OPINI
Oleh: Frans Oprandi Jaok, S.H.
PENANGANAN kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan oleh Kepolisian, masih mengalami ketidakmajuan. Belum ditemukannya pelaku, menjadi realitas yang menyedihkan atas ketidakmajuan itu.
Sementara sebagai korban, Novel Baswedan sedang menuntut keadilan. Bukan saja keadilan mengenai perhatian negara dalam pembiayaan pengobatan untuk penyembuhannya, akan tetapi keadilan ini berkonteks pada keseriusan Kepolisian; menemukan pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban hukum.
Disamping itu, publik pun menaruh ekspetasi ekstra pada Kepolisian agar tidak menganggap sepele apalagi terpengaruh dengan intervensi pihak-pihak tertentu yang menghendaki redupnya penanganan kasus tersebut. Mengingat bergulirnya penanganan kasus mega korupsi yang ditangani KPK di antaranya kasus E-KTP, terlihat pula ada usaha menghadang kinerja para penyidik KPK.
Kendati tekanan bertubi-tubi membayangi dominasi KPK di bidang pemberantasan korupsi, tak berarti menyurutkan semangat mereka untuk berhenti melanjutkan penanganan kasus yang mengindikasikan kerugian keuangan negara. Alhasil, beberapa oknum yang diduga turut terlibat didalamnya kini tersemat sebagai tersangka.
Maka yang tidak boleh dilupakan oleh penegak hukum dalam hal ini Kepolisian ialah memperhatikan lebih serius kasus yang dipandang menutup ruang gerak kinerja dari KPK termasuk yang dialami Novel Baswedan.
Dengan kata lain, kasus yang mendera Novel Baswedan hendaknya ditangani bukan semata-mata atas tendensi atau pun desakan dari pencari keadilan, sesungguhnya amanah UU menjadi dasar kewajiban bertindak. Sehingga prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam penegakan hukum memiliki makna keadilan sesuai hukum (bring to justice).
Memang perkembangan terakhir kinerja Kepolisian menerangkan sketsa wajah pelaku menunjukan tren maju walau belum sesuai harapan sesungguhnya. Kendati demikian, setidaknya mengubah persepsi masyarakat yang cenderung kurang yakin akan kredibilitas Kepolisian mengakomodir kasus bersinggungan dengan KPK.
Esensi dasarnya ialah meredam keprihatinan masyarakat terhadap keberadaan mereka yang kurang sepenuhnya didukung sesama penegak hukum perihal pemberantasan korupsi.
Patut dipahami, kasus di atas merupakan satu dari sekian dimensi problematik yang dihadapi KPK. Selain problematik tersebut, tantangan lain ialah iringan desakan agar kewenangan mereka dipangkas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni pasal 12 huruf a mengenai penyadapan.
Bagi penulis, ini “memutilasi” esensi kewibawaan hukum (contemt of law) di bidang tipikor yang menekankan kedudukan strategi khusus sebagai relevansi logis dari lahirnya UU No 30/2002. Adanya kewenangan tersebut justru berhasil membuka aib permainan korupsi masif yang terselubung. Apalagi OTT yang dilakukan KPK akhir-akhir ini muaranya dari hasil temuan penyadapan/rekam pembicaraan selain laporan masyarakat.
Konkritnya, penindakan korupsi di pusat dan daerah membutuhkan strategi khusus termasuk kewenangan penyadapan untuk mengimbangi beberapa modus korupsi dalam hal mendukung proses penyelidikan.
Terhadap tantangan yang dihadapi KPK baik secara lembaga kemudian berlanjut kepada organnya adalah risiko yang disadari akan memicu konsentrasi mereka terbagi, antara bergerak maju atau bergerak mundur dalam menindak tegas perbuatan korupsi oknum tertentu pada institusi/lembaga penerima aliran keuangan negara.
Menanggapi hal ini, tentu sudah dilakukan berbagai upaya. Satu di antaranya ialah sinergisitas antar lembaga penegak hukum agar tidak berlainan arah terhadap kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, sontak implementasinya menyertakan catatan tersendiri dari penulis untuk dikritisi.
Kerjasama yang terjalin melalui Nota Kesepahaman Bersama (NKB) antara KPK dengan Kepolisian dan Kejagung tentang Kerjasama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meski menandakan ada keseriusan mengupas persoalan yang menghambat lajunya pemberantasan korupsi, akan tetapi ada yang menyimpang dari pelaksanaan NKB tersebut.
Dalam NKB terdapat 5 ruang lingkup yang disepakati yakni; Sinergisitas Penanganan Tindak Pidana Korupsi, Pembiayaan Aparatur Penegak Hukum, Bantuan Narasumber/Ahli, Pengamanan dan Sarana/Prasarana, Permintaan Data dan/atau Informasi, Peningkatan dan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan serta Sumber Daya Manusia.
Pada poin pengamanan inilah digarisbawahi penulis. Bahwa dikaitkan dengan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan (11 April 2017) ternyata rentan waktunya belum terlalu lama setelah ditandatanganinya NKB (29 Maret 2017) tersebut. Artinya, implementasi poin pengamanan belum bekerja sebagaimana yang disepakati. Untuk itu, keterikatan pemahaman terkait sinergisitas monitoring perkembangan penanganan kasus korupsi dan juga pencegahan implikasi terburuk terhadap organ penting yang membidangi penindakan korupsi (penyidik KPK) patut dibenahi lagi guna mencegah terulangnya kasus yang sama.
Namun pergerakan KPK yang tak bergeming didominasi penindakan memantik perhatian penulis bahwa kurang berimbangnya fungsi lain semisal supervisi dan pencegahan. Ini membutuhkan kepekaan memproporsionalkan penyajian informasi kepada masyarakat seputar pelaksanaan fungsi KPK, agar yang ditampilkan ke publik lebih transparan dan berimbang. Dengan begitu akan meretas pemikiran ada fungsi yang diutamakan ada yang disisihkan.
Terkendalanya model pengawalan terhadap KPK yang tak kunjung diatur, mensinyalir berbahaya-nya internal lembaga utamanya pimpinan juga penyidik dari imbas yang kurang diterima oknum terkena target operasi mereka. Ketidakpekaan inilah yang mesti disadari oleh lembaga perwakilan rakyat (DPR) untuk memperkuat posisi KPK yang pada intinya mendukung adanya aturan pengawalan keselamatan atas implikasi terburuk penindakan di bidang tipikor. Meski dalam UU No.30/2002, tidak terdapat pasal mengatur hal demikian, tak menutup kemungkinan untuk diformulasikan ke dalam suatu aturan khusus.
Lantas internal KPK diwanti-wanti agar “tidak bermain api” yakni menjaga independensi lembaga yang sasarannya tidak mengarah pada stagnansi atau terhenti gara-gara saling berseberangan pendapat dilatari konflik kepentingan (conflict of interest). Bisa jadi bakal menggoyahkan dan merusak cara pandang luar terhadap KPK. Sejalan dengan hal tersebut, yang dituntut dari pimpinan KPK ialah memaknai sumpah jabatan bagian dari cara menjaga marwah hukum.
Tak cuma KPK, Kepolisian pun lantas sadar bahwa ada yang dibutuhkan dari mereka yakni kerjasama (kooperatif). Mereka sedang dinanti menemukan pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan untuk dimintai pertanggungjawaban hukum.
Kini penentuannya terletak pada bagaimana mewujudnyatakan konsistensi hukum baik itu KPK maupun Kepolisian atas amanat yang melekat pada mereka.
*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum Undana sekarang tinggal di Labuan Bajo, Manggarai Barat