Oleh : Thomas Ataladjar
DALAM bulan Oktober 2018, penulis mengikuti upacara Pesta Kacang bahkan nginap di Kampung Lama Lewotolok, Ile Ape. Ternyata banyak hal baru yang penulis catat dari Lewotolok sekaligus dari Pesta Kacang ini sendiri, setelah mengikuti aneka ritual adat yang dilakukan.
Ternyata Lewotolok menyimpan banyak situs sejarah menarik, baik sejarah purbakala, sejarah pemerintahan masa lalu, dan sejarah budaya. Di desa Lamagute, Atawatung terdapat situs purbakala berupa lukisan purbakala pada bongkahan batu andesit dengan diameter ± 4 meter dengan tinggi kira-kira 6 meter. Pola manusia tersebut digambarkan dengan warna putih dalam posisi berdiri dengan kaki dan tangan terbuka. Walaupun tidak dijelaskan usia lukisan tersebut, namun para ahli kepurbakalaan dapat menyimpulkan bahwa sejak zaman purba, saat huruf dan angka serta budaya tulis-baca belum dikenal, kawasan ini sudah dihuni manusia.
Manusia purba pelukisnya ini mau menyampaikan pesan bahwa pada zaman nirleka atau prae-historia, mereka pernah ada di sini. ( Tulisan khusus tentang lukisan motif manusia kangkang atau matuto ini di desa Lamagute Atawatung ini, segera menyusul,Pen.).
Di Lewotolok juga ada situs sejarah pemerintahan zaman hamente berupa rumah Kapitan Lewotolok. Di Lewotolok juga terdapat makam seorang Tokoh Statement 7 Maret 1954 yakni Bapak Stanislaus Lela Tufan, putra Lamalera kelahiran 14 Januari 1915, kemudian mengabdi sebagai guru di Lewotolok hingga wafat di sini 10 Maret 1991. Makamnya berada di pinggir jalan utama desa Amakaka, tidak jauh dari gereja katolik Lewotolok.
Sementara di balik Pesta Kacang serta ritual demi ritual yang dilakukan, terdapat begitu banyak nilai adat, pesan moral serta kearifan lokal warisan leluhur yang belum cukup tergali dan terpublikasi.
Ternyata desa Lewotolok sendiri memiliki kisah sejarah panjang yang menarik. Bahkan dari desa Lewotolok ini kemudian lahir sebuah suku bernama Suku Tolok, yang tinggal jauh di Lerek, Atadei, selatan Lembata sana, yang ternyata punya hubungan kisah dengan bencana Awololo.
Belang Baga Ola Ama dan Wato Wolong Girek, Ina Ama Puken
Menurut kisah tutur zaman awal kehidupan “Buta Bete Walang Mara, Tana Mara Ekan Leat”, di puncak gunung Lewotolok munculah sepasang manusia. Mereka adalah Belang Baga Ola Ama (laki-laki) dan Wato Wolong Girek (perempuan). Keduanya muncul di tempat yang bernama Moreng, yakni sebuah lubang yang ada di puncak gunung (ile) Lewotolok. Lantaran muncul dari Moreng ini maka disebut dengan istilah Tana Tawa Ekan Gere (dipahami sebagai terlahir), maka turunannya disebut tuan tanah Lewo Puken Tana Alepen, sebagai pemilik dari ile Lewotolok. Turunannya ini yang kemudian dikenal sebagai Suku Ladopurap. Hal ini tersirat dalam koda : ” Suku Purap Wai Hali Rae Nong Tana Tawa, Tawa Bitol Wato Mean. Luo Lado Lolon Lour, Weli Nong Ekan Gere, Gere Sieng Tana Wadan”. Yang berarti terlahir dari ile Lewotolok, tidak datang dari tempat lain, tapi muncul sendiri dari dalam tanah di puncak Ile Lewotolok.
Leluhur Suku Ladopurap ini, setelah muncul di Moreng, pertama kali tinggal di Lama Taum, satu tempat di sekitar kawah ile Lewotolok. Kemudian mereka pindah dari Lama Taum dan menetap di Duli Onem, namun kemudian pindah lagi ke Lewo Alengen. Ketiga tempat ini berada di puncak Ile Lewotolok.
