Oleh: Robert Bala
Ditahannya NR dan AB karena terjerat kasus narkoba, tentu sangat cukup miris. Hal itu bukan karean dikaitkan dengan ayahnya Aburizal Bakrie dan posisi Ardi sebagai CEO TV One. Juga bukan karena ia merupakan pendiri Komite Olahraga Beladiri Indonesia (KOBI). NR juga bukan menjadi perhatian karena merupakan public figure. Memang hal-hal seperti itu membuat kasus yang melilit mereka lebih mendapatkan perhatian daripada kasus serupa yang melanda orang lain.
Yang lebih penting untuk dianalisis, sekadar menanggapi alasan klasik yang selalu dikemukakan orang saat tertangkap. Mereka mengungkapkan bahwa ada tuntutan kerja yang sangat banyak. Karena itu mereka mengonsumsi narkoba agar tenaganya tetap (tampak) fit.
Bila alasan klasik di atas terpaksa diterima sebagai ‘pembenaran’, maka yang jadi pertanyaan penting adalah: mengapa rasa lelah dan sakit harus disangkali dengan mengonsumsi narkoba? Apakah menghindari rasa lelah dan sakit merupakan cara terbaik agar target pekerjaan itu tidak terganggu?
Jawaban atas pertanyaan ini akan bisa ditemukan kalau kita mendalami sedikit tentang arti ‘lelah’. Lelah (fatigue) bisa didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja. Hal ini disertai rasa letih dan lemah.
Reaksi lelah ini tentu bukan sebuah kebetulan. Secara fisiologis, tubuh manusia dirancang sedemikian rupa sehingga dapt melakukan tugasnya dengan efisien. Setelah mencapai intensitas dan durasi tertentu, tubuh memerlukan istirahat.
Sakit sementara itu adalah reaksi tubuh terhadap penyakit. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan lelah, demam, pegal-pegal, atau penghilangan yang buram serta tekanan daraah yang tidak normal dan jantung berdebar kencang.
Yang jadi pertanyaan: apakah lelah dan sakit adalah sesuatu yang tidak baik? Banyak orang (seperti NR dan AB) melihat kekelahan dan rasa sakit sebagai sesuatu yang negatif. Karenanya maka alterantif yang ditawarkan adalah mencari ‘suplemen’ yang ternyata jenis yang mengalabui.
Dikatakan demikian karena hadirnya narkoba akan menimbulkan semangat dan kekuatan baru. Yang terjadi sebenarnya kekuatan baru. Narkoba misalnya hadir untuk mengganti neotransmitter (zat kimia yang membawa pesan) pada sel neuron pada otak. Zat depresan dapat menekan rasa sedih, zat stimulan bisa membuat seseorang tiba-tiba senang serta meningkatkan kemampuan otak dan otot.
Hal yang paling umum adalah melalui kehadiran stimulan. Stimulan menaikkan kegiatan sistem saraf simpatetik, sistem saraf pusat (CNS), atau kedua-duanya sekaligus. Beberapa stimulan menghasilkan sensasi kegirangan yang berlebihan, khususnya jenis-jenis yang memberikan pengaruh terhadap CNS.
Hak Lelah dan Sakit
Dalam arti yang paling sederhana, kehadiran narkoba akan menghadirkan kegembiraan dan semangat semu. Orang ‘seakan-akan’ bersemangat. Padahal sebenarnya merupakan daya mengakali reaksi tubuh yang alamiah. Di sini sebenarnya orang mengingkari hak tubuh untuk lelah dan sakit. Sebuah hak yang bukan saja menuntut untuk dipenuhi tetapi ia sebenarnya merupakan ‘alarm’. Ia meningatkan kepada pemilik tubuh agar mengambil waktu untuk beristirahat. Hanya dengan demikian tubuh akan pulih kembali. Sel-sel dalam tubuh perlu digantikan. Kehadiran sel baru akan memberikan semangat dan efektivitas baru.
Bertolak dari pengertian ini maka tidak bisa diterima alasan NR dan AB atau siapa saja yang menggunakan narkoba hanya karena merasa lelah dan sakit. Di sana terjadi kekeliruan besar untuk tidak disebut kekeliruan fatal. Disebut demikian karena alarm yang diberikan oleh tubuh melalui rasa lelah dan sakit mestinya disyukuri. Setiap orang yang ‘waras’ malah akan berterima kasih karena tubuh memberikan ‘early warning system’ atau sistem peringatan dini yang diinformasikan oleh tubuh. Dengan segera dilakukan tanggapan berupa beristirahat.
