NTTsatu.com – Pastor John Djonga, imam aktivis di Papua yang diperiksa polisi pekan lalu terkait dengan tudingan kasus makar mengatakan, ia tidak akan takut untuk tetap setia menjalankan tugas pastoral di tengah rentannya tudingan yang bisa saja membawa ia ke penjara.
Ia menjalani pemeriksaan selama 4 jam dan ditanya sekitar 55 pertanyaan oleh dua polisi di Polres Jayawijaya pada Kamis, 25 Februari. Pastor ini dipanggil polisi setelah menghadiri upacara pemberkatan kantor Dewan Adat Papua di Wamena pada 15 Februari, di mana saat itu diresmikan pula kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua, sebuah organisasi pro kemerdekaan.
Pastor John sebelumnya menolak diperiksa, namun kemudian bersedia setelah berkonsultasi dengan pimpinannya Uskup Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar OFM.
Pastor yang menerima penghargan HAM, Yap Thiam Hien Award pada 2009 ini, mengatakan, pengalaman dipanggil polisi ini tidak akan membuatnya takut.
“Ini sudah menjadi tugas saya di daerah konflik seperti ini. Saya tidak akan gentar,” katanya kepada ucanews.com, 29 Februari.
Hadir dan ikut bergumul dengan masyarakat Papua, menurutnya, merupakan bagian dari panggilan dan upaya mewujudkan misi Gereja.
“Tidak mungkin saya diam berhadapan dengan fakta masyarakat mengalami ketidakadilan, mengalami kekerasan,” katanya.
Selama diperiksa pada, dia mengaku ditanya terkait alasan kehadirannya, pengetahuannya tentang dewan adat dan ULMWP, juga kaitannya dengan organisasi itu.
Dalam karya pastoralnya di Papua, imam kelahiran Manggarai Timur – Flores, NTT ini memang kerap berurusan dengan aparat keamanan.
Pada 2008, ketika ia gigih membela umatnya di pedalaman Keerom, perbatasan dengan Papua Nugini yang menjadi korban pencaplokan tanah dan hutan, suatu hari ia dicari oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan diancam ‘akan dikubur hidup-hidup sedalam 75 meter’.
Ia sempat diungsikan sementara waktu oleh para aktivis, namun kemudian ia kembali berjuang dan mendirikan sebuah lembaga HAM, Yayasan Teratai Hati Papua.
Pada 2012, ketika menjadi dekan di Arso-Kerom, dia kembali menjadi incaran aparat polisi, intel dan tentara, di mana ia dituduh bekerja sama dan mendukung gerakan Papua merdeka di hutan-hutan.
Aparat memang memiliki sejumlah bukti kuat, yakni catatan sambungan telepon yang rutin antara HP Pastor John dengan nomor-nomor yang oleh aparat diidentifikasi sebagai aktivis Papua Merdeka.
Bukti-bukti itu memang tidak terbantahkan. Tetapi, Pastor John lolos dari jerat tuduhan itu karena meminta aparat membuka juga daftar komunikasi teleponnya dengan aparat Polri, TNI, BIN, dan para pejabat tinggi di Jakarta.
“Sebagai pastor, kami ini berkomunikasi dengan semua pihak. Kami ini jembatan komunikasi dan dialog. Kami berusaha cari solusi”, katanya kala itu.
Kepada ucanews.com, ia menjelaskan, upayanya terlibat langsung dengan persoalan di Papua dan berada bersama masyarakat yang melawan penindasan adalah pilihan profetis Gereja.
“Jangan selalu mengaitkan upaya itu dengan politik,” katanya. “Jangan semuanya dilihat dari segi politik praktis. Melawan pelanggaran HAM adalah tanggung jawab saya sebagai pastor yang mewakili Gereja.”
Ia mengatakan, dirinya saat ini berharap agar warga Papua tidak perlu gentar memperjuangkan hak-hak mereka.
