BETEMPAT Di Hotel Pelangi, Kupang, Jumat, 16 Oktober 2015 berkumpul para sastrawan dari 10 provinsi. Mereka hadir di Kupang dalam rangka mengikuti kegiatan Temu Sastrawan Mitra Praja Utama ke-10. Berbagai hal dibicarakan kaum sastrawan ini. Beberapa point penting diramu redaksi NTTsatu.com di bawah ini.
Sastra itu indah. Keindahannya memasuki relung-relung sanubari pembacanya. Sastra merupakan ungkapan berbagai pengalaman, pemikiran, semangat serta gaya hidup yang diilhami oleh berbagai latarbelakang kehidupan manusia. Pengungkapannya selalu mengandung unsur seni, imajinatif dan kontemplatif. Karena itu memahami sastra mesti memiliki kepekaan imajinatif agar dapat menerobos batas makna yang terungkap dalam hasil sebuah karya sastra.
Sastra sangat penting dalam membangun peradaban suatu bangsa, masyarakat dan manusia pada umumnya. Kehidupan bersastra dapat menembus batas atau sekat-sekat suku, agama, ras atapun golongan bahkan menembus batas negara.
Karena itu sastra perlu dilestarikan, dibudidayakan dan dipelajari sebagai bagian dari upaya peradaban manusia. Sastra harus tumbuh, hidup dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Sastra tidak boleh diabaikan, karena mengabaikan sastra sama artinya dengan mengabaikan keindahan, keluhuran dan nilai-nilai kejujuran.
Kreasi para sastrawan yang terwadahi dalam ajang Temu Sastrawan Mitra Praja Utama tentu merupakan salah satu momentum bangkitnya kehidupan bersastra. Melalu ajang ini, para sastrawan akan berkreasi melalui berbagai karya sastra seperti puisi, cerpen dan pementasan seni sastra lainnya.
Dengan mengusung tema “Sastra Meretas Perbedaan” menjadikan latar penciptaan sastra para sastrawan semakin bermakna sesuai dengan kondisi dan kehidupan masyarakat yang majemuk.
Temu Sastrawan Mitra Praja Utama sebagai wadah ekspresi sekaligus mempererat hubungan kekerabatan diantara para sastrawan. Melalui kegiatan ini dihaparkan terjadi pertukaran informasi serta latar perkembangan sastra bagi sastrawan Nusa Tenggara Timur dengan para sastrawan dari berbagai provinsi kelompok Mitra Praja Utama.
Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan ini adalah melestarikan kehidupan bersastra yang berlatar dari kekayaan daerah dan secara khusus menjalin kerjasama berkesenian diantara para sastrawan peserta Mitra Praja Utama, meningkatkan kualitas penciptaan sastra bagi para sastrawan dan meningkatkan aktivitas bersastra para sastrawan yang bersumber dari kehidupan lokal dan melakukan pertukaran informasi sentang fakta sosial yang ada di daerah sebagai dasar bagi terciptanya sastra yang semakin bermutu.
Dalam Seminar dengan tema “Sastra Meretas Perbedaan” menampilkan dua pemateri yakni Marsel Robot , dosen di Undana Kupang yang juga penyair dan eseist dengan makalahnya berjudul “Sastra dan Agama Kemanusiaan”. Pembicara lainnya, Yusri Fajar, dosen pada Fakultas lmu Budaya Universitas Brawijaya Malang juga sebagai Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa timur dengan materinya berjudul “Sastra(wan) dan Representasi Masyarakat multicultural”
Kedua nara sumber dengan banyak pengalaman di dunia sastra ini akhirnya mengakui kalau karya sastra itu lahir dari sebuah kejujuran nurani yang amat dalam. Sastra dan karya sastra tidak pernah berbohong tentang sesuatu yang dialami, dirasakan dan dihidupi oleh para sastrawan.
Kemudian dalam diskusi yang dipandu Frans Ola Wuran yang juga seorang sastrawan NTT, para sastaman juga mengamini kalau karya-karya sastra itu tidak pernah kedaluarsa oleh jaman. Karya-karya sastra yang dihasilkan para sastrawan selalu menghadirkan nilai-nilai lokal dalam karyanya.
Dalam kaitan dengan tema Sastra Meretas Perbedaan, Marsel Robot mengutip Harland Develand yang mengatakan, realitas keagamaan dan perbedaan budaya merupakan “setan baru” dalam jagad hidup kita. Salah satu unsur keragaman yang paling emosional memunculkan konflik adalah agama.
Filsuf sosial telah banyak membahas bahwa agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu. Isu-isu agama menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya.
Bahkan Jonathan Wifi dengan nada sinis mengatakan, “kita mempunyai agama hanya untuk membuat kita saling membenci, namun tidak cukup membuat kita untuk saling mencintai. Kalau agama berstatus instrument, maka agama sering dijadikan kargo untuk mengangkut kepentingan tertentu. Agama akhirnya, persis cairan racun yang dituangkan dalam cawan egoisme manusia yang fana dan karatan.
Kemudian Jusri Fajar mengatakan, masyarakat multicultural dengan pluralitas identitas dan entisitas yang dinamis banyak dipresentasikan dalam karya sastra. Narasi ketegangan dan kedamaian diartikulasikan oleh para sastrawan sebagai hasil pengamatan terhadap kontalasi dan dinamika manusia yang dipenuhi perpecahan di satu sisi dan kebersamaan dan kerukunan di sisi lainnya.
Konflik berlatar perbedaan etnik, agama dan aliran kepercayaan, stratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi yang menginspirasi dan menjadi pilihan tematik beberapa sastrawan menunjukkan kritik para sastrawan terhadap ketidak mampuan menerima perbedaan.
Semenara ketukunan di tengah perbedaan dikisahkan sastrawan untuk memprsentasikan harmoni sebagai dampak dari toleransi dan negosiasi antar budaya yang bisa dengan baik dilakukan. Pada konteks ini karya-karya sastra menjadi medium menyuarakan dan mengingatkan kebihnekaan, menyemaikan arti toleransi dan menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran serta sikap kritis sastrawan dengan publik.
Dalam jagad sastra, fenomena kontestasi dalam masyarakat multikulural mendapat perhatian sastrawan di berbagai belahan dunia.
Pada akhirnya, moderator diskusi, Frans Ola Wuran menyimpulkan, kasya sastra itu tidak pernah berbohong. Karya yang dituangkan kaum sastrawan adalah karya tentang sebuah realitas sosial masyarakat manusia secara jujur. Karena itu karya-karya yang lahir dari nurani yang jujur itu harus dihormati dan diterima sebagai sebuah bentangan kejujuran tanpa batas. (bonne pukan)
=====
Foto: Suasana seminar Sastrawan. Frans Ola Wuran (tengah) selaku moderator diapiti dua nara sumber Marsel Robot (kiri) dan Jusri Fajar (kanan)