Konsientisasi Provinsi Timor Barat dan Provinsi Flores

0
1498
Foto: Dr. Fritz Fios

*) Oleh: Dr. Fritz Fios

Belakangan isu provinsi Flores sangat mengemuka dalam tataran wacana di media sosial.Tidak sedikit group media sosial membicarakan hal ini pada tataran informal alias bergosip.

Sedangkan pada tataran formal, pembahasan dalam ranah politik (kebijakan) belum ada perkembangan berarti sejauh ini. Semuanya masih abstrak-metafisik. Masih pada tataran konseptual dan belum sampai membumi pada arah implementasi signifikan.

Opini ini memberikan suatu pandangan yang komprehensif tentang kondisi NTT pada umumnya dengan meruncing pada perlunya pemekaran provinsi di NTT.

Semacam suatu upaya rekonsientisasi (penyadaran kembali) horizon pikir masyarakat NTT untuk kembali berpikir tentang mimpi-mimpinya untuk hidup lebih sejahtera dan lebih baik sebagai manusia di masa depan.

Tentu tulisan ini pun akan menimbulkan kontroversi dan menimbulkan debat yang panjang dan sporadis di kalangan siapapun subjek manusia yang memiliki latar belakang dimensi genealogis dengan NTT. Ini juga sekaligus suatu lontaran bahan diskusi penting

bagi pihak-pihak yang peduli pada perkembangan NTT ke arah yang lebih ideal.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibu kotanya Kupang memiliki wilayah seluas48.718,10 km persegi (Sumber: Permendagri Nomor 66 Tahun 2011) dengan 566 pulau. NTT lazim disapa dengan sebuah akronim yang sangat terkenal “Flobamorata” sebagai istilah yang dikontruksi dari deretan Pulau Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata. Jangan lupa pula Sabu dan Rote.

Secara historis, pada zaman pra-kemerdekaan Republik Indonesia (RI), entitas Flobamorata bersama dengan Kepulauan Bali, Lombok dan Sumbawa disebut sebagai Kepulauan Sunda Kecil. Namun ada asumsi mengatakan bahwa setelah Proklamasi RI tahun 1945, Kepulauan Sunda Kecil (Flobamora, Bali, Lombok dan Sumbawa) disebut sebagai kelompok atau gugus Kepulauan Nusa Tenggara (KNT).

Hingga tahun 1957, KNT merupakan daerah Swatantra Tingkat I yang berstatus setingkat dengan istilah provinsi pada era sekarang ini. Setahun sesudahnya, yakni 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara dikembangkan menjadi tiga (3) Provinsi yakni Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Bali.

Tahun 1958 ini pun akhirnya diklaim sebagai tahun kelahiran atau tahun terbentuknya Provinsi NTT. Namun ini sudah setengah abad atau sekitar 59 tahun silam (antara tahun 1958 sampai dengan 2017). Usia 59 tahun layak divalorisasi sebagai usia yang sudah cukup matang untuk bermetamorfisis alias memekarkan dirinya. Inilah saatnya NTT mengalami reborn (lahir baru). Tahun depan NTT akan berusia 60 tahun atau pesta intan eksistensinya. Ini usia yang hampir mendekati titik kematiannya.

Beberapa tahun silam, ketika penulis menempuh pendidikan di Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero-Maumere, pernah terorbit hot issue pembentukan Flores Province(Provinsi Flores). Bahkan ada tim yang sudah terbentuk kala itu bernama KP3F untuk memperjuangkan Flores Province ini.

Saat menyelesaikan tesis magister (S2) di bidang teologi politik kontekstual, penulis sempat mewawancarai salah seorang tokoh pejuang Flores Province waktu itu, yakni Almarhum Bapak Ignas da Cunha di Kota Maumere. Namun entah mengapa, isu ini akhirnya sirna atau tenggelam begitu saja dari pusaran wacana intelektual maupun aspirasi politik elit politik di NTT hingga kini.

Yang jelas tentu ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari pusat (Jakarta) yang menenggelamkan wacana ini. Ataukah ada faktor X yang lain? Kita toh tak tahu!Tanyakan pada rumput yang bergoyang, kata Ebied G. Ade.