Bila orang tidak menghargai sistem peringatan dini dari tubuh maka bisa dipastikan bahwa rasa sakit bisa berkembang menjadi penyakit. Sakit dan penyakit dua terminologi yang berbeda meski saling berkaitan. Sakit masih merupakan reaksi tubuh terhadap penyakit. Sementara itu penyakit adalah kondisi buruk pada organ atau bagian tubuh tersenteu yang disebabkan oleh mikro organisme berbahaya seperti bakteri, virus, luka, ketidakseimbangan kimiwai dalam tubuh, terkena racun, dan munculnya sel yang tidak sempurna.
Dalam arti ini, rasa lelah atau sakit merupakan reaksi dini yang mengingatkan tubuh bahwa apabila ia tidak mengambil waktu untuk beristirahat, maka kondisi rasa sakit itu bisa menjadi penyakit. Demikian rasa lelah bila tidak diterima (tetapi disangkali) maka cepat atau lambat akan hadir sebagia malapetaka. AB dan NR tentu merasakan (semoga saja) kondisi ini saat menjadi pesakitan polisi. Rasa menyesal (moga-moga) karena telah menyangkali tuntutan tubuh untuk lelah.
Bahkan bukan itu saja. Konsumsi narkoba kerap membuat orang terlalu bersemangat melampaui hal yang wajar. Mengikuti (atau mendengar postingan NR) beberapa bulan terakhir melalui medsos menunjukkan adanya hal yang aneh dan berlebihan. Memang seorang public figure juga seperti manusia. Ia punya hak untuk berekspresi. Tetapi apa yang dilakukan bisa saja berada di luar batas yang wajar yang membuat orang bertanya-tanya.
Pada sisi lain, kalau melihat dari sisi keberlimpahan kekayaan, maka mestinya AB dan NR tahu bahwa waktu yang terbaik kini adalah ‘beristirahat’ bersama keluarga. Tidak ada yang bisa menyangkali bahwa kekayaan yang mereka miliki bisa untuk beberapa genenrasi mendatang (sementara orang lain malah berjuang untuk sesuap nadi di tengah pandemi ini). Karena itu kalau NR dan AB mengonsumsi narkoba agar terus ‘fit’ dalam pekerjaan, maka pertanyaanya, untuk apa kerja? Apakah kerja demi kerja? Apa yang dicari di dunia saat ini kalau nyatanya ia sudah punya lebih dari cukup.
Tetapi tidak ada manfaatnya terus bertanya. Yang paling penting adalah kembali mengingat bahwa rasa lelah danrasa sakit adalah reaksi ‘positif’ tubuh yang menginformasikan kepada otak akan ketidakberesan secara fisik dan psikis. Informasi itu akan menjadi positif ketika orang menanggapinya dengan beristirahat. Itu adalah tanda kewarasan, berfungsinya akal sehat, dan kematangan diri.
Sebaliknya, mengonsumsi narkoba adalah sebauh reaksi ‘negatif’. Disebut demikian karena tuntutan istirahat ditanggapi dengan memberikan ‘elemen’ untuk ‘menyegarkan tubuh’. Hasilnya tentu bukan saja mengibuli diri sendri tetapi sebaagi publik figur, segala yang dibangun akan runtuh. Malah apa kata dunia bila seorang pemilik TV swasta terjerumus dalam hal ini? Apa yang ia mau wartakan melalui medianya? Kekosongan diri, ketaksanggupan mengontrol diri?
Rasa kecewa ini akan terobati kalau mulai sekarang AB dan RN menyadari bahwa ternyata lelah dan sakit itu penting. Ketika orang masih mengalami itu, maka ia merupakan manusia sehat dan normal. Sebaliknya bila ia tidak rasa sakit dan lelah lagi, maka apakah ia manusia yang normal atau sebaliknya?
========
*) Robert Bala. Penulis buku INSPIRASI KEHIDUPAN, Makna di Balik Covid-19 (segera terbit di Kanisius Jogyakarta).