“Kita berjuang demi kebenaran dan keadilan,” katanya.
Ia menambahkan, tidak mungkin memilih diam ketika menjumpai ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya fasilitas publik yang sangat kurang, sementara sumber daya alam tanah Papua sangat kaya.
“Bangunan Puskesmas ada, tapi tidak ada obat. Sekolah ada, tapi tidak ada guru, apalagi fasilitas-fasilitas lain. Ini memperihatinkan dan mengundang saya untuk bersura,” katanya.
Mgr Leo Laba Ladjar yang ditemui ucanews.com pada Sabtu, 27 Februari menyatakan mendukung penuh perjuangan Pastor John.
“Sejauh menyangkut pembelaan terhadap hak-hak, nilai-nilai kemanusiaan, itu perjuangan Gereja,” katanya.
Soal kehadiran Pastor John dalam peresmian kantor dewan adat dan ULMWP, katanya, Pastor John hadir resmi sebagai pastor untuk memimpin ibadah sesuai permintaan.
“Ia diundang sebagai pastor untuk memimpin ibadat. Apa lagi judulnya jelas, Dewan Adat Papua yang sudah ada dan diakui. Karena itu, saya merasa sangat tidak keberatan apa-apa dengan kehadiran Pastor John,” ungkapnya.
Sementara itu, dari komunitas Gereja lain, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Babtis Papua, Pendeta Sokratez Sofyan Yoman mengatakan, Pastor John hadir sebagai hamba Tuhan yang melayani siapa saja, termasuk jemaat yang memperjuangkan Papua Merdeka.
“Karena Papua Merdeka itu hak. Kitab Suci tidak melarang Papua Merdeka,” ungkapnya kepada ucanews.com.
Kata Yoman, pemanggilan Pastor John, sebenarnya, mengganggu pelayanan semua Gereja.
“Polisi tidak hanya memanggil Pastor John Djonga, pihak Gereja Katolik, tetapi itu juga mengganggu Gereja Babtis. Gereja Babtis juga merasa dipanggil polisi. Polisi ganggu semua Gereja,” tegasnya.
Kata dia, dengan memanggil Pastor John sebagai saksi makar, negara berusaha mencampuri urusan Gereja yang independen, yang tidak tunduk terhadap otoritas pemerintah.
Ia menambahkan, pemerintah dan Gereja adalah dua institusi yang berbeda dari dasar dan sifatnya.
“Gereja berdiri atas otoritas ilahi dan kekal abadi. Gereja tidak akan pernah habis dan hancur,” tegasnya.
Natalius Pigai, tokoh Papua, yang juga komisioner Komnas HAM juga menyatakan, tokoh agama hadir di atas semua golongan.
“Sangat disayangkan kalau polisi memeriksa Pastor John sebagai partisan yang mengaitkan kehadirannya dengan kelompok tertentu. Ini seharusnya dihindari,” katanya.
Ia menyatakan, apa yang dilakukan Pastor John pada dasarnya sama dengan apa yang diinginkan negara, yakni membantu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
“Apalagi, perjuangan Pastor John sudah terbukti akuntabilitasnya, termasuk saat ia menerima penghargaan HAM,” katanya.
Sementara itu, Kapolda Papua, Paulus Waterpauw, pada pekan lalu menyatakan sejumlah pihak diinterogasi polisi karena ULMWP merupakan wadah kelompok yang berseberangan dengan pemerintah karena berupaya memisahkan Papua dari NKRI. Karena itu, jelasnya, keberadaan mereka tidak diizinkan.
Benny Mawel, Jayapura dan Ryan Dagur, Jakarta. (Sumber: ucannews.com)
=====
Foto: Pastor John Djonga (tengah) diminta keterangan oleh seorang polisi (kiri) dan kuasa hukumnya Muhamad Suhur Mauriyanto (kanan) di Papua, 25 Februari.2016