Guru Tapal Batas di Zona Toleran: Kami Takut Lihat Berita Pilgub DKI

0
668
Foto: Dhani dan Gilang, dua guru yang mengabdi di daerah perbatasan

NTTsatu.com – ATAMBUA – Dua ronde Pilkada DKI 2017 yang sarat isu panas itu akhirnya kelar juga. Ternyata kebisingan panggung politik Jakarta itu sampai ke pelosok Indonesia yang damai.

Di sini, 2.964 km dari Jakarta, masyarakat hidup dengan penuh toleransi terhadap kelompok yang berbeda. Penerimaan terhadap minoritas disaksikan sendiri oleh dua pemuda Jawa bernama Dhani Kurniawan dan Gilang Rickat Trengginas.

Dhani dan Gilang sedang berada di Lahurus, Desa Fatulotu, Kecamatan Lasiolat, Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini termasuk daerah tapal batas Indonesia-Timor Leste. Mereka berdua adalah guru Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T), mengajar di SMA MGR Gabriel Manek SVD.

“Masyarakat di sini toleransi beragamanya sudah sangat baik. Saya di sini serasa tinggal di rumah sendiri,” ujar Gilang saat berbincang dengan detikcom di lokasi, 30 Maret 2017.

Gilang dan Dhani adalah muslim, masing-masing berasal dari Kebumen dan Madiun. Mereka ditugasi setahun mengajar di lingkungan yang mayoritas Nasrani. SMA tempat mereka mengajar adalah sekolah swasta Katholik. Namun mereka berdua tak merasakan ada diskriminasi hanya karena mereka menjadi minoritas di sini.

Setiap Jumat, Pihak sekolah mengosongkan jadwal mengajar untuk mereka agar mereka bisa menunaikan salat Jumat. Bahkan kadang-kadang mereka juga memimpin doa secara Islam dalam pertemuan guru di sekolah ini.

Di teras rumah orang tak jauh dari bukit ini, Dhani menceritakan bahwa kabar-kabar dari Jakarta kadang malah membikin suasana tidak enak. Isu yang rawan menjurus ke kebencian SARA di Pilgub DKI 2017 seakan membuat mereka berdua ingin tutup telinga serapat-rapatnya.

“Justru kadang kalau di sini agak takut melihat televisi. Justru kami menjauhi televisi, berita-berita internet,” kata Dhani yang berkemeja putih bermotif sulur ini.

Kata dia, sejak akhir tahun lalu penduduk memang bisa mengakses internet setelah menara BTS Telkomsel didirikan, meski sinyalnya belum sekencang di Jakarta. Arus informasi dari Ibu Kota Negara bisa mengalir ke desa yang sejuk ini.

Belum lagi ditambah siaran berita dari stasiun televisi. Televisi nasional juga menyajikan warta-warta Jakarta-sentris. Berita-berita Pilgub DKI dengan segala persaingan sengitnya juga masuk ke Lahurus.

“Kalau lihat di TV itu ada berita Pilkada DKI itu, malah jadi pusing itu,” ucap Dhani serius.

“Wah, mending nggak nonton TV saja kalau di sini,” imbuh Dhani diakhiri tawa.

Gilang dan Dhani tinggal indekos di rumah Tetua Adat Nai Lasiolat, Wilhelmus Atamanek. Kini mereka sudah menjalani enam bulan dari setahun masa tugasnya. Penerimaan warga setempat membuat mereka tenang di zona toleran.

“Yang dibicarakan di media-media (soal persaingan politik berbau SARA) akhir-akhir ini, tidak terjadi di sini. Di sini baik-baik saja, tidak ada konflik karena perbedaan. Kalau ada, kami sudah nggak di sini,” kata Dhani sambil tersenyum.

Mereka berdua juga menghormati adat-istiadat di sini. Bila hendak melakukan aktivitas ke tempat-tempat baru, biasanya mereka meminta izin dulu ke masyarakat setempat. (detik.com)

Komentar ANDA?