejauh catatan sejarah membuktikan, selalu berada dalam konflik.. Makanya Belanda seakan tidak banyak mengeluarkan anggaran untuk menerapkan politik ‘devide et impera’, karena Flotim sudah dari sononya’ menjadi bak surga konflik.

Lihat saja adanya pembagian wilayah ‘paji’ dan ‘demon’ yang begitu klop dengan penerapan ‘devide et impera’. Wilayah pulau yang kecil sudah tersekat dalam daerah ‘pesisir pantai’ dan pegungungan. Kerajaaan di pegunungan berkiblat ke Portugis sementara kerajaan di pesisir pentai akan lebih terbuka terhadap pengaruh luar yakni Islam. Mereka akan lebih terbuka terhadap budaya baru.

Di Flotim, contoh sekat itu bisa terlihat dalam tiga kelompok besar: Adonara, Solor, dan Flores Darat. Adonara yang bagi sebagian orang dianggap berasal dari ‘adok’(menguad) dan ‘nara’ (saudara) menunjukkan bahwa perselisian, provokasi untuk saling mencelakakan antarsaudara menjadi ‘hal biasa’. Tak berlebihan kalau, Ernst Vatter menyebut Adonara sebagai pulau pembunuh.

Antara orang Adonara dan Solor seakan terdapat anggapan tak tertulis. Orang Adonara menganggap dirinya berada di atas orang Solor. Beberapa saat lalu, saat Yosni Herin masih jadi bupati, seseorang yang cukup berpendidikan asal Adonara mengungkapkan rasa superiroitasnya. Bagi mereka, sebuah ‘pukulan’ besar ketika orang Adonara ‘dipimpin’ oleh orang Solor, hal mana membuat penulis terkejut. Bisa saja itu pendapat hanya seorang saja tetapi tidak bisa disangkal bahwa pendapat itu menjadi kesepakatan umum tak tertulis.

Flotim daratan tak sedikit bibit perselisihan. Duel menyebut diri sebagai orang ‘muka gunung’ dan ‘belakang gunung’, menjadi ironi. Di sana bukan sebuah kualitas yang ditampilkan tetapi sebuah persepsi berdasarkan tempat di mana seseorang berada. Memang demikian. Orang akan menyebut dirinya berada di muka gunung sementara yang ada di sisi lain disebut belakang gunung. Tetapi hal itu kemudian tereskpresi dalam anggapan yang merendahkan.

Bahkan yang berada di depan gunung sendiri masih terdapat pengelompokkan. Orang Larantuka Kota akan menganggap dirinya ‘lebih’ dari orang Lewolere /Waibalun. Demikian juga sebaliknya. Tak heran, dalam pilkada yang lalu, Lukman Riberu malah menang di Kecamatan Larantuka. Sebuah tanda bahwa basis dukungan untuk maju lagi bagi Anton Hadjon bukan hal yang mudah. Bila di kota Larantuka saja agak sulit memenangkan duel itu, bagaimana bisa menjamin kepastian di periode kedua.

Menorehkan Sejarah

Lalu bagaimana agar seoragn bupati (kalau boleh) bisa mencapai dua periode? Pertama, berguru ke Lembata. Pernyataan ini terlalu tendensius. Lembata adalah ‘anak’ dari Flotim, bagaimaan ia bisa belajar dari sana apalagi dalam kategori pemerintah pusat, Lembata masih menjadi kabupaten miskin. Namun yang dimaksud lebih pada komitmen membangun persatuan. Lembata sudah menginsiasinya pada 7 Maret 1954. Saat itu, menyadari bahwa Lembata ‘digiring’ kepada perpecahan, Petrus Gute Betekeneng dkk menginsiasi persatuan. Saat itu mereka sudah berani mengungkapkan kata-kata ini: “terkutuklah mereka yang memecahbelakhkan Lembata”.

Komitmen seperti ini yang kelihatan absen di Flores Timur. Persatuan yang diretas di Flores Timur bisa saja sebagasi kesepakatan politis yang tidak mengena sampai ke dasarnya. Lebih lagi setiap keputusan atau pengangkatan di jajaran pemerintah selalu dikaitkan dengan penyamarataan daerah dan bukan pada pertimbangan kualitas.

