Sebelum menjalani hukuman penjara selama setahun sesuai putusan hakim Pengadilan Negeri Lewoleba Lembata atas kasus Pemalsuan Dokumen, Politisi Peten Ina dua periode dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Philipus Bediona yang akrab disapa Ipi Bediona dengan gagah berani mengungkapkan kebesaran hatinya untuk menjalani hukuman ini.
Ungkapan hati anggota DPRD Lembata yang terkenal dangat vokal itu dituangkannya dalam guratan hati dan rasa yang dimuat beberapa jam sebelum dieksekusi di Lapan Waikilok Lewoleba, Lembata, Jumat, 03 Agustus 2018.
Berikut ini diturunkan secara lengkap guratan hati sang politisi asal “Tanah Lamafa” Lamalera ini yang selalu menyandarkan segala sesuatu dalam perlindungan Tuhan.
Mohon Pamit Menjalani Setahun Masa Jedah Politik
Orangtua, Saudara, Kerabat, Sahabat, Kenalan, Handai Tolan terkasih
Jika menerima postingan ini, saya sudah di Pertapaan Waikolok, menjalani Putusan Pengadilan Negeri Lembata, yang menjatuhi hukuman I (satu) tahun Penjara, atas tuduhan melakukan pemalsuan dokumen DPRD di Tahun 2014. Putusan ini dikukuhkan PT Kupang, & Kasasi kami ditolak MA. Hukuman ini akan dikurangi Masa Tahanan di Polres Lembata T 2015, di era kepimpinan Kapolres Lbt AKBP Wresni, & Kasatreskrim Aba Mean.
Tidak ingin mengganggu keluarga, kerabat dan kawan2, kami & JPU memilih proses eksekusi hukuman dalam “diam”. Waktu eksekusi kami sudah lewat cukup jauh.
Di samping sifatnya yang tak terhindarkan, wajib hukumnya, sbg warga negara yang baik, kami memang tetap harus menjalani hukuman ini. Ini juga bagian dari penghor-matan terhadap prinsip “equal before the law” (kesamaan di hadapan hukum), kesederajadan, dan keadilan.
Karena itu, istri saya Eta Kleden (Abon Boli Marieta) & kedua putri saya, Pia & Mei Bediona, sudah mengantar saya ke Lapas Waikilok pagi ini, Jumat, 03082018.
Kurang lebih setahun mereka akan menjalani hidup tanpa saya suami dan ayahnya di rumah. Tetapi kami sudah membicarakan cukup panjang. Batin mereka sudah cukup siap. Demikian juga putra saya Pius Suban Bediona, sudah saya pamit. Saya hanya berdoa mereka cukup kuat menjalaninya.
PERTAPAAN & PENJARA
Saya memilih untuk menjalani hukuman pidana penjara sbg sebuah pertapaan. Pertapaan itu sendiri sebenarnya asing bagi saya. Saya sendiri belum punya pengalaman untuk itu. Tetapi referensi kita pada pertapaan sejumlah “guru” silat (dalam cerita persilatan) atau biarawan tempo doeloe (cerita Orang Kudus), menunjuk pd kehidupan di pengasingan, yakni hidup lepas dr kehidupan sosial lazimnya, yang dipilih secara sadar, untuk tujuan yang bernuansa spiritual.
Pertapaan seorang guru silat berujung pada kematangan ilmunya di dunia persilatan. Pertapaan seorang biarawan menghasilkan kematangan spiritualitas sang pertapa. Biasanya berat tapi dilakoni sbg sebuah pilihan sadar yang mendatangkan manfaat.
Tentu beda. Kami berdua Feri Korban (Ferko) bukanlah pesilat, jg bukan rohaniwan/biarawan katolik. Kami warga biasa, yang oleh putusan PN dipaksa masuk bui.
Oleh karena itu, masuknya kami berdua ke Lapas merupakan sesuatu yang dipaksakan dari luar. Bukan sesuatu yang lahir dari niat sendiri. Akan tetapi dalam kondisi itulah kami coba menjalaninya dalam motivasi sebuah pertapaan. Artinya penghayatan hukuman badan kami geser maknanya.
Motivasi ini dibangun secara sadar, sbg cara u menumbuhkan suasana kebatinan yang lebih positif dan supportif. Penghukuman badan dijalani sebagai sebuah kesempatan melakukan purifikasi/pemurnian diri, penggalian & penguatan potensi diri yang terselubung atau terabaikan selama ini.
