*) Oleh Marsel Tupen Masan
GUGATAN moral para aktivis dengan menggunakan kata-kata “kematian hati nurani” memang sering terdengar dimana-mana. Seperti pedagang kaki lima kota Pekanbaru melakukan tahlian dan zikir (29 November 2012) untuk kematian nurani Walikota Pekanbaru karena menggusur PKL yang berjualan di taman kota.
Kalimat kematian hati nurani juga ditemukan dalam gugatan media massa atas pembunuhan wartawan kawakan Jamal Khashoggi (2018) di kantor Konsulat Arab Saudi Turki. Bahwa pembunuhan Khasoggi sebagai pembunuhan hati nurani.
Istilah kematian hati nuran ini memang, sering digunakan para aktivis atau organisasi pergerakan untuk menggugat kesewenangan dan arogansi kekuasaan.
Penggunaan kata kematian hati nurani sesungguhnya penggunaan kata-kata bermakna yang bersumber dari suatu peristiwa, untuk mengingatkan orang, kekuasaan sampai lembaga.
Upaya mengingatkan dengan melakukan gerakan politik sampai demonstrasi, adalah bentuk moral perlawanan yang dilakukan pada kemapanan struktural yang dirasakan menghambat evolusi normal pertumbuhan masyarakat sampai penyimpangan perilaku kekuasaan dalam pengindividuan kekuasaan untuk penguatan kepentingan.
Hambatan yang dirasakan ini dipandang sebagai kematian hati nurani, yang perlu dikembalikan dengan model mengingatkan agar kekuasaan kembali memiliki hati nurani. Oleh karena hati nurani merupakan suatu kesadaran moral, untuk membedakan mana benar dan mana salah untuk bertindak berdasarkan intuisi atau gerak batin yang dimilikinya.
Fungsi hati nurani yaitu sebagai pegangan, pedoman, atau norma untuk menilai suatu tindakan, apakah tindakan itu baik atau buruk. Oleh karena itu hati nurani berfungsi sebagai pegangan atau peraturan-peraturan konkret di dalam kehidupan sehari-hari dan menyadarkan manusia akan nilai dan harga dirinya. Dengan menggunakan hati nurani secara baik dan benar, maka setiap manusia akan menjalankan suatu tindakan berdasarkan norma– norma moral yang obyektif.
Dalam bahasa Latin, hati nurani diartikan “conscientia” yang artinya “turut mengetahui”. Hati nurani juga dimaknai cahaya hati, tidak terpisahkan dari iman untuk membedakan yang baik dan yang buruk, serta mengembalikan manusia ke jalan yang benar jika ia tersesat.
Dalam bahasa Inggris, hati nurani artinya consciece. Kalau kata consciece diterjemahkan balik maka artinya menjadi suara hati, kata hati atau hati nurani.
Berdekatan dengan kata conscience, ada kata conscious. Conscious artinya sadar, berkesadaran, atau kesadaran. Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya yaitu intuition. Intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin. Hati nurani adalah kemampuan atau fakultas yang membedakan apakah salah satu dari tindakan yang dilakukan itu apakah benar atau salah. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun dapat keliru.
Dengan demikian penggunaan kata-kata bermakna “kematian hati nurani”, penggunaannya harus sesuai dengan makna yang terkandung dalam kata-kata yang berkekuatan, sehingga dapat dipergunakan untuk menciptakan kebaikan bersama, mempengaruhi pikiran, merefleksikan kebudayaan dan membangun konflik serta damai.
Kata-kata yang memiliki kekuatan seperti ini, mempunyai kekuatan untuk menciptakan dan memberikan label atas pengalaman, mempengaruhi pikiran dan tindakan, mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dan merefleksikan kebudayaan. Dengan demikian penggunaan kata-kata kematian hari nurani adalah bentuk gugatan sosial masyarakat sebagai pesan-pesan kritik untuk menggugat moral politik para elite politik yang dipandang tidak mencerdaskan masyarakat dalam pembangunan (daerah), kering logika untuk menjelaskan kebijakan publik dan enggan menerima kritik. Biasanya penolakan atas kritik selalu bersumber pada orientasi perilaku kuasa yang cenderung arogan.
Dalam banyak hal, arogansi kekuasaan ini biasa dikembangkan dari praktek kekuasaan represif, yang hanya memiliki satu tujuan. Yaitu memenuhi kepenuhan diri bagi kekuasaan itu sendiri dengan membekukan ruang kebebasan melalui tindakan-tindakan intimidatif.
Dalam banyak teori dijelaskan seorang politikus atau pejabat publik yang baik adalah seseorang yang memiliki integritas, jujur, santun, tidak berbohong, rela dikritik, menghargai perbedaan pendapat, dan tidak mementingkan diri sendiri atau golongannya.
Keutamaan moral ini tidak sekedar menyangkut perilaku individual tetapi terkait dengan tindakan kolektif dalam pelaksanaan tugas jabatan atau kekuasaannya. Apabila dalam praktek, keutamaan semacam ini jauh dari harapan publik, maka sesungguhnya perilaku kekuasaan itu telah kehilangan roh dan karakternya dalam kematian hati nurani.
Hal ini bisa saja terjadi karena terkontaminasinya kekuasaan, baik dalam mengedepankan tujuan menghalalkan cara dalam setiap pengambilan keputusan, maupun pergeseran persepsi kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi dan kepentingan pribadi menjadi kepentingan umum.
Perilaku kekuasaan, kemudian direfleksikan sebagai kematian hati nurani adalah bentuk kritik sosial masyarakat. Kritik sosial merupakan bagian esensial dari masyarakat, dimana masyarakat dapat membangun sebuah komunikasi untuk melakukan kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam hal ini kritik sosial lebih banyak berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.
Dalam bukunya Mens en Kritick. Prof. Dr. R. C. Kwant secara tegas menempatkan kritik sebagai nilai dasar eksistensi kemanusiaan. Dimana kritik mempunyai sasaran dan norma, dan merupakan sebuah kemampuan untuk mengadakan penilaian atas nilai. Kritik sosial biasanya dihubungkan dengan perlunya suatu situasi ideal dan perilaku ideal (ideal conduct).
Apabila suatu kritik sosial ditujukan kepada seorang pejabat publik, maka yang dipermasalahkan adalah ada tidaknya high standards of performance. Atau pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan etos dan keutamaan moral. Sebenarnya kritik sosial selalu mengandung unsur positif, karena mendorong sesuatu yang terjadi dalam masyarakat kembali ke norma atau nilai yang dianut atau suatu kriteria yang dianggap wajar dan telah disepakati bersama.
Astrid S. Susanto mengatakan bahwa kritik sosial adalah penilaian ilmiah atau pengujian terhadap keadaan masyarakat pada suatu saat. Dikemukakan pula bahwa dalam bidang politik, istilah kritik sosial seringkali memperoleh konotasi negatif, karena diarahkan untuk mencari kelemahan-kelemahan pihak lain dalam pertarungan politik. Hal ini mengakibatkan substansi kritik sosial menjadi kabur.
Dalam banyak kasus, kritik sosial cenderung kehilangan maknanya karena pesan-pesan yang disampaikan oleh kritik sosial selalu diinterpretasi dalam formulasi pemahaman yang subyektif. Problem ini lebih merupakan kesulitan logis dalam eksposisi peran kritik karena kehadiran interest dalam memandang dan menerima kritik.
Kasus Flores Timur setidak-tidaknya menjadi potret buram matinya ruang kritik sosial oleh kematian hati nurani dalam kebablasan reformasi kita dewasa ini.
Salam Hormat, dari Niha Oneng Fatukoa, 25 Februari 2019