Hidup mereka di puncak gunung serba sulit. Susah untuk mendapat makanan dan air. Juga susah bagi mereka untuk menemukan tempat tinggal yang bisa lama dihuni. Maka leluhur Suku Ladopurap ini kemudian memutuskan untuk pindah ke tempat yang lebih baik yakni turun ke lokasi baru yang dinamakan Kiwan Lewo Belen.
Di Kiwan Lewo Belen ini, Suku Ladopurap beranak pinak dan turunannya bertambah banyak, puhun tika kiwan, wuhan bage watan. Saking banyaknya maka kemudian suku ini membagi diri menjadi sepuluh rumah adat, ria lake. Kesepuluh ria lake tersebut adalah Belang Ile, Hena Lawe, , Ola Rimo, Pitang Jawa, Kobit Asan Aman, Pan Dai Kewa Aman/Dokang Belaya, Bago Bisa, Kwong Kuan, Kolo Lanang dan Jari Hama.
Menurut kisah, warga kesepuluh ria lake ini hidup aman dan damai penuh persaudaraan dan kekeluargaan yang harmonis di Kiwan Lewo Belen. Namun suatu saat suasana aman, damai dan tenang ini mulai terusik, berubah menjadi kacau. Suasana tak tenteram dan kacau ini, bermula sejak kedatangan dua bersaudara Sadu Rupa Lima Letu serta adiknya Ekan Watan Lolon. Karena terus direcoki, maka suasana kian memanas dan akhirnya memuncak dengan pecahnya peperangan antara penduduk Kiwan Lewo Belen dengan kedua bersaudara ini dalam jangka waktu yang lama.
Pada saat sedang terjadinya peperangan ini, datanglah suku-suku pendatang seperti Suku Langobelen yang berasal dari Seran Goran dan Suku Sabaleku dari Sikka-Soge. Suku-suku ini disebut dengan istilah Tena Mao Manuk Samar. Suku-suku pendatang ini turut membantu penduduk Kiwan Lewo Belen menghadapi Sadu Rupa Lima Letu dan adiknya Ekan Watan Lolon.
Bila kita berada di dalam komplek Balai Adat “KOTA ONEN” di desa Amakaka, di atas salah satu gerbangnya jelas terbaca tulisan yang menyatakan bahwa ada suku pendatang yang leluhurnya dulu datang dari Seran Goran, sebagai berikut:” Tena Teti Seran Lodo, Laya Weli Goran Haka, Mebong Tena Teti Watan Waibiko, Lulun Laya Weli Nama Arawangan”.
Foto: Sole Oha ramaikan Pesta Kacang 2018 di Namang Suku Ladopurap, di Kampung Lama Lewotolok
Tolor…..Tolo , lalu………………… Tolok
Setelah peperangan yang dibantu suku-suku pendatang ini, kehidupan Kiwan Lewo Belen berangsur-angsur pulih, kembali tenang dan aman seperti sebelumnya. Seiring dengan perjalan waktu, warga Kiwan Lewo Belen sepakat untuk pindah lagi, turun ke kawasan pesisir pantai yang disebut Lewotolok.
Mengapa bernama Lewotolok? Dikisahkan bahwa saat Suku Ladopurap hendak membangun kampung Kiwan Lewo Belen, lokasinya bukan tanah datar tapi tanah miring menanjak di lereng gunung Lewotolok. Maka penduduk Kiwan Lewo Belen terlebih dahulu rame-rame membuat “bliko” yakni menyusun batu-batu sebagai dasar. (Di Atadei susunan batu ini disebut “benat”). Namun susunan batu itu setiap kali selesai disusun, selalu “tolor” atau longsor. Mereka lalu menggunakan tenaga ahli susun batu dari Atawatung. Namun tetap saja, setiap kali batu disusun tetap “tolor” (Atadei=tewak) atau longsor terus. ”Boting gere ditolor, boting gere ditolor.” Mereka lalu memanggil Suku Belaon Making untuk membantu menyusun kembali. Sebelum menyusun batu-batunya, Suku Belaon Making terlebih dahulu menaruh lodan sebagai alasnya baru disusun batunya. Ternyata berhasil baik, tidak tolor-tolor lagi.