Kami berada di antara kaum “terbuang”, & kami juga bagian yang tak bedanya dengan mereka.
Mungkin terlalu muluk, tetapi paling tidak, di atas motivasi ini saya mulai merasa lebih mampu berdiri di atas kemanusiaan saya u tidak memandang pidana ini sebagai sebuah bentuk penghukuman badan semata.
Juga tak lupa dari sisi kehidupan perkawinan, ini ujian bagi perkawinan kami. Meski perka-winan sudah mempersatukan kami, sbg suami-istri, tetapi pertapaan harus memisah-kan kami secara fisik. Meski tentu tidak secara batiniah.
Saya sangat mempercayai ketulusan, kesucian cinta dan perkawinan istri saya, untuk bertahan ditinggal selama setahun, berjuang menghidupi diri sendiri, bersama kedua putri kami, si sulung Pia dan si bungsu Mei Bediona di rumah, dan putra kami si Rio Bediona, yang masih di bangku sekolah.
Kejujuran di “Mata” Hukum
Ini bukan waktunya lagi mencari siapa salah dan siapa benar. Sekarang waktunya menjalani putusan PN. Akan tetapi mungkin ada baiknya saya menulis sekedar sebuah catatan relektif dan pelajaran kehidupan ttg KEJUJURAN dan HUKUM. Atau tepatnya arti kejujuran di “mata” hukum.
Kejujuran adalah ajaran kehidupan dari agama mana pun. Tidak ada agama yang membenarkan ketidakjujuran.
Dari perspektif budaya, bagi perantau Flores & Lembata, bukannya pendidikan yang terutama diandalkan, melainkan kejujuran sbg modalnya merantau ke dunia sebrang. Catatan perjalanan perantau Flores-Lembata ini menunjukkan betapa kejujuran merupakan nilai yang dihargai dan diterima di mana-mana di bumi ini.
Akan tetapi ada sebuah pertanyaan tersisa bagi saya: bagaimana dengan kejujuran di “mata” hukum? Atau bagaimana kejujuran di hadapan hukum negara kita?
Sejauh bertujuan mengungkap kebenaran sesuai fakta yang terjadi, kejujuran tentu sangat bernilai. Tetapi jika kejujuran, seorang TERSANGKA diperhadapkan dengan sebuah SKENARIO hukum, yang telah dibangun, (apalagi jika skenario hukum itu lahir sebagai hasil sebuah persekongkolan), maka BUKANKAH kejujuran akan menjadi “TALI PERANGKAP” yang akhirnya menjerat LEHER si tersangka sendiri? Bukannya dihagai, malah kejujuran dimanfaatkan sesuai SKENARIO, tanpa memandang & menyelami makna di balik informasi jujur sang tersangka.
Karena di dalam proses hukum, seluruh perhatian APH terfokus bukan terutama pada PENGUNGKAPAN KEBENARAN, melainkan pada PEMBUKTIAN SKENARIO HUKUM yang sudah dibangun. Dan skenario hukum ini dibangun berlapis, di tingkat kepolisian melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP), & di tingkat kejaksaan melalui berkas Dakwaan & tuntutan JPU.
Oleh karena itu, tugas seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikesankan keluar adalah bukan TERUTAMA mengungkapkan dan menegakkan KEBENARAN dalam arti sesungguhnya, melainkan membuktikan DALIL yang dibangun dalam DAKWAAN. Dengan cara apapun.
Pertanyaannya:
Apakah dalil itu kebenaran itu sendiri?
Dalil dan kebenaran sudah pasti merupakan dua hal yang berbeda. Dalil dibangun oleh manusia APH/JPU, sedangkan kebenaran berbicara dari dirinya sendiri. Kebenaran tidak bergantung kepada dalil. Ketika DALIL TERBUKTI kepuasan mekar di wajah JPU & APH lainnya, betapun rasa ketidak adilan akan menyeruak dalam sanubari rakyat.
Karena itu sekarang jika kepada saya ditanyakan apakah kejujuran penting di “mata” hukum?
Jawabannya, hehe.
Mungkin banyak kasus hukum di Lapas Waikilok, dan di lapas-lapas lainnya di Indonesia, yang sudah dan akan berbicara tentang hal ini. Saya tidak dalam kapasitas untuk membuat kesimpulan.
