NTTsatu.com – Pastor Marcelito Paez, 72, ditembak oleh orang tak dikenal pada malam hari tanggal 4 Desember saat sedang berkendara di kota Leonardo, Nueva Ecija. Dia meninggal tiga jam kemudian di rumah sakit setempat.
Orang-orang bersenjata membunuh seorang imam Katolik berusia 72 tahun di pulau Luzon, Filipina, pada 4 Desember, sehari setelah polisi membunuh seorang pastor yang mereka anggap sebagai anggota komunis Tentara Rakyat Baru.
Orang-orang tak dikenal menembak mati Pastor Marcelito Paez sekitar pukul 8 malam saat dia mengemudi di kota San Leonardo, provinsi Nueva Ecija, 180 kilometer timur laut Manila. Dia meninggal hampir tiga jam kemudian di sebuah rumah sakit setempat.
Serangan tersebut terjadi beberapa jam setelah Paez, seorang pensiunan pastor Keuskupan San Jose dan seorang anggota dewan nasional Misionaris Pedesaan Filipina (RMP), memfasilitasi pembebasan tahanan politik di Cabanatuan, ibukota provinsi tersebut.
RMP adalah organisasi para imam dan umat awam nasional, antar-keuskupan dan antar kongregasi yang bekerja sama dengan petani dan masyarakat adat. Paez juga merupakan koordinator Kelompok Luzon Pusat.
Uskup Keuskuoan San Jose, Roberto Mallari, dan klerus lainnya mengecam pembunuhan tersebut dan menuntut keadilan bagi Paez yang telah menjadi imam selama 33 tahun dan telah pensiun pada tahun 2015.
Dalam sebuah pernyataan, Uskup Mallari mengatakan bahwa Paez pernah memimpin komisi keadilan dan perdamaian di keuskupan tersebut, sehingga dia dapat berhubungan dekat dengan pekerja dan petani miskin.
Serangan terhadap Paez menyusul pembunuhan Pastor Lovelito Quinones dari King Glory Ministry pada tanggal 3 Desember di kota Mansalay, Mindoro Oriental, hampir 800 kilometer barat daya Manila.
Kepolisian mengatakan bahwa mereka membunuh Quinones dalam baku tembak, memberi dia cap sebagai anggota Tentara Rakyat Baru (NPA).
Keluarga dan kritikus menolak tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa polisi menyembunyikan pistol setelah menembak Quinones hanya lima menit dari tempat tinggalnya. Tes parrafin dilakukan terhadap korban dan hasilnya negatif, menurut Christina Palabay, direktur eksekutif kelompok hak asasi manusia Karapatan. Tes parrafin dilakukan pada tangan tersangka, yang kemudian dilanjutkan tes kimia untuk memeriksa residu bubuk pistol.
Cap Teroris
Serangan terhadap Paez adalah pembunuhan ketiga terhadap kaum religius dalam beberapa minggu. Orang-orang bersenjata menembak mati pastor Perfecto Hoyle dan meletakkannya di United Church of Christ di Filipina pada 16 November, di Jabonga, Agusan del Norte.
Duterte mengakhiri perundingan damai dengan Front Demokratik Nasional (NDF), gerakan kiri bawah tanah, pada 23 November, dengan mencap Partai Komunis Filipina (CPP) dan kelompok NPA sebagai “teroris”.
Presiden juga mengancam akan mengejar kelompok aktivis hukum. Juru bicaranya, Harry Roque, mengatakan kelompok dan individu yang dicurigai “bersekongkol” dengan gerakan bawah tanah akan dimasukkan sebagai target.
Duterte kemudian mengatakan kepada tentara bahwa mereka dapat menembak warga sipil yang tidak bersenjata jika mereka merasa terancam. Dia menjanjikan perlindungan hukum militer dari kasus-kasus hak asasi manusia, janji yang sama ditawarkan kepada sebuah pasukan polisi yang telah membunuh hampir 4.000 pecandu dan bandar yang dicurigai.
Paez dikenal sebagai aktivis. Seorang mantan pastor paroki, dia pernah memimpin Aliansi Pusat Luzon untuk Filipina yang Berdaulat, yang berkampanye untuk menghapus pangkalan militer AS di Central Luzon dan dibagian lain negara ini.
Pada hari dimana dia terbunuh, Paez telah memfasilitasi pembebasan tahanan politik Rommel Tucay, koordinstor kelompok tani yang ditangkap pada bulan Maret tahun ini oleh tentara.
Pastor Oliver Castor, juru bicara kantor nasional RMP, mengatakan kepada ucanews.com bahwa serangan Duterte terhadap pembangkang politik mengikuti pola tindakan kerasnya terhadap para pecandu dan bandar narkoba yang dicurigai.
“Ini adalah pembunuhan sistematis yang diarahkan pada kelompok penduduk tertentu. Tahun lalu, targetnya adalah pengguna narkoba; kali ini, kaum kiri.”
Melabeli organisasi masyarakat dan pendukung mereka, termasuk orang-orang gereja, sebagai kaum kiri dan destabilisir “secara mengerikan mengingatkan pada tahun-tahun pemerintahan militer Marcos.” Kata Castor
Protes
Gereja meminta dukungan rakyat, imam dan kelompok agama untuk bergabung dalam sebuah demonstrasi di pagi hari pada tanggal 5 Desember untuk menuntut keadilan bagi Paez, yang juga anggota kelompok tersebut.
“Paez dikenal sebagai advokat hak asasi manusia, perdamaian dan keadilan tidak hanya di keuskupannya tapi juga di negara ini,” kata Nardy Sabino, sekretaris jenderal organisasi tersebut.
“Kami mengutuk dengan cara yang paling keras terhadap tindakan pengecut dan brutal terhadap orang-orang gereja,” kata Sabino. “Kami mendesak pemerintah Duterte untuk melakukan penyelidikan menyeluruh dan meminta pertanggungjawaban pelaku.”
Kelompok tersebut mencantumkan 31 pekerja gereja yang dibunuh sejak tahun 2000.
Tiga belas imam telah dibunuh sejak almarhum Ferdinand Marcos meluncurkan kediktatorannya sampai berakhirnya pemerintahan Aquino pada 2016, kata Sabino. Seperti Paez, semua imam yang terbunuh, mereka tinggal dan bekerja di masyarakat miskin dan comunitas akar rumput. (ucanews.com/bp)