Kedua, pemimpin Flores Timur terpilih, mesti terus menyadari kondisi potensi konflikyang selalu ada sampai ke tingkat yang paling kecil. Setiap kampung seakan tersekat dalam pro-kontra yang masing-masing berusaha memengaruhi pempimpinnya (bupati). Diterimanya satu kelompok dengan sendirinya menyingkirkan yang lainnya dan seterusnya. Dengan demikian ketika dukungan itu diperoleh maka sudah pasti orang yang berseberangan akan menjadi lawan terbuka. Sejak saat itu, keterpecahbelahan menjadi ladang empuk bagi calon baru yang akan diterima dengan mudah oleh pihak kontra untuk pilkada berikutnya.

Potensi konflik seperti ini mestinya bisa ditempis dengan mengedepankan profesionalisme. Cepat atau lambat pihak yang tersisih akan melihat kekurangannya dan mengadakan rekonsiliasi. Masalahnya, kerap potensi konflik ini tidak terbaca oleh pemimpin (bupati). Ia akhirnya masuk dalam pusaran konflik dengan memilih pemimpin di bawahnya tidak bersadarkan ‘merit system’ tetapi lebih pada kedekatan politis. Bila hal ini terjadi maka sudah bisa dipastikan, potensi untuk menambah periode kekuasaaan menjadi sulit dan menjadi penjelasan mengapa bupati Flotim hanya (boleh) satu periode.

Ketiga, dua periode bagi bupati menjadi mungkin ketika duet pimpinan yang terbentuk tidak berdasarkan pertimbangan wilayah tetapi wilayah kompetensi. Selanjutnya komitmen itu digagas dari awal untuk (kalau bisa) sampai 2 periode. Hal itu juga dipengaruhi oleh visi dan misi yang sama sejak awal.

Kenyataan, duet di Flotim itu terpasang untuk jangka pendek. Malah diragukan untuk disebut bahwa ‘perkawinan’ itu didasarkan pada kesepepahaman visi dan misi. Bisa disebutkan ia menjadi kesepakatan politis yang dengan mudah berubah sesuai dengan perubahan arah politik. Lihat saja Simon Hayon dan Yosni Herin yang kemudian mudah bercerai pada pilkada berikutnya. Yosni Herin tidak lagi mengambil Valen Tukan (tetapi lebih memilh Marius Payong). Kini Anton Hadjon dan Agus Boli diuji apakah mereka masih bersatu atau memilih jalannya masing-masing dan hal itu akan m udah terbaca pada 2 tahun tersisa.

Pekerjaan lebih berat lagi bagi Anton Hadjon dan Agus Boli untuk mencapai periode kedua. Di satu pihak, tekad menjadi ‘penyelamat’ (kaum muda, laut, tanaman rakyat, infrastruktur, dan birokrasi) yang jadi misia kan diragukan kalau program yang dilansirkan tidak mengena sasaran atau bahkan tidak terejawantahkan dengan baik. Lebih lagi, penerapannya tidak didiasarkan pada análisis mendalam dan pelaksananya berdasarakan ‘merit system’ tetapi lebih pada pendekatan ‘like and dislike’ hal mana akan memperbesar potensi konflik yang sudah ada sebelumnya.

Tantangan itu bahkan kian berat karena masa jabatan bupati akan berakhir pada tahun 2022 sementara pilkada baru dilaksanakan 2024. Bila melirik kekalahan Yosni pada pilkada 2017 saat masih berkuasa maka peluang menjaga loyalitas baik birokrasi maupun masyarakat maupun ingatan kolektif masyarakat pada prestasi yang sudah pernah diukir akan menjadi hal yang sangat sulit.

Karenanya 2 tahun tersisah, baik Anton Hadjon maupun Agus Boli mestinya lebih fokus memelihara ingatan kolektif masyarakat pada prestasi yang masih bisa ditorehkan. Dengan kata lain, bila kutukan sejarah satu periode sudah ‘tergariskan’, maka yang terpenting menorehkan ‘sejarah’ dalam profesionalisme, kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tulus. Bila hal ini yang dijaga maka selama apapun tidak berada dalam kekuasaan, “Nagi Tanah” tidak akan lupa dan siapa tahu, akan memecahkan rekor di 2024 sebagai bupati perdana dengan 2 periode? Semoga.

=====

*)  Penulis  adalah Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik. Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

Komentar ANDA?