Lantaran suka “tolor” tadi itu, maka tempat itu awalnya dinamai Lewotolor. Namun kemudian pada masa pemerintahan Kapitan Begu, oleh kepala Hamente ini diminta untuk jangan lagi pakai Lewotolor tapi cukup Lewotolo saja yang berarti kita duluan. Setelah masuknya agama Katolik ke sini bahkan berkembangnya menjadi sebuah paroki, maka nama parokinya adalah Paroki Lewotolo. Namun sebutan Lewotolo ini juga dirasa belum pas. Dan seiring dengan masuknya pendidikan maka Lewotolo berubah lagi menjadi Lewotolok.
Dalam perkembangan selanjutnya kampung Lewotolok berkembang menjadi tiga kampung yakni Lewotolok sebagai kampung induk, Rian Ebak dan Wato Wutun. Di masa pembentukan desa gaya baru, terbentuklah dua desa gaya baru yakni desa Ama Kaka (kampung induk) dan Waowala (Rian Ebak dan Wato Wutun). Belakangan, desa Waowala juga kembali dimekarkan menjadi Waowala dan Tanjung Batu sampai sekarang.
Desa Amakaka sendiri menurut catatan, berdiri pada tahun 1915. Sejak itu desa ini dipimpin oleh sekitar 20 kepala desa dengan kepala desa pertama Boli Raya (1915-1920). Setelah itu berturut turut dipimpin oleh Loli Aman, Petrus Payong, Dolu Sabaleku, Sili Mean, Agustinus Hali, Pius Payong Saban, Yohakim Payong, Hendrikus Hawang, Nikolaus Boli, Thomas Tuto, G.D.Langoday, Thomas Tuto, Bernardus Begu, Nicolaus Boli, Lambertus Laba Raya, Mikhael Ola, Lambertus Laba Raya, Fransiskus Suban, Mikhael Waleng dan sekarang, Thomas Tiro Ladopurap.
Penduduk asli desa Amakaka berasal dari suku Ladopurap dan Lamataro, yang kemudian bersama suku pendatang dari Seran Goran dan Sika Soge, terhimpun dalam satu rumpun besar Lewotolok.
Untuk menghormati nenek moyang dan leluhur Suku Ladopurap yang terlahir dari ile Lewotolok Tana Tawa Ekan Gere dengan ina ama-puken Belang Baga Ola Ama dan Wato Wolong Girek, suku Ladopurap selalu menyelenggarakan ritual adat Pao Boe Hapang Goal. ( Tulisan khusus tentang ritual adat Pao Boe Hapang Goal ini segera menyusul.Pen.).
Dari Lewotolok di Ile Ape, Lahirlah Suku Tolok di Lerek
Berdasarkan kisah tutur, Suku Lewotolok (Tolok) yang ada di Lerek dan Atawolo, Kecamatan Atadei, berasal dari desa Lewotolok yang terletak di Ile Lewotolok atau Ile Ape. Namun kehidupan di desa Lewotolok kala itu dirasakan sulit. Maka sebagian dari mereka lalu memutuskan untuk pindah dari kampung Lewotolok mencari tempat tinggal yang baru yang lebih baik dan menetap sementara di Lewotolok Atawatun. Mereka juga berhubungan dengan Awololo yang saat itu masih merupakan daratan tunggal.
Menurut kisah tutur suku Koban di Lerek, perhelatan besar “Heban Koker” (peresmian rumah adat) yang diselenggarakan Raja Dua Buga dan adiknya Pat Ar Hon di Awololo sebelum terjadi bencana, tidak hanya melibatkan masyarakat Awololo. Mereka juga mengundang semua kampung dan suku di sekitar negeri itu, mulai dari Awololon sampai dengan Atawolor. Suku-suku yang diundang antara lain Atawatung, Lewotolok, Lewokoba, dan suku-suku lain yang terdapat di Riang dan Atawolor. Sebanyak 18 kampung dan suku-suku yang terdapat dalam kampung itu diundang. Saking banyaknya undangan, maka tuan pesta menyediakan beras dan hewan piaraan dalam jumlah sangat besar. Dan saat pesta mencapai puncak kemeriahannya, terjadilah bencana air laut pasang dahsyat yang menenggelamkan Awololo dan memakan banyak korban. Belum ada kisah berapa penduduk Lewotolok yang diundang itu, ikut jadi korban dan yang selamat kembali ke Lewotolok.
Namun menurut kisah, semua orang yang masih hidup berusaha menyelamatkan diri, termasuk sebahagian orang Lewotolok yang juga diundang menghadiri pesta itu. Mereka terdampar di pantai lalu untuk sementara mengungsi ke kawasan Waikomo. Namun mereka terus dihantui ketakutan hebat akan peristiwa bencana air laut yang dahsyat yang baru saja mereka alami. Mereka lalu memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang baru kea rah gunung, yang dianggap lebih aman untuk menetap.
Dari Waikomo rombongan orang asal Lewotolok ini mendaki terus ke Pukai Rodang lalu terus menuju ke Belek. Dari Belek mereka turun ke Mudajlerek dan tiba di Wulandoni. Dari Wulandoni mereka menyusuri pantai Labala hingga mencapai Waiketoi Tawa sebelah Lebala, lalu menuju Bele di Tuwe Lenge.
Dari Tuwe Lenge, rombongan ini terbagi dua. Satu kelompok menetap di Tuwa Lenge yaitu Suku Tolok Atawatun. Namun kemudian Suku Tolok Atawatun ini pindah dari Tuwe Lenge mendaki dan tinggal sementara di Rengata. Dari Rengata,mereka kemudian pindah ke Beltenar dan akhirnya menetap di Tuwa. Pemimpinnya yang terkenal bernama Wato Koda. Saat hendak mendirikan desa Lusi Lia Lame elang (luher) dan musang (lakor) merayu suku pendatang ini untuk bersama suku lainnya bersatu untuk mendirikan desa Lusi Lia Lame yang sekarang bernama Atawolo.
Sementara kelompok kedua, dari Tuwe Lenge mendaki ke pebukitan Tobilolong dan menetap sementara di sebuah tempat antara Tobilolong dan Lerek bernama Lewtolok. Dari Lewtolok, mereka kemudian pindah ke Kilok Nulan, namun hanya sebentar, kemudian pindah lagi ke Lobat, seterusnya ke Bloboh lalu ke Lew Lemak. Dari atas pebukitan mereka melihat bahwa di Lerek sudah ada penghuninya yaitu Suku Atawatun. Suku Koban yang juga dari Awololo, saat itu sudah bermukim di Winur dan Kepakil Tawa. Sementara Suku Ataladjar menetap di Lew Alang. Oleh orang Atawatun pengungsi Awololo asal Lewotolok ini diajak untuk turun untuk tinggal bersama mereka di lembah Lerek.
Foto: Wawancara dengan Para tokoh adat dan masyarakat Lewotolok di rumah adat Suku Ladopurap di kampung Lama Lewotolo, Oktober 2018.
Kaum pelarian Awololo ini diberi tempat tinggal di sebelah barat, di belakang gereja saat ini. Mereka kemudian dikenal sebagai Suku Tolok Lewguna. Dalam perkembangan selanjutnya, selain Tolok Lewguna juga ada Tolok lain yang bertugas khusus sebagai Panglima Perang, terdiri dari 9 rumah. Turunan dari mereka antara lain P.Andreas Mua Tolok, SVD alm. Suku Tolok di Lerek memiliki hubungan dengan saudara-saudaranya di Tuwe, Atawolo.
Suku Tolok di Lerek ini banyak melahirkan sejumlah tokoh yang berperan di bidang masing-masing di zamannya. Bidang penyebaran agama katolik awal di Lerek selain tokoh Frans Galla Weka Koban salah satu nara sumber utama kisah bencana Awololo ini, tercatat juga Bapak Willem Beleta Tolok dan Mikhael Bala Hugur Tolok sebagai guru agama handal perdana di kawasan Lerek. Dua putra Tolok yang menjadi tukang handal membangun gereja adalah bapak Pius Kedang Tolok dan Pelea Lagan Tolok. Dan warga Lewoleba psti mengenal sosok Ande Patal Tolok, yang pernah jadi lurah di ibu kota kabupaten Lembata ini.
