KOALISI: SEBUAH BALUTAN POLITIK

0
1608

Oleh : Thomas Tokan Pureklolon

Indonesia mestinya memiliki Sumber Daya Manusia yang sudah tentu dapat diandalkan. Hal ini bisa dilihat dalam setiap aktivitas warga negaranya ketika tampil di publik. Ada banyak keahlian yang dimiliki yang dapat terbaca pada keahlian intelektual dalam pengertian luas sampai pada keterampilan dalam tataran yang yang sangat terbatas dan temporal.

Tidak berlebihan dan secara mengagumkan dapat dikatakan bahwa kemampuan intelektual dari netizen Indonesia sangat indah dan sungguh kaya, sekaya alamnya dan seindah panoramanya. Itulah sebuah analogi induktif dalam geopolitik yang lazim digunakan dalam catatan kritis (critical thinking ) untuk kondisi Indonesia dewasa ini.

Aktivitas Warga negara Indonesia saat ini dalam bidang politik boleh kita arahkan secara terfokus pada peristiwa politik tentang koalisi politik. Koalisi politik tentunya terjadi antar partai politik sebelum pilkada dengan berbagai ragam kalkulasi politik. Koalisi politik, dalam pemahaman pembangunan politik bisa terlihat pada aras politik yang lebih terfokus pada pilkada serempak dengan segala ketentuan spekulatif tentang mendulang suara dalam ajang perpolitikan.

Bagi saya, koalisi yang terjadi sebelum pilkada berlangsung, hanya merupakan “pembuangan energi politik” untuk meraih mimpi tentang mendulang suara pada pemilukada nanti. Setiap kandidat yang akan dipilih dalam pemilukada serempak, diharapkan menang mendapatkan perolehan suara. Aktivitas ini adalah ajang komoditas pasar bebas yang belum terkoneksi secara sistemik karena perolehan suara adalah sebuah mimpi yang masih menggantung dan realitas pasarnya tetap bersifat paradoks karena harapan tinggi untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya untuk menang, tetapi pada saat yang sama terjadi kecemasan yang mencekam, kalau- kalau tidak banyak mendulang suara dan bisa kalah dalam pilkada.

Sebuah pertanyaan bisa muncul: Kenapa terjadi demikian?
Satu jawaban pasti lewat uraian singkat dalam politik, bahwa yang memilih adalah rakyat yang ber-KTP ( Kartu Tanda Penduduk) atau identitas lainnya, tanpa nomen klatur politik spesifik sebagai jaminan utama bahwa kandidat yang bersangkutan langsung menjadi pilihan politik dan secara otomatis menjadi pemenang.
Siapa pun yang termasuk rakyat, datang ke TPS ( Tempat Pemungutan Suara ) untuk memilih pemimpin daerah, ketika berada di bilik suara adalah hak politik rakyat yang statusnya sama, baik yang pernah berkecimpung dalam sebuah partai politik atau pun segenap netizen lainnya.
Semuanya memiliki bobot 100% dan tak ada yang tau karena berada dalam balutan politik dengan kode rahasianya yang susah terungkap.

Dalam bilik suara, siapa memilih siapa, tak ada yang tau dan terus menjadi rahasia politik yang berlangsung dari pilkada demi pilkada.
Dalam terminologi “politik pemilu,” koalisi politik hanya berhenti pada spekulasi politik yang bertujuan untuk mendulang suara dan hal itu sangat berbeda dengan kerja politik nyata di lapangan untuk mendulang suara, di mana proses mendulang suara tetap tersebar secara menggeliat di antara netizen sejak koalisi dibentuk, proses politik berjalan terus sampai sebelum masuk ke bilik suara.

Perlu diketahui bahwa koalisi politik sebetulnya bersentral pada visi-misi partai politik peserta pemilu yang sudah berhasil meyakinkan kadidat tertentu yang bisa merakyat dalam pendidikan politik lewat kerja nyata, dari para parpol peserta pemilu. Pertanyaan yang mungkin perlu dijawab oleh setiap parpol yang berkoalisi dalam pilkada adalah apakah kerja politik nyata telah dilakukan secara maksimal? Kalau kalau jawabannya adalah ‘ya’ maka syukurlah. Tetapi, kalau secara jujur jawabannya adakah ‘tidak’, atau belum maksimal”, maka setiap parpol peserta pemilu yang telah berkoalisi untuk mendukung kandidatnya dalam pilkada, harap-harap cemas mengganas untuk kemenangan kandidatnya. Saya berharap agar harapan tidak segera tumbang ditindih mimpi politik, yang tak pernah jadi kenyataan, walau telah berbalut koalisi

Waktu yang masih tersisa besok dan tidak terulang lagi, apa pun hasilnya: Entahkah berpesta gembira berkepanjangan, atau bersedih hati disertai ratap tangis tiada berakhir?

Mari kita rayakan bersama dengan hati lapang.

========

*) Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan Jakarta dan penulis buku Referensi Ilmu Politik.

Komentar ANDA?