Yang Biasa seakan Menjadi Luar Biasa
Dalam politik, orang sering menyebut-nyebut kami berdua Ferko, sebagai orang yang taat pada prinsip, konsisten, berani (tidak takut risiko), tetapi berdua kami sendiri merasa apa yang kami lakukan adalah hal biasa, & sudah sepatutnya.
Bukan luar biasa.
Cuma karena banyaknya orang suka memilih untuk TIDAK MELAKUKANNYA, hal yang biasa & sudah sepatutnya seakan menjadi luar biasa. Padahal sesungguhnya tidak. Karena ini hanya merupakan konsekuensi dari pilihan sikap.
Kebenaran, demikian juga keadilan, kemanu-siaan, semua orang, dari lubuk hati terdalam, akan dan mau mengakuinya. Semua orang suka akan kebenaran. Semua orang juga suka akan keadilan. Apalagi itu terkait dengan kemanusiaan.
Akan tetapi ketika berhadapan dengan realitas kekuasaan di mana ketidakbenaran, ketidakadilan merajalela, dan kemanusiaan ditelantarkan, bahkan dikorbankan, orang cenderung akan berdiam diri mempertimbangkan RISIKO. Termasuk risiko keluar & terasing dr lingkaran kekuasaan, risiko tidak disukai, dimusuhi, risiko kehilangan jabatan, (kehilangan fasilitas dan uang yg melekat dg jabatan). Tp hampir pasti, risikonya tidak berkaitan dg kehilangan nyawa. Kecenderungan menghindari risiko ini yang sering disebut “CARI AMAN”.
Padahal perubahan di lingkungan birokrasi pemda misalnya, membutuhkan semacam “gerakan” dari dalam birokrasi pemerintahan sendiri.
Jika semakin banyak pejabat Pemerintahan BERANI mengatakan TIDAK atau MENOLAK praktek KKN (tentu tidak perlu frontal, melainkan secara santun saja) maka sang pemimpin dengan sendirinya akan merasa ada kontrol, tekanan, bahkan perlawanan dari “dalam” tubuh pemerintahan sendiri.
Betapapun kuatnya tekanan politik DPRD, (apalagi faktanya lemah), kekuatan kontrol itu tidak efektif menggerakan terjadinya perubahan, sepanjang kekuatan kontrol internal pemerintahan rapuh. Dengan kata lain, sepanjang Pemerintah sendiri solid melakukan perlawanan terhadap kontrol, maka sudah pasti kontrol eksternal cenderung mental.
Jajaran bawah merasa aman, selama pimpinan tidak bergeming terhadap kontrol, & pimpinan merasa aman, karena seluruh sendi kekuasaan senafas dan seirama dalam menolak kontrol.
Cari aman ini yang membuat orang gampang menjadi tidak konsisten. Mbalelo. CA itu bentuk lain dari tidak berani mengambil risiko atas pilihan. Tidak berani hidup susah. Tidak berani hidup miskin. Dan anak suka dijadikan alasan. Anak masih sekolah. Belum jadi orang.
Berdua kami sangat yakin, pemenjaraan kami sama sekali tidak menghancurkan ekonomi kami, tidak meluluhlantakkan masa depan kami. Pemenjaraan kami juga tidak akan menggagalkan pendidikan dan persiapan anak2 u masa depan mereka.
Pamitku pada istri-anakku
Saya sendiri tidak mengerti pikiran dan perasaan apa yang sedang menggelayuti benakmu istri dan ketiga putra/i saya. Maafkan, “keras kepala” saya dalam menegakkan kontrol politik, ketika semua lain cenderung memilih bungkam, dan tak bersikap, membuat kamu harus ikut memikul “salib” ini.
Tak lupa trims berdua kami u semua yang sudah menunjukkan empati kepada kami berdua dan keluarga, selama ini:
- Mendoakan kami sepanjang proses hukum berjalan
- Menemani kami selama proses penyidikan atas diri kami berjalan di Polres Lembata.
- Mengunjungi kami selama berada di sel tahanan Polres Lembata,
- Setia menemani kami sepanjang proses peradilan kami, yang memakan waktu hampir selama 11 bulan.
- Di atas semuanya buatmu Saudaraku bertiga Mat Bumi, Emto Wahon & Juprians Lamabelawa. Kamu sdh memberi “hati”mu kami.
- Pa Yan Mboeik, Ketua DPP PKPI, Siong (Yoseph Lembata), & semua teman seperjuangan di PKPI NTT, Lembata
Terima kasih untukmu pemilihku. (bp)