Konflik Politik: Sebuah Refleksi.

0
2087

Oleh: Thomas Tokan Pureklolon

Konflik merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat. Fenomena konflik terus melanda perhatian manusia, dan konsekuensinya muncul berbagai penelitian yang terus saja menciptakan dan mengembangkan berbagai pandangan tentang konflik itu sendiri.

Adalah seorang pemikir sosial politik, Charles Watkins mencoba memberikan suatu analisis tajam tentang kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat dua hal penting. Pertama, konflik terjadi apabila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis atau operasional, dapat saling menghambat. Secara potensial artinya, masing-masing mereka memiliki kemampuan untuk menghambat. Dalam konflik secara praktis atau operasional seperti ini, segala kemampuan bisa dikerahkan habis-habisan, dan perwujudannya bisa dimungkinkan dan dengan mudah terjadi perwujudannya. Artinya juga, bila kedua belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak saling menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan, maka konflik ini pun tidak akan terjadi. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan mengantongi kemungkinan untuk mencapainya.

Pendapat dari ilmuwan sosial politik berikunya adalah, Joice Hocker dan William Wilmt dalam bukunya berjudul interpersonal conflict; Ia berupaya untuk memahami pandangan tentang konflik. Pada umumnya pandangannya tentang konflik dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, konflik itu adalah hal yang terjadi secara abnormal karena hal normalnya adalah keselarasan. Mereka yang menganut pandangan ini pada dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa suatu konflik merupakan gangguan stabilitas.

Kedua, konflik sebenarnya, hanyalah suatu perbedaan yang terjadi karena terjadi kesalahpahaman. Mereka yang termasuk dalam kelompok seperti ini menganggap bahwasannya konflik hanyalah variabel tunggal dari sebuah kegagalan berkomunikasi yang terjadi secara baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud yang sesungguhnya.

Ketiga, konflik adalah gangguan yang hanya terjadi kerena kelakuan dan perilaku orang-orang yang tidak beres. Menurut penganut pendapat ini, penyebab suatu konflik adalah anti sosial.

Konflik Politik.

Terminologi ‘politik’, ditambahkan pada ‘konflik’ dan menjadi konflik politik, maka pergeseran makna dapat terjadi secara meluas, dan dalam ilmu politik, makna konflik politik yang telah mengalami perluasan ini, merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan dari kedua pihak.

Terminologi konflik politik dalam ilmu politik pun seringkali dikaitkan dengan kekerasan seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan bisa revolusi. Konflik politik pun, mengandung pengertian “benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat, yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Yang dimaksud dengan pemerintah meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Sebaliknya secara sempit, konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, juga perilaku para penguasa beserta segenap aturan dan struktur, serta prosedur yang mengatur relasi di antara partisipan politik.

Penyebab Konflik Politik.

Pada dasarnya, konflik politik yang terjadi disebabkan oleh dua hal sentral yakni konflik politik mencakup kemajemukan horisontal, dan konflik politik mencakup kemajemukan vertikal.

Kemajemukan horisontal adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama, dan ras. Kemajemukan horisontal struktural seperti ini, dapat juga menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural, berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lainnya.

Dalam masyarakat yang berciri demikian ini, apabila belum ada suatu konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama maka konflik politik ( karena benturan budaya), akan bisa menimbulkan perang saudara ataupun gerakan separatisme ( paham politik yang selalu menekankan kebebasan ). Kemajemukan horisontal sosial seperti inilah, dapat terus menimbulkan konflik, sebab masing-masing kelompok yang berdasarkan spesifikasi pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut, memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan dalam relasi sosialnya.

Di samping terjadi kemajemukan horisontal dalam konflik, konflik juga dipicu oleh kemajemukan vertikal yang selalu dipandang sebagai struktur masyarakat yang berlawanan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal ini pun dapat menimbulkan konflik yang bisa menghebat karena sebagian besar masyarakat tidak banyak memiliki kekayaan, tidak banyak memiliki pengetahuan, dan kekuasaan yang merupakan penyebab utama timbulnya suatu konflik politik.

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan perbedaan kepentingan kemajemukan horisontal yang beragam, dan kemajemukan vertikal yang cukup tajam, tidak dengan sendirinya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan adanya fakta terdapat sejumlah masyarakat yang menerima perbedaan-perbedaan tersebut. Perbedaan-perbedaan masyarakat ini, baru menimbulkan konflik apabila kelompok tersebut memperebutkan sumber yang sama, seperti kekuasaan, kesempatan, dan lain sebagainya.

Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat dikemukakan bahwa konflik terjadi jika pada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, atau manakala pihak yang satu berperilaku menyentuh titik kemarahan ‘pihak lain.’ Dengan kata lain, terjadi perbedaan kepentingan karena kemajemukan vertikal yang nampaknya terlalu tajam, dan kemajemukan horisontal, yang nampaknya terus beragam dan selalu bertambah. Disinilah, perbedaan kepentingan mulai menyata dan konflik politik mulai menunjukkan sosoknya ( baca: kepentingan ).

Karakter Konflik

Konflik yang terjadi di dalam suatu masyarakat bisa memiliki dua karakter utama yakni konflik secara positif dan konflik secara negatif. Konflik positif adalah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya dusalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud adalah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan juga forum-forum terbuka lainnya. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu, merupakan konflik politik yang bersifat positif.

Sebaliknya, konflik politik secara negatif adalah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi.

Kembali kepada, konflik politik sebagai aktus perjuangan politik dari para politisi ketika terjadi konflik politik.

Bahwa penentuan suatu konflik politik bersifat positif atau negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama pada sikap masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, yang menjadi patokan untuk menentukan suatu konflik bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi sistem politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku.

Penyelesaian Konflik.

Sebuah konflik yang meluas di dalam suatu masyarakat harus diselesaikan, karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam relasi sosial antara anggota masyarakat. Adalah seorang pakar ilmu politik, Prof. Dr. Maswadi Rauf, mengatakan bahwa bila sebuah konflik tetap tidak bisa diselesaikan maka akan segera muncul adalah anarki serta disintegrasi sosial dan segera menyusul disintegrasi bangsa.

Untuk menghindari disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa, hal utama yang perlu diperhatikan adalah adanya kamampuan warga masyarakat dan penguasa politik untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Maksud terdalam dari pemikiran Prof. Maswadi, sebetulnya yang diperlukan di sini adalah keterampilan dalam menyelesaikan konflik, sehingga konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak berakibat fatal bagi masyarakat, bagi bangsa dan bagi negara.

Konflik politik adalah gejala yang maha ada, yang serba hadir dalam kehidupan manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi menjelang pemilukada. Penyelesaian konflik mestinya juga membutuhkan strong state dalam menjaga dan mengawal setiap tuntutan masyarakat yang selalu saja memperjuangkan kepentingan kelompoknya atau kaumnya.

Mungkin satu poin penting buat negara dalam mengelola konflik politik adalah “Penegakkan Ideologi Bangsa,” ( baca: demi Konstitusi NKRI ) yakni Pancasila ke semua warga bangsa, dengan nilai utamanya adalah, Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil untuk siapa saja. Mungkin dengan itulah, konflik politik dapat “diredam mulai sekarang ini, dan di sini.”

Begitu. Praise the Lord and Grace upon Grace.

======÷÷
Penulis adalah: Dosen Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan, dan penulis buku referensi Ilmu Politik.

Komentar ANDA?