Di bidang pendidikan tercatat sejumlah guru dan tokoh pendidik seperti Bapak Guru Yohanes Baha Tolok yang juga merupakan salah seorang tokoh Statement Maret 1954. Sejumlah putera Suku Tolok yang menjadi guru antara lain Bapak Guru Wilem Beleta Tolok, Bernardus Dua Tolok, Anton Dolet Tolok,Yoseph Lewo Tolok, Yoseph Pito Tolok, Karolus Kia Tolok, Marsel Lidun Tolok, Alex Bala Tolok dan lain-lain. Di Jakarta tercatat Ir. Alo Tolok, selain dosen di Fakultas Teknik Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, juga guru senior di SMA Pangudi Luhur , Jakarta. Juga Yoseph Lewo Tolok, guru di Budi Mulia Jakarta, Yoseph Pito Tolok, Guru Santo Ignatius Loyola, Menteng, Jakarta dan Gabriel Kia Bakin Tolok, mantan kepala SMKK Citama yang kini mengajar di Saint Pieters School, Kelapa Gading, Jakarta.
Sejumlah putra Tolok memilih hidup membiara baik sebagai suster maupun iman. Antara lain P.Andreas Mua Tolok, SVD,alm, Yoseph Tote Tolok,OFM (Cianjur), Christo Bala Tolok, SVD, Yohanes Clemens Tolok, SDB, Yohanes Baha Lean Tolok, SVD, Hendrik Mado Tolok, SDB. Sementara sejumlah puteri Suku Tolok yang menjadi biarawati antara lain Sr.Stefani (Ana) Perada Tolok, Prr (Yogya), Sr.Sipriani Tolok, Prr (Tanjung Redep), Sr.Anselma Pega Tolok,SSpS (Kewa Pante, Maumere), Sr,Agnes Tolok,YMY (Jayapura) dan Sr.Flensiana Tolok ( Italia,Eropa).
Seorang putera Tolok yang saat ini sedang naik daun sebagai penulis produktif di ibukota Jakata adalah Robert Bala Tolok. Selain jadi dosen dan pimpinan di Tunas Indonesia International School, Bintaro, juga memelopori berdirinya sekolah Keberbakatan Olahraga San Bernardino. di Lewoleba.
Demikian sekilas kisah tentang Suku Tolok di Lerek dan Namaweka. Sesungguhnya asal usulnya dari Lewotolok di Ile Ape. Mereka terpisah dari saudaranya, gara-gara bencana Awololo.
Mari Kita Cintai Lembata Masa Lalu untuk Membangun Lembata Masa Depan, pada pijakan budaya dan sejarahnya ***( Penulis adalah Anak Kampung Waiwejak, tinggal di Bogor ).
========
Sumber Tulisan:
Wawancara dengan sejumlah tokoh adat dan masyarakat Lewotolok di Amakaka dan Kampung Lama Lewotolok,Oktober 2018.
Catatan tertulis :’ Sejarah Tutu Asal Suku Ladopurap ,Suku Purab Wai Hai,Luo Lado Lolon Lour dari sejumlah nara sumber sejumlah tokoh masyarakat seperti Kresensius Witak,Yoakhim Ola, Ferdinandus Bada, Bernardus Begu, Gregorius Hide, Nikodemus Lei Kobit, Pius Payong, Martinus Arakian, Bernardus Buang, Thamrin Tadong, Haris Holo, Thomas Ola, Klemens Kwasan, Yoakhim Belen, Bernardus Atawadan, Lukas Raya, Samuel Sili, Nikolaus Sadu, Yakobus Ile Lolon dan Maksimus Ngaong.
Profil Desa Amakaka,dari Kepala Desa Amakaka,Thomas Tiro Ladopurap.
Catatan tertulis bapak Theo Uheng Koban Uer, Dosen di Unflor,Ende tentang Bencana Awololo dan pengungsian Suku Koban.
Wawancara penulis dengan bapak Theo Uheng Koban Uer, Dosen Unflor, Ende ; Bapak Leo Waleng di Bogor , Gabriel Kiabakin Tolok di Depok dan Bapak Niko Damian Koban di Bekasi tentang kisah Karpana Suku Koban.
Dokumen pribadi milik penulis tentang sejarah dan budaya Lembata , Atadei dan Ile Ape.