ADONARA. NTTsatu – Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Nusa Tenggara Timur (NTT), Bruno Kupok mengatakan, garam di daerah ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi industry rumah tangga yang berprospek sangat baik. Namun dari sejumlah kabupaten yang memiliki potensi itu, hanya kabupaten Sabu Raijua yang serius mengembangkan usaha ini.
“Kita sudah dorong pemkab melalui berbagai kegiatan yang digelar, namun dukungan pemkab untuk pengembangan garam rumah tangga ini masih sangat minim. Pemkab yang menyambut baik dan mengupayakan ini hanya Kabupaten Savu Raijua,” kata Bruno Kupok kepada wartawan di Adonara, Flores Timur, Senin, 18 Mei 2015.
Bruno mengatakan, usaha industri garam rumah tangga di Sabu Raijua pada awalnya hanya seluas 20 hektar. Namun karena produksi dan kualitasnya cukup baik, maka sudah ditambahkan luas lahan hingga kini mencapai 100 hektar. Ini menunjukkan keseriusan Pemkab dalam membantu masyarakatnya melalui usaha industri garam rumah tangga dimaksud.
Dikatakannya, dukungan pemerintah kabupaten (Pemkab) terhadap industri kecil terutama produksi garam rumah tangga melalui teknologi geomembran masih sangat minim. Buktinya, dari enam kabupaten yang sudah mendapat sentuhan produksi garam rumah tangga, hanya Kabupaten Sabu Raijua yang menambah luas lahan.
Bruno mengatakan, hingga tahun 2014 lalu sudah ada enam kabupaten yang sudah memproduksi garam rumah tangga melalui teknologi geomembran, yakni Flores Timur, Sikka, Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Kota Kupang. Untuk tahap pertama, dengan teknologi yang digunakan dapat dimanfaatkan di atas lahan seluas 50 hektar.
Dia menegaskan, industri garam rumah tangga menggunakan teknologi geomembran menghasilkan garam berkulitas siap pakai. Selain memproduksi garam yang berkulitas, teknologi geomembran memproduksi garam lebih banyak dan cepat dari cara tradisonal. Untuk sementara, produksi garam rumah tangga belum diekspor. Fokus pemerintah saat ini untuk memenuhi kebutuhan dalam daerah sendiri. Dengan luas lahan sekitar 50 hektar, dalam setahun bisa menghasilkan 120- 130 ton garam. Namun, harganya sedikit lebih mahal dari produksi secara tradisional.
Pada kesempatan itu Bruno menyampaikan, setiap tahun Pemerintah Provinsi melalui APBD NTT mengalokasikan dukungan dana untuk pengembangan industri garam rumah tangga melalui teknologi geomembran di dua kabupaten. Tahun ini, akan dikembangkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Belu. Keterbatasan lokasi pengembangan garam industri ini disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.
Dana yang dibutuhkan untuk mendatangkan teknologi geomembran itu sekitar Rp 350 juta. Memang harganya fleksibel karena disesuaikan dengan nilai kurs, tapi dalam konteks NTT nilai untuk mendatangkan teknologi geomembran cukup besar.
Ia menambahkan, untuk garam industri berskala besar terutama di Kabupaten Nageko dan Kabupaten Kupang sudah ada titik terang. Ada dua investor garam yang saat ini akan melakukan aktivitas yaitu PT. Cheetam Salt dan PT. Garam Indonesia.
Sesuai ketentuan yang berlaku, tanah yang tidak dikelola termasuk perusahaan yang memegang Hak Guna Usaha (HGU) tapi tidak memanfaatkannya dalam jangka waktu lama, negara akan mengambilnya. Demikian juga dengan tanah sengketa seperti di Mbay, Kabupaten Nagekeo yang menjadi lokasi pengembangan garam industri. Bahkan luas lahan yang dibutuhkan investor pun sudah hampir rampung untuk diselesaikan permasalahannya.
Anggota DPRD NTT dari Fraksi Gerindra, Kasintus P. Ebu Tho menyampaikan, kualitas garam di daerah ini sangat bagus. Namun sampai sekarang belum bisa dikembangkan secara besar- besaran sebagai penyangga produksi garam nasional, karena permasalahan status tanah.
Karena itu, pemerintah hendaknya lebih antusias untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan, sehingga pengembangan produksi garam berskala besar bisa segera diwujudkan. (iki)