NTTSATU.COM — LEMBATA — Setahun lalu, 21/2/2022, wafatlah tokoh besar Lembata, Maksi Hadung Boleng. Seorang figur yang selalu hadir dalam setiap ritual adat di Lewoleba. Sebuah pengakuan akan ketokohannya.
Secara pribadi, nama itu sudah akrab sejak masa kecil. Di era tujuh puluhan, dia berkeliling sebagai mantri kesehatan (bersama Mantri Niko dan bidang Antonia serta banyak petugas kesehatan) berjalan dari desa ke desan membawa peralatan suntik untuk melaksanakan cacar. Banyak orang tua yang masih membekas cacar itu di bahunya sebagai efek dari cacar.
Secara pribadi saya bertemu dengannya dalam ritual pemindahan kubur bp Pius Kedang Tolok dari Lamahora ke Lerek di tahun 2012. Maksi Hadung meski sudah sepuh, tetapdengan gesit mengambil tulang-tulang di kubur lalu menyusunnya di sebuah kain putih dan di atasnya ditanam pohon pisang sebagai tanda bahwa meski tulang belulang dipindahkan tetapi tempat itu tetap menghidupkan.
3 November 2020 saat peletakan batu pertama, tidak ada nama lain yang jadi referensi selain Maksi Hadung Boleng. Ia datang dengan team adatnya. Dengan songko hitam dia komat-kamit sambil memberi tanda salib di atas 3 batu. Lalu ia menyerahkan parang kepada Magun Kapitan untuk memotong kepala babi hanya dengan satu ayunan. Dan terjadi. Itu tanda tidak ada halangan apapun terhadap tanah itu baik masa lampau maupun masa depan.
Atas semua jasa yang telah ia berikan baik kepada saya secara pribadi maupun kepada Yayasan, maka di hari kematiannya. Perwakilan guru hadir. Hanya sebuah karangan bunga bisu tetapi ia merepresentasikan ucapan terima kasih Yayasan Koker Niko Beeker. Dr Wilem Ola Rongan, putera Lamahora yang sekaligus pengurus Yayasan Koker hadir secara fisik memberikan penghormatan mendampingi para guru dan siswa SMA SKO SMARD.
Tanah untuk Bersama
26/10/2021, atau 5 bulan sebelum wafatnya, saya berkesemapatan mewawancarainya jarak jauh. Saya merasa perlu mengambil data dari figur yang saya kagumi ini.
Di antara banyak tema, ia menyinggung tentang sikapnya terhadap tanah di daerah Lamahora dan yang secara hak ulayat berada pada kuasanya: “Sebagai penerima kuasa hak ulayat, saya tidak rakus menguasai tanah-tanah demi keuntungan pribadi. Saya justru ada demi membagi-bagi kepada yang butuhkan karena orang perlu olah tanah untuk hidup”, demikian tandasnya.
Kata-kata Maksi seperti ini bukan isap jempol saja. Maksi terkenal sangat dermawan. Kepada siapa saja ia merekan tanah-tanah yang menjadi hak ulayat sehingga di masa tuanya ia tidak memiliki tanah pribadi yang luas seperti banyak orang yang ingin hidup dari jual tanah. Maksi tidak seperti segelintir orang yang baru pada era 60-a menempati wilayah Lamahora dan Wangatoa lalu mengklaim diri sebagai tanah warisan:
“Tanah warisan di mana? Tanah ulayat dimana? Kalau ada orang yang klaim itu tanah ulayat maka hak itu pada Hadung Boleng. Yang lain mungkin punya tanah warisan tetapi di Ile Ape atau Kedang sana. Di Lamhahora dan Wangatoa itu hak ulayat kalau disebut seperti itu ada pada Hadung Boleng”, demikian ungkapnya pada wawancara tersebut.
Lalu bagaimana kalau ada yang saling mengklaim menjadi pemilik tanah? Dengan terbata-bata, ia ungkapkan bahwa kalau ada masalah ke pengadilan: “Maju saja ke pengadilan toh?”. Itu sikapnya yang membuat saya terdiam.
Dari Tanah Kembali ke Tanah…
Ulang Tahun pertama wafatnya Opa Maksi justru di vesper memasuki Rabu Abu. Momen di mana semua orang Katolik menerima abu yang dibakar dari daun palem yang diberkati setahun sebelumnya di hari Minggu Palem. Sebuah simbol yang begitu mendalam.
Pertama, Maksi Hadung Boleng sangat dihormati bukan karena menguasai tanah tetapi karena membagi tanah. Ia tidak pernah jadikan tanah untuk hidup di atasnya. Jauh dari praktik yang bisa dibuat orang dengan memperlakukan orang yang mengelola tanah sebagai penggarap. Yang terjadi, banyak orang yang baru datang pada akhir 60an berlaku seakan-akan pemilik hak ulayat. Inilah teladan ‘opa Maksi’ yang tidak bisa terlupakan dan jadi pembelajaran luar biasa.
Karena sikapnya yang nan arif maka dalam setiap ritual adat, alm Maksi Hadung sebagai acuan. Ia hadir dengan mengenakan sarung, topi dari irisan daun koli dan kontas Rosario di lehernya sebagai ungkapan bahwa ia hanyalah orang yang diserahkan kebijaksanaan agar membuat orang bisa hidup.
Kedua, di masa tua hingga wafatnya, Maksi tetap menjaga kesehatan pikiran. Pusat kontrol ada di pikiran dan itu ia tetap jaga. Ketika mendengar orang mengklaim di atas klaim sebagai pemilik tanah, Maksi mengatakan hal yang sangat mengagumkan: “Kalau mau gugat-gugat saja toh ke pengadilan”, itu katanya tegas. Itu dikatakan oleh seorang sepuh yang saat wawancara sudah berumur 85 tahun (kalau tidak salah).
Kata-kata Maksi seperti ini membuat orang berdecak kagum terutama karena melihat orang yang (katanya berpendidikan) lebih memilih main hakim sendiri. Hal ini membuat kita ingat bahwa ternyata kebijaksanaan seorang Maksi Hadung masih terlalu mahal untuk sebagian orang.
Ketiga, ulang tahun kematian pertama yang terjadi di visper Rabu Abu tentu bukan sebuah kebetulan. Maksi yang wafat tepat setahun sebelumnya sebenarnya ingin menertawakan orang yang menganggap bahwa tanah dimiliki untuk diri sendiri dan untuk kekayaan diri. Mereka berjuang untuk mendaptkan ‘hak atas tanah’ yang bukan saja pengakuan karena merasa tanah sebagai warisan (padahal baru saja menempati tanah itu pada dekade 60an).
Sebagai seorang kristiani, Maksi Hadung justru mau memberikan pembelajaran bahwa ‘manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah). Ia sudah wafat setahun lalu dan kini tubuhnya perlahan menyatu dengan tanah untuk mengingatkan bahwa tanah adalah tempat tuju kita semua. Karena itu tidak ada pilihan selain merendah untuk bertemu tanah.
Inilah sebuah perayaan kematian yang sangat bermakna. Opa Maksi Hadung Boleng, terima kasih atas wasiatmu dan teladan bisumu. Wasiat dalam kata-kata dengan hasil rekaman yang masih tersimpan rapi saat ini. Tetapi teladanmu untuk tidak rakus dengan tanah.
=======
Robert Bala. Ketua Yayasan Koker Niko Beeker. Penyelenggara SMA SKO SAN BERNARDINO di Barat Pasar Lamahora – Lembata.