Di awal Tahun 2017 ini, penulis coba menggelindingkan kembali wacana Provinsi Timor Barat dan Flores Province. Ini tentu bukan hasil konspirasi politik. Namun murni suatu analisis konseptual tentang NTT semoga lebih baik lagi ke depan. Entah tulisan ini dapat dijadikan referensi untuk memekarkan NTT agar lebih baik atau akan segera mati ditelan bumi dan hilang diterbangkan angin sepoi-sepoi basa di republik ini?
Masalah Krusial
Sejak Provinsi Timor-Timur (kini negara Republik Demokratik Timor Leste) lepas dari NKRI pada Tahun 1999, NTT dihantui oleh banyak persoalan krusial. Persoalan ini paling dirasakan langsung oleh masyarakat di Wilayah Timor Barat dalam radius dekat dengan Negara Timor Leste khususnya daerah-daerah cross border alias wilayah perbatasan.

Dua Wilayah perbatasan yang paling telak terkena imbas yakni Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Sementara Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Kupang dan Kodya Kota Kupang pun tentu terkena dampak turunan akibat gejolak yang meledak di ujung timur Pulau Timor ini dengan frekuensi tekanan yang lebih rendah.

Ledakan arus pengungsi yang bereksodus keluar dari Timor Leste menuju wilayah TimorBarat tentu pernah menyita perhatian banyak pihak, khususnya masyarakat di bagian Timor Barat. Ledakan pengungsi ini tentu meluas ke Flores dan pulau-pulau lain di NTT .Apakah persoalan-persoalan itu sudah usai? Ternyata belum!

Awal mula timbulnya persoalan itu yakni pada isu di bagian wilayah perbatasan (cross border) antara wilayah Timor Barat dengan Negara Timor Leste. Dulu Timor Leste bergolak. Namun kini pergolakan internal negara itu sudah berkurang dan semakin menyusut.

Timor Leste sedang on target dalam proses menuju asasinya sebuah negara yang berdaulat, yakni membangun dirinya agar semakin terbang tinggi menuju kesejahteraan dan kemakmuran baik secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik dan pertahanan keamanan.Timor Leste cepat atau lambat akan cepat bergerak lebih maju melampaui wilayah terdekatnya NTT.

Hal ini karena Timor Leste telah menjadi sebuah negara merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri. Lalu bagaimana dengan kita di NTT kini?

Di awal tahun baru 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang sangat menggelitik: mengusik bening budi kita dan menggangu nurani kita orang NTT.

Tentang NTT daerah termiskin di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Beberapa pejabat mulai komentar mulai dari Gubernur, Sekda NTT, hingga bupati dan pengamat sosial politik.Tak ketinggalan rakyat biasa pun angkat bicara soal ini.

Semuanya mau bicara dan tak mau berhenti bicara. Fenomena ini menarik karena menunjukkan rasa kepedulian semua pihak pada nasib NTT yang lebih baik.Maka sebetulnya tidak salah. Ini hal yang wajar-wajar saja!

Sekali lagi, satu ancaman patut kita waspadai ketika Timor Leste mulai membangun eksistensi dirinya sebagai negara kuat, yakni dimensi sosial wilayah perbatasan.Kondisi rawan konflik sosial tentu tidak bisa dibantah di daerah perbatasan. Masyarakat wilayah perbatasan Indonesia (Timor Barat) tentu adalah persons in the play, subjek-subjek yang terlibat langsung dalam arena permainan dinamika sosial budaya dengan penduduk lokal di batas wilayah Negara Timor Leste itu.

Faktor iri hati dan kecemburuan sosial akibat kemajuan ekonomi negara Timor Leste tentu tak bisa dipungkiri. Apalagi warga Timor Leste menggunakan mata uang dollar dalam transaksi perdagangan kesehariannya! Ini ancaman serius bagi stabilitas sosial politik di wilayah perbatasan Timor Barat.

Konflik horizontal antarmasyarakat di perbatasan akan terus terjadi dan terjadi lagi. Konflik akan dialami oleh masyarakat di Kabupaten Belu, Malaka, TTU, dan TTS. Kalau ini terjadi, maka ancaman serius akan terus merongrong kondisi sosial, ekonomi dan politik masyarakat NTT secara keseluruhan maupun parsial.

Kita pun harus tahu, berapa ribu orang NTT dari Timor Barat yang sudah merangsek masuk ke kotak penalti Timor Timur sebagai tenaga kerja dengan bayaran dollar di Negara Demokratik Timor Leste itu?Tentu juga dengan cara legal, dan maaf, tentu juga dengan cara-cara ilegal.

