Ketika Pekerja Seks Bersuara di Media Sosial

0
718

KUPANG. NTTsatu – Penilaian bahwa realitas hidup pekerja seks komersial (PSK) amat buruk membangkitkan amarah sejumlah PSK asal Australia. Beberapa di antara mereka kemudian menggerakkan aksi protes di dunia maya.

“Mahasiswi. Bercita-cita menjadi pengacara. Aktivis. Anak perempuan, adik, pekerja seks. Saya tidak perlu diselamatkan.”

Kata-kata yang muncul pada biodata akun jejaring sosial seorang PSK di Australia itu hanyalah sekelumit dari pernyataan sikap ratusan perempuan berprofesi serupa yang memunculkan tanda pagar #facesofprostitution di jagat Twitter.

Tagar itu diciptakan Tilly Lawless, seorang PSK berusia 21 tahun, pada akun Instagram miliknya, 29 Maret lalu. Penyandang gelar sarjana bidang sejarah itu merespons artikel majalah perempuan Australia, Mamamia, yang khusus membahas nasib PSK guna memperingati 25 tahun dirilisnya film Pretty Woman.

Dalam artikel itu, penulis berargumen bahwa nasib PSK sebenarnya jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan nasib tokoh PSK yang diperankan Julia Roberts dalam film tersebut.

Tilly Lawless mengaku marah dengan isi artikel tersebut yang “menyamaratakan semua PSK” dan “membayangkan profesi PSK sebagai sesuatu yang membahayakan”.

Didorong oleh kemarahannya, Tilly memutuskan untuk menampilkan foto dirinya pada jejaring Instagram untuk menunjukkan wajah lain prostitusi. Tilly mengaku telah bekerja sebagai PSK di Sydney secara legal sejak dua bulan lalu.

Beberapa saat kemudian, Tilly dihubungi Scarlett Alliance, Asosiasi Pekerja Seks Australia. Lembaga itu meminta Tilly memunculkan tagar khusus di Twitter.

Menyebar luas

Dalam tempo singkat, #facesofprostitution menyebar luas dan dipakai sebagai pernyataan sikap para PSK di Australia. Mereka mengunggah foto wajah mereka secara terang-terangan di Twitter, bahkan ada yang untuk pertama kali mengaku berprofesi sebagai PSK.

“Saya benar-benar kaget dan gembira,” ujar Tilly kepada BBC. Sebab, menurut dia, “PSK amat jarang diperlakukan sebagai manusia dan kerap kali hanya tubuh kami yang dibicarakan. Namun, menaruh wajah kami di media sosial pengaruhnya sungguh kuat.”

Senada dengan Tilly, Holly, yang juga berprofesi sebagai PSK, mengaku amat keberatan dengan foto yang sering dipakai untuk menggambarkan nasib PSK, yakni foto-foto perempuan asal Eropa Timur korban perdagangan manusia.

“Itu bukan wajah kami, bukan pengalaman hidup kami,” kata Holly kepada BBC.

“Artikel itu menggunakan argumentasi perdagangan manusia untuk membungkam suara kami dan pada saat bersamaan membungkam suara-suara para korban perdagangan,” timpal Madison Messina, seorang PSK di Australia.

Menghapus perbudakan seks

Tulisan yang membandingkan nasib para PSK dengan tokoh PSK dalam film Pretty Woman pertama kali muncul pada situs organisasi Kristen bernama Exodus Cry. Pada situs daringnya, organisasi itu menyatakan berkomitmen menghapuskan perbudakan seks.

Adapun penulis tulisan tersebut ialah Laila Mickelwait. Dia menyatakan film Pretty Woman telah membujuk perempuan-perempuan muda ke dunia pelacuran yang membuat mereka mengalami pelecehan dan trauma.

Meski dihadapkan pada argumentasi Tilly Lawless dan tagar #facesofprostitution, Mickelwait mengatakan kepada BBC bahwa dia tetap dengan pendiriannya. Bahkan, menurut dia, legalisasi prostitusi justru menciptakan perdagangan manusia bertumbuh subur.

“Hanya karena ada segelintir perempuan dan pria yang mengunggah foto di Twitter dan mengatakan profesi mereka memberi kekuatan, tidak berarti industri seks benar. Mereka punya suara, tetapi suara mereka ialah suara minoritas yang punya keistimewaan beredar di Twitter dan bisa mengunggah segala macam foto,” kata Mickelwait. (BBC)

Komentar ANDA?