Itulah Golkar…

0
580

Oleh: Robert Bala

Keputusan Golkar mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo sebenarnya bukan hal baru yang mengejutkan. Kalau tidak berubah mengikuti arah angin politik maka itu bukanlah Golkar namanya.

Pada pilpres 2014, Golkar bersama Prabowo karena ingin mendapatkan presiden yang kuat dan berkualitas (Prabowo). Artinya Joko Widodo waktu itu dianggap sebaliknya (kurang kuat dan kurang berkualitas). Sebagai konsekuensi, Golkar berada di luar kabinet di tahun pertama. Tetapi di tahun ke-2, 2016, Golklar berhasil masuk kabinet yang dianggapnya kurang kuat dan kurang berkaulitas itu. Golkar, yang penting berada dalam kekuasaan.

Pada periode kedua Jokowi, Golkar tentu sudah melihat realitas politik. Ia pun memilih jalur yang lebih aman. Ia bergabung dengan PDIP, PPP, NASDEM, Hanura, PKB, dan PKPI mendukung Jokowi. Banyak orang hingga yang tidak paham politik (seperti penulis) pun tahu bahwa niscaya Prabowo menang berhadapan dengan aneka keberhasilan Jokowi. Karena itu kalau Golkar memilih Jokowi kali ini bukan karena ia pula strategi politik cerdas hal mana dipelajari selama masa jayanya di masa lampau. Golkar hanya mengikuti realitas politik yang memberinya keyakinan akan menang. Itulah Golkar.

Kali ini, pasca akan selesainya Jokowi, Golkar pasti akan memilih opsi yang paling realistis. Awalnya ia seakan menggebu-gebu dengan menghadirkan Airlangga Hartarto sebagai capresnya. Publik meski ragu-ragu tetapi coba ikut percaya, siapa tahu Golkar berubah menjadi lebih strategis karena itu sudah lahir dalam Munas Golkar 5/6/23. Kalau sudah Munas maka pasti itulah yang diperjuangkan. Karena itu di mana-mana kader Golkar menyertai dalam baliho mereka: Airlangga Presiden.

Tetapi baru dua bulan (atau tepatnya dua bulan lewat sedikit), Golkar sudah berubah arah. Golkar sudah ‘layu sebelum berkembang’ karena Arilangga telah memilih Prabowo sebagai capres. Banyak orang yang tidak terima tetapi perlahan mereka pun tidak galau kelamaan. Mereka sadar bahwa itulah Golkar. Kalau tidak berubah(-ubah) maka itu bukan Golkar. Sebaliknya kalau berubah ya itu Golkar.

Publik lalu berharap. Sebagai partai besar, dengan ‘dempet’ pada Prabowo, minimal Golkar masuk dalam perhitungan. Dengan lebih awal deklarasi dukungan, lebih lagi setelah PKB keluar dari koalisi, maka Golkar yang berpengalaman dan sangat mumpumi bakal mengambil kursi Wapres. Peta politik akan lebih kuat karena Gerindra yang belum pernah menjadi pemenang, dan Prabowo yang terkesan kuat dan sangat berkualitas (katanya), tetapi begitu ‘termakan’ oleh politik identitas. Janji mendatangkan Habib Rizieq (yang saat itu masih di Arab Saudi) merupakan hal yang paling nyata. Contoh lain betapa Prabowo (yang katanya strategis) begitu percaya pada isu ‘murahan’ lewat Ratna Sarumpaet.

Artinya dengan kehadiran Golkar maka ia mestinya menjadi pilar utama yang mendukung Prabowo. Dengan demikian Prabowo yang sudah menjadi ‘murid hebat’ dari Jokowi dan telah berubah tidak kembali lagi ke jalan yang salah. Singkatnya, kalau Prabowo didukung oleh partai berpengalaman seperti Golkar maka itu ‘mantap sudah’.

Tetapi di Sabtu 21/10/23, publik heran dengan penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Ia dipilih dan ditetapkan oleh parpol paling hebat selama orba. Publik tentu heran bukan karena penetapan itu tetapi sudah menduga sejak Mahkam Keluarga (eh maksudnya Mahkama Konstitusi) mengubah kriteria capres dan cawapres yang berumur 40 tahun atau sudah berpengalaman menjadi Kepala Daerah yang dipilih. Publik berharap meski sudah terlanjur ditetapkan seperti itu tetapi Golkar sebagai partai paling waras tidak akan menetapkannya dalam Rapimnas 21/10. Tetapi justru Golkar yang merasa bakal Prabowo dan Gibran menang dalam Pilpres 2024 mendahului pengumuman. Publik tentu sedikit heran tetapi dengan cepat menyadari bahwa kalau tidak ada keputusan seperti itu maka itu bukan Golkar. Golkar ya memang ‘itu sudah’.

Bukan Kebodohan

Bagi publlik yang masih punya sedikit rasa akan kebenran politik bisa saja heran dan ‘gemes’ dengan pilihan Golkar yang bukan saja sekarang tetapi minimal telah menjadi cirinya setelah lengsernya Soeharto. Banyak orang yang tentu karena cinta, bisa saja sempat keluar kata-kata yang tak sopan termasuk menilainya sebagai sebuah kebodohan.

Kalau orang berpendapat seperti itu bisa saja merupakan ungkapan penyesalan. Tetapi juga diungkapkan oleh orang-orang yang tak paham politik. Mereka pikir dalam hidup hanya ada hitam dan putih sebagai pembeda. Tidak. Justru dalam politik lebih banyak abu-abu sampai kita bisa berani mengatakan, banyak sekali terjadi kebodohan. Minimal mengingatkan kita akan kata-kata Napoleon Boneparte “In politics, stupidity is not a handicap” (“Dalam politik, kebodohan bukanlah sebuah cacat.”

Kalau semboyan di atas sudah diterima dalam politik maka semestinya kepada masyarakat yang tidak paham politik kita mau katakan bahwa itulah memang dalam politik. Kalau demikian maka yang dilakukan Golkar itu bukan sesuatu yang cacat tetapi itulah politik.

Lalu apakah dengan demikian publik harus juga menyerah? Apakah publik terpaksa harus menerima apa yang dikatakan oleh Niccolo Machiavelli bahwa Politics have no relation to morals bahwa politik tidak ada kaitan dengan moral? Artinya yang akan diterima adalah hal-hal yang di luar jangkauan dan harus menerima apa adanya? Tentu saja tidak seperti itu. Dalam pilpres sebenarnya orang yang paling rendah berpendidikan hingga para profesor memiliki hak yang sama yaitu satu suara per orang. Di situlah letak kekuatan untuk menentukan suaranya kepada siapa akan dipilih.

Pada posisi ini, pilpres dan pileg pada 14 Februari menjadi sangat penting. Dua momen penting. Artinya bila andalan capres atau cawapres yang terpilih nanti tidak seperti didambakan, minimal kandidatnya untuk legislatif bisa lolos. Itulah realitas politik yang mestinya disadari terrutama oleh parpol dan barangkali yang terpikir oleh PDIP. Ia tidak memilih ‘jalan mudah’ dengan sekadar ‘kawin’ dengan Prabowo karena itu akan membuatnya tenggelam. Ia masih berpikir tentang legislatif yang justru menjadi kekuatannya.

Hal seperti inilah yang barangkali tidak terpikir oleh Golkar, partai terhebat selama Orba. Baginya yang penting meraih kekuasaan Presiden sementara suara di legislatif itu urusan yang ‘kesekian’. Kalau demikian maka di sinilah akan membenarkan apa yang menjadi judul tulisan ini. Bila di Pilpres nanti Golkar menang melalui Prabowo-Gibran, tidak bearrti ia akan lolos di legislatif. Publik akan terlampau kuat ingat akan Golkar yang ‘itu sudah’. Tetapi bila dambaan kemenangan Pilpres tidak seperti yang diharapkan, maka para petinggi Golkar (semestinya) akan sadar. Masyarakat sementara itu tentu tidak terkejut karena mereka hanya akan mengatakan bahwa itu memang Golkar…

======

Penulis adalah : Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facultad Ciencia Politica, Universidad Compolutense de Madrid – Spanyol.

Komentar ANDA?