Selain isu konflik wilayah perbatasan, isu lain yang tak kalah menariknya yakni jumlah 566 pulau di Provinsi NTT. Ini membanggakan sekaligus menghambat. Kondisi geografis kepulauan menjadi kendala utama yang menghambat laju akselarasi perkembangan dan pembangunan Provinsi NTT ini. Dari sisi ekonomi kesejahteraan, jelas kondisi dinamika pertumbuhan terasa lamban dalam konteks gerak evolutif.

Sementara provinsi lain di Indonesia akan cepat berakselerasi maju pesat, sedangkan NTT akan tetap jalan di tempat. Apalagi dari dimensi ekonomi, masyarakat NTT tergolong miskin. Belum lagi setiap tahun lulusan sekolah-sekolah NTT mendapat juara dari ekor!Paling-paling naik satu peringkat ke atas lalu turun lagi. NTT akan tetap jadi miskin. Kemiskinan di NTT terjadi bukan karena kondisi alamnya, melainkan karena salah kebijakan.

Maka tak heran jika Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya diplesetkan menjadi Nusa Tertinggal Tetap, Nusa Tetap Termiskin, Nusa Tetap Terlupakan, Nusa Tetap Terbelakang. Litani ini masih dapat diperpanjang sesuai dengan selera Anda.


Solusi Alternatif: Pemekaran NTT

Untuk menyiasati perkembangan dan kemajuan yang signifikan di NTT, maka pemekaran Provinsi NTT menjadi dua (2) provinsi menjadi suatu conditio sine qua non, tidak bisa tidak!Ini sebuah jalan tengah alternatif sebagai jalan ketiga yang memungkinkan:Proposal Pembentukan Provinsi Flores dan Provinsi Timor Barat.

Wilayah Provinsi Timor Barat bisa meliputi seluruh daratan Timor Barat yakni Kabupaten Belu, Malaka, TTU, TTS, Kabupaten Kupang, Kota Kupang ditambah Rote Ndao dan Alor. Sedangkan Provinsi Flores dapat meliputi Pulau Flores daratan (Flores Timur sampai dengan Manggarai), Pulau Solor, Adonara, Lembata ditambah dengan Pulau Sumba.

Pertimbangannya dari sisi kedekatannya agar bisa memudahkan konsolidasi wilayah untuk percepatan pembangunan di dalam provinsi masing-masing: Provinsi Timor Barat dan Flores Province.

Pembagian ini tentatif dan dapat diatur di kemudian hari jika sudah terjadi pemekaran untuk NTT.

Namun kalau kita mau dan pemerintah pusat setuju, alasan kemiskinan (SDA) tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur atau harga mati. Kuncinya pada tahap awal kita bisa menggunakan dana anggaran APBN dari pusat untuk mempercepat pembangunan pasca pemekaran.

APBN dapat digunakan untuk perbaikan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat.Sesudah itu barulah kita merogoh saku APBD sendiri yang tentu pada awalnya terasa sulit.Yang terjadi selama ini alokasi APBN untuk provinsi mungkin terasa besar, namun wilayah geografis NTT dengan kondisi 566 pulau ini sangat menyulitkan pembagian kue pembangunan secara merata dan adil.Ketimpangan pembangunan di NTT akhirnya tak pernah usai.

Berdasarkan pertimbangan historis, geografis, ekonomi, sosial dan politik di atas, maka Provinsi NTT yang kini sudah berusia 59 tahun layak dimekarkan menjadi dua (2) provinsi: Provinsi Timor Barat dan Provinsi Flores.

Kalau tahun 1958 terjadi pemekaran di wilayah Swatantra Tingkat I, maka mengapa tidak mulai sekarang kita aspirasikan suara untuk merealisasikan terjadinya pemekaran jilid kedua untuk Provinsi NTT ini? Ide ini mungkin gila atau revolusioner, namun kita perlu tahu setiap kemajuan dan perkembangan sering muncul dari ide-ide yang gila atau pun ide yang pada awalnya dianggap revolusioner bahkan konyolsama sekali!

Tolong pikirkan wahai masyarakat NTT, Pemda, generasi muda, tokoh politik, tokoh masyarakat, LSM, kaum perempuan, tokoh agama dan siapa saja yang peduli dan bersimpati pada kemajuan NTT yang lebih baik. Mari kita wujudkan Provinsi Timor Barat dan Flores Province. Maukah kita?
*) Dr. Fritz Fios adalah Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta, Alumni S3 Filsafat Universitas Indonesia, Anggota Vox Point Indonesia, Pendiri Institut Pendidikan Agama Katolik Parung Panjang, Bogor.

 

Komentar ANDA?