Oleh: Dr. Thomas Tokan Pureklolon, M.Ph., MM., M.Si
PENULIS, motivator, dan pengusaha dunia asal Amerika Serikat, Zig Ziglar, menulis hal menarik tentang kepribadian dalam kepemimpinan. Dalam bukunya, Tersenyum, Something Else to Smile About, Ziglar melukiskan, kepribadian memiliki kuasa untuk membuka pintu-pintu, namun karakterlah yang membuatnya tetap terbuka (2001:94).
Kepemimpinan yang berkarakter memiliki peran yang sangat besar di dalam kehidupan bersama, terlebih saat suatu masyarakat atau kelompok menghadapi masa krisis yang memerlukan keputusan yang benar dan tepat. Pada masa pengambilan keputusan penting (point of decision), dua varian ini hadir dan terus terpilah yakni antara pemimpin yang biasa bermain aman dan pemimpin yang sejati, yang agung, dan berani.
Pemimpin yang biasa saja akan terlebih dahulu mengamankan dirinya dari berbagai kemungkinan buruk. Sedangkan pemimpin yang berkarakter akan memastikan kesejahteraan komunitasnya atau tempatnya, dan rela berkorban demi kebaikan bersama (bonum commune).
Dari sisi kehidupan pribadi seorang pemimpin yang berkharakter, ia akan semakin diasah dan ditajamkan melalui krisis dan gejolak yang ada di dalam komunitas atau tempat yang harus dipimpinnya. Namun untuk menjadi seorang pemimpin yang tidak hanya bermain aman atau melarikan diri saat problem menerpa, seorang pemimpin semestinya memiliki bekal yang cukup dan bergizi tinggi untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan yang yang harus dihadapi.
Di sinilah karakter seorang pemimpin sejati bisa hadir sebagai pemecah masalah utama dan terus menjadi andalan para pengikutnya. Seorang pemimpin sejati memiliki core values (nilai inti) yang tinggi. Ia mempunyaii nilai kehidupan yang baik secara sadar dan mampu menggerakkan sikap, perilaku dan dapat mengambil keputusan secara baik, benar, dan bijaksana.
Keputusan seorang pemimpin, menyiratkan tiga kategori besar nilai inti yang diemban yakni ada nilai rendah, ada nilai tengah dan ada nilai tinggi. Nilai rendah biasanya berakar dari insting alami dan pertahanan diri, bersifat instrumental dan juga primordial. Nilai inilah secara refleks tanpa pemikiran mendalam menggerakkan manusia jika tidak dikendalikan. Beberapa contoh nilai rendah misalnya penyelewengan, favoritisme, keuntungan, produksi masa, rasisme dan seterusnya.
Pada tataran selanjutnya ada nilai medium (nilai tengah) yang baik dan digemari oleh institusi pada umumnya. Nilai-nilai seperti kejujuran, kreativitas, belas kasih, kerjasama, kualitas dan dukungan selalu menempati posisi ini. Nilai kehidupan menengah memang baik adanya dan terus menopang sendi-sendi kepemimpinan, namun patutlah diingat bahwa nilai-nilai ini bukanlah tujuan akhir. Nilai inti medium adalah produk sampingan dari komoditas utama nilai inti yang tertinggi. Ibaratnya, kita tidak hanya menanam jagung untuk diambil daunnya. Jika demikian mubazirlah hasil utama berupa bulir-bulir jagung berkualitas.
Di atas nilai inti medium tersebut, terdapatlah nilai inti yang tinggi (high core value). Nilai ini, jika dianuti dan tetap dipegang teguh dan dijalankan secara konsisten maka akan menjadi nilai luhur yang tak bisa dipatahkan. Semakin ditekan dan didesak oleh tantangan, nilai-nilai ini justru semakin memperlihatkan kemurnian dan ketangguhannya.
Tesis Gus-Lee tentang Courage: The Backbone of Leadership (2006), memperlihatkan bahwa nilai tinggi ini meliputi integritas, keberanian, dan karakter. Dari ketiga nilai inti tinggi ini, lahirlah semua nilai kebajikan yang dapat dimiliki oleh setiap manusia (pemimpin).
Integritas berarti melakukan apa yang benar, apapun kondisinya. Pemimpin yang memiliki integritas akan berdiri di atas dasar kebenaran bahkan ketika harus menghadapi risiko atas dirinya. Integritas secara terus-menerus dibangun di dalam diri seseorang yang selalu belajar untuk memilah apa yang benar dan menghidupinya sepanjang waktu. Ia memiliki prinsip dan pendirian untuk tidak mengorbankan apa yang benar dan luhur di dalam hati nuraninya, demi menukarnya dengan pilihan yang lebih mudah dan nyaman. Kebiasaan bertindak di dalam integritas inilah yang melahirkan nilai yang kedua yakni keberanian.
Keberanian berasal dari kebiasaan yang menjadi akar bagi seorang pribadi untuk menjaga integritasnya pada setiap situasi. Dengan keberanian inilah seorang pemimpin berani menatap masalah dengan mantap dan dapat menyelesaikan dengan kemantapan jiwa (berjiwa besar).
Ketika keberanian sudah mendarah daging dalam perilaku seseorang, maka akan terbentuk karakter, sebagai nilai inti tertinggi yang membutuhkan konsistensi dan usaha untuk menjalankannya sepanjang hidup. Orang memperoleh kekuatan, kepercayaan diri dalam menggambarkan karakter seseorang ketika menghadapi berbagai pilihan. Karakter berasal dari bahasa Latin yang berarti pola yang terbentuk dan terpatri pada sesuatu permukaan logam secara permanen. Demikian juga seseorang yang memiliki karakter tidak akan mudah terombang-ambingkan pertimbangan oportunis melainkan akan teguh menjadi dirinya sendiri dan menjadi berkat bagi banyak orang.
Integritas, keberanian, dan karakter ini bisa berlaku secara universal dan secara penting dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin yang berintegritas terlihat pada dua hal penting yang jadi varian utama dalam setiap aktivitasnya yakni bereaksi dan merespon. Ketika seorang pemimpin bereaksi, adalah dari insting dan naluri sesaat, misalnya dengan menyalahkan orang lain, menyangkal fakta atau melarikan diri untuk mencari aman.
Pemimpin yang merespon berarti memahami konteks dan duduk masalahnya secara jelas dan terbuka, selalu peduli dan mencari jalan keluar bersama dan menginspirasi ke arah tindakan yang benar melalui teladan (modeling) yang benar. Seorang pemimpin yang berani tidak akan hanya mengisolir insiden dan berfokus pada hal-hal negatif saja, namun secara seimbang memberikan apresiasi dan penguatan, sembari pada saat yang bersamaan mengajak “lawan bicara” untuk merefleksikan tindakan yang belum sesuai dengan prinsip moral dan etika di dalam sebuah kebersamaan dalam arti luas.
****
*): Penulis